17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » Pendidikan yang Mencerdaskan

Pendidikan yang Mencerdaskan

Amin Fauzi
Kandidat Doktor Universitas Negeri Jakarta

Pendidikan dalam pandangan Paulo Freire, ditujukan untuk menggugah kesadaran kritis para pelajar dan dipahami sebagai aksi kultural untuk memanusiakan manusia. Pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri dan manusia dalam relasi yang kompleks dengan realitas sosialnya. Melalui proses tersebut, setiap pelajar secara langsung dilibatkan dalam permasalahan realitas sosial dan eksistensi dirinya. Dalam konteks ini, pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan kritis pelajar dengan mengedepankan etika dan estetika.

Delors (1998) menyatakan, pendidikan adalah aset yang sangat diperlukan untuk mencapai cita-cita perdamaian, kebebasan, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus dibangun dengan melibatkan empat pilar, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.

Empat pilar pendidikan tersebut dijabarkan dalam praktik-praktik pendidikan di kelas dengan tujuan memberikan ruang bagi para siswa untuk tumbuh kembang, kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan berkarakter. Hal itu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003.

Realitas pendidikan

Pendidikan kita saat ini justru menjauhkan siswa dari realitas yang tumbuh di lingkungan kehidupan mereka. Orientasi kognitif pragmatis sangat kental dalam praktik-praktik pendidikan pada semua level dengan menafikan empat pilar dasar pendidikan. Pendidikan tidak lagi berorientasi pada kemandirian para siswa tapi justru menjurus ke praktik-praktik dehumanisasi. Para siswa tidak dikondisikan pada situasi-situasi pembelajaran yang mendorong tumbuhnya kemampuan untuk memecahkan masalah, tapi lebih pada orientasi pragmatis mendapatkan nilai dan lulus.

Proses pendidikan, menurut Zamroni (2002), telah direduksi sekadar transformasi //knowledge,/ namun miskin aplikasi. Paradigma pendidikan seharusnya memandang siswa/mahasiswa sebagai subjek pendidikan. Pendidikan merupakan proses pendewasaan, interaksi edukasional, dan pembentukan karakter (budi pekerti). Pendidikan kita saat ini menerapkan model pendidikan "gaya bank" seperti yang dikritik Paulo Freire. Para murid diposisikan sebagai objek pendidikan dan menjauhkannya dari realitas sosialnya.

Pendidikan yang tidak berpijak pada realitas dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal, pluralitas kehidupan beragama, merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran. Sedangkan pluralitas beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik.

Delors (1999) menegaskan, pendidikan seharusnya mampu mengatasi berbagai ketegangan yang dapat menyebabkan renggangnya kohesi sosial. Pendidikan memiliki tugas mulia untuk mendorong setiap orang bertindak sesuai dengan tradisi dan keyakinan mereka dan menghormati penuh pluralisme dan mengangkat pikiran dan spirit mereka ke taraf yang universal untuk memelihara nilai-nilai kemanusiaan.

Mencerdaskan

Pendidikan adalah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, dibutuhkan cara yang luar biasa dalam menciptakan pengembangan pribadi dan membangun hubungan antarindividu, kelompok, dan bangsa.

Bagaimana kita bisa belajar untuk hidup bersama di 'global village' jika kita tidak dapat mengatur untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat kita yang sangat pluralis dan multikultur? Padahal, pendidikan merupakan jantung bagi pengembangan pribadi dan masyarakat dengan memberikan ruang bagi pengembangan bakat, mewujudkan potensi kreatif, meningkatkan tanggung jawab atas kehidupan kita, dan pencapaian tujuan pengembangan pribadi.

Pendidikan yang mencerdaskan, menurut Semiawan (2008), adalah pendidikan yang bertujuan menyulut potensi kreatif (peak experience) seseorang, yakni kemampuan untuk mengintegrasikan diri dengan apa yang dihayati. Dan mengaktualisasikan diri menjadi seseorang yang sepenuhnya human, yakni seorang yang sehat mental dalam berbagai pemikiran dan tindakannya.

Pendidikan juga harus dibangun dalam relasi dialogis antara guru dan murid. Relasi dialogis ini berangkat dari come from within atau berasal dari diri yang terdalam (instriksik) para guru dan murid yang kemudian terekspresikan secara insight out yang berdimensi nilai-nilai keikhlasan dan berlandaskan pada to be bukan to have.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut menuju pendidikan yang mencerdaskan perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang holistik integratif. Upaya perbaikan meliputi seluruh dimensi pendidikan, baik filosofi pendidikan, kurikulum, sistem pembelajaran, dan strategi belajar-mengajar.

Pertama, filosofi pendidikan dikembalikan pada nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu Tut Wuri Handayani. Filosofi tersebut menempatkan pendidikan sebagai kekuatan yang mendorong semangat menuju keseteraan dan kesatuan dalam kebinekaan dalam rangka character building masyarakat Indonesia.

Kedua, kurikulum dirancang dengan memuat materi-materi esensial yang diperlukan oleh anak didik sesuai tingkat perkembangan fisik, sosial, dan kejiwaan, serta mampu merangsang siswa untuk kreatif, kritis, mandiri, dan demokratis. Pengembangan kurikulum dilakukan secara simultan dengan pengembangan bahan ajar dan media pembelajaran.

Ketiga, perlu dibangun sistem dan strategi pendidikan untuk meningkatkan dan menghasilkan guru-guru yang profesional serta model pelatihan pengembangan profesionalisme guru sesuai dengan kebutuhan guru.

Dan keempat, metode pembelajaran berbasis pada learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Metode tersebut diterapkan secara integratif dalam praktik pembelajaran sehingga merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa, membangun kapasitas
Opini Republika 16 Februari 2011