17 Februari 2011

» Home » Opini » Republika » Masa Depan Dua Sudan

Masa Depan Dua Sudan

Dr Ibnu Burdah MA
Pemerhati Dunia Arab dan Islam UIN Yogyakarta


Hasil akhir penghitungan suara referendum Sudan telah diketahui kendati belum diumumkan secara resmi. Warga Sudan selatan telah menentukan masa depannya. Hampir seluruh warga yang memberikan suara memilih infishal, yakni berpisah dari Sudan Utara dan membangun negara Sudan Selatan yang terpisah.

Hasil referendum itu diharapkan menjadi solusi untuk mengakhiri konflik bersenjata antara pemerintah Sudan dan al-Harakah al-Sya'biyyah li al-Tahrir al-Sudan (Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan/ SPLM). Konflik itu telah berlangsung sejak tahun 1983, bahkan secara sporadis dimulai sejak awal kemerdekaan negara tersebut (1956). Semua pihak termasuk Presiden Sudan Umar al-Basyir dan Pemegang Otoritas Otonomi Selatan Salva Kiir menyatakan harapannya agar hasil referendum itu dapat membawa kedua negeri lebih stabil, aman, dan makmur. Namun, harapan itu tidak akan dapat diwujudkan dengan mudah dan tanpa tantangan. Kompleksitas persoalan di lapangan rentan menjerumuskan kedua negeri itu kepada situasi yang mengkhawatirkan.

Pertama, persoalan intra dan antar kedua negara itu. Perjanjian 2005 yang diklaim komprehensif ternyata belum membahas sekitar 20 persen perbatasan jika negeri itu dibagi menjadi dua negara. Perbatasan yang telah disepakati sekalipun seringkali masih menimbulkan konflik antarnegara akibat perbedaan tafsir dan implementasinya di lapangan, sebagaimana yang terjadi di antara negara-negara Teluk, Yaman, dan Sudan-Mesir.

Persoalan ini rawan menjadi pemicu konflik sebab kedua negara itu tidak memiliki perbatasan alamiah yang jelas dan tegas, seperti laut atau pegunungan. Apalagi perbatasan itu menyangkut beberapa kota penting seperti Abye. Padahal perbatasan darat itu membentang sangat luas dari ujung timur hingga ujung barat wilayah kedua negara. Persoalan pembangunan ekonomi dan minyak juga akan menjadi masalah serius.

Sebagian besar ladang minyak Sudan berada di wilayah Selatan, sementara modernisasi wilayah Utara-terutama Khourtum dan sekitarnya-tidak bisa dilepaskan dari hasil minyak ini. Para pejabat Sudan Utara berulang-ulang menyatakan kesiapannya dengan terpisahnya Sudan Selatan. Hal ini terkait dengan penemuan tambang emas dan sumber bumi lain di wilayah Utara. Namun, ketergantungan Utara terhadap minyak Selatan selama ini sulit dimungkiri.

Bagi Sudan Selatan, pemisahan dari Utara tidak serta-merta membawa kemakmuran. Sebab, pengelola industri minyak kebanyakan adalah orang Utara, jalur pengkapalan, sebagian pengolahan, dan distribusi minyak itu juga melalui Utara. Wilayah Sudan Selatan itu merupakan daratan yang "terkunci" (landlocked). Artinya, tidak memiliki akses laut yang sangat diperlukan bagi jalur pengkapalan hasil minyak. Untuk membangun industri minyaknya, Selatan memerlukan waktu yang panjang, kerja sama dengan berbagai pihak, dan investasi dalam skala besar.

Dalam skala yang lebih luas, persoalan pembagian aset dan utang tentu menjadi masalah. Jika negara baru Sudan Selatan tidak mampu menjaga stabilitas, konflik politik internal antarsuku atau antarkelompok bersenjata (bekas milisi), bisa muncul ke permukaan sewaktu-waktu.

Persoalan migrasi warga di antara dua wilayah juga merupakan masalah yang serius. Sudan telah lama menjadi satu kesatuan unit politik, meski awalnya dengan jalan paksaan oleh penjajah Barat, sehingga migrasi penduduk antarwilayah juga telah berlangsung lama. Intensitas migrasi itu menguat pasca perdamaian 2005. Jadi, warga Utara (etnis Arab) beragama Islam, banyak yang telah lama menetap di Selatan. Demikian pula, warga Selatan yang beretnis Afrika dan beragama Kristen atau animis, banyak yang tinggal di Utara.

Hubungan antarkelompok, baik di Utara maupun Selatan, diprediksi akan lebih mengkhawatirkan daripada hubungan "kedua negara" yang telah benar-benar letih dengan perang dan berbagai akibatnya. Pamor Presiden al-Basyir di Utara jelas akan menurun jika Selatan benar-benar merdeka, terlebih lagi di mata pengikut ideologi Pan Arabisme. Ia juga tidak memiliki dukungan internasional.

Hubungan konfliktual antara al-Basyir dan pemimpin Hizb al-Mu'tamar al-Sya'biy (Partai Kongres Bangsa) Dr Hasan Turabi, jelas menjadi hambatan bagi kesolidan Utara. Apalagi, pemimpin yang dikenal sebagai intelektual besar dan berpengaruh itu kembali ditangkap pasukan Sudan setelah beberapa lama menghirup udara kebebasan.

Demikian pula di Selatan, kendati tidak banyak, mereka terbelah oleh persoalan ideologi. Namun, hubungan fanatisme antarsuku dan kelompok milisi tidak bisa diremehkan. Tokoh yang menyatukan mereka John Garang telah tiada. Dalam kondisi negara masih lemah, kontestasi antarsuku sangat mungkin timbul, ketika musuh bersama sudah tidak ada dan tujuan telah tercapai. Dan juga perlu diingat, dari sekitar delapan juta warga di Selatan, ada satu juta warga Muslim dan Arab yang tinggal di sana.

Kedua, persoalan regional sekitar Sudan. Mesir merupakan negara yang menaruh perhatian besar terhadap Referendum Penentuan Sudan Selatan (al-Istifta' al-Mashiry). Air sungai Nil merupakan perhatian pokok negara yang banyak bergantung dari suplai sungai yang juga melewati Sudan itu.

Persoalan yang agak rumit dalam konteks ini adalah justru hubungan Arab-Iran dan Arab-Israel. Israel yang sulit diterima negara-negara Arab termasuk yang sudah berdamai dengannya berupaya mendekati negara-negara Afrika. Ini sangat penting untuk memperoleh sekutu kawasan.

Bagi Sudan Utara, dukungan itu bisa membawa persoalan serius menyangkut air sungai Nil ataupun hubungan mereka dengan negara baru itu. Persoalan air Nil bagi Mesir dan Sudan Utara adalah persoalan hidup-mati.

Dan ini justru menjadi nilai strategis bagi Israel dalam menaikkan daya tawarnya di kawasan, terutama dalam menghadapi beberapa negara Arab yang telah lama menandatangani perdamaian dengannya, namun enggan untuk bekerja sama lebih jauh dan konkret dengan negara Yahudi itu.

Keterlibatan Iran dalam politik domestik Sudan Utara mungkin terjadi. Persepsi negara-negara Arab dalam memandang sumber ancaman dari Taheran kini jauh lebih besar dibandingkan dari Tel Aviv. Dukungan Arab diberikan kepada Presiden al-Basyir dan dukungan Iran mengalir kepada Front Islamis. Sudan jika tidak berhasil menjaga stabilitasnya bisa terjerumus menjadi Irak baru, yaitu ajang konflik proxy di antara negara-negara Arab berpengaruh versus Iran.
Opini Republika 17 Februari 2011