18 Februari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » PRT Juga Manusia yang Harus Dilindungi

PRT Juga Manusia yang Harus Dilindungi

Oleh : Mandroy. P
Hidup adalah pilihan. Begitulah kata-kata yang sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Namun apakah menjadi seorang PRT (pembantu rumah tangga) adalah pilihan? Saya rasa tidak ada seseorangpun di dunia ini yang memutuskan atau bercita-cita menjadi seorang pembantu.
Bekerja dengan keras dengan upah seadanya, jauh dari sanak saudara, sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan sudah menjadi bagian hidup sebagian dari mereka. Kalaupun ada yang tidak diperlakukan demikian, setidaknya pemahaman atau pandangan masyarakat terhadap para PRT sudah tertanam sedemikian rupa yang terkadang membuat kedudukan mereka di hati masyarakat tidak baik (dicap rendah).
Dalam Ensiklopedia bebas PRT diartikan sebagai orang yang bekerja dalam lingkup rumah tangga majikannya. Di Indonesia, saat masa penjajahan Belanda, pekerjaan pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca: babu), sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai istilah konotasi negatif untuk pekerjaan ini.
Pekerja rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak-anak. Di beberapa negara, pembantu rumah tangga dapat pula merawat orang lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik. Disaat majikan masih tertidur lelap, mereka telah bekerja menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan sang majikan dan baru akan selesai sesaat majikannya akan tidur kembali.
Fenomena yang tampak dari mereka adalah bekerja dengan waktu yang tidak terbatas dan pada ruang lingkup yang sangat luas.
Di dalam negeri, tidak ada data resmi yang menyebutkan dengan pasti jumlah mereka yang bekerja sebagai PRT. Namun menurut International Labour Organization (ILO) jumlah PRT di Indonesia berada pada interval tiga sampai empat juta orang.
Potret kehidupan mereka di dalam negeri bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Dengan pekerjaan yang begitu banyak mulai dari membuka pintu untuk majikannya, memasak, mencuci, dan segudang pekerjaan lainnya jerih payah mereka hanya dihargai sekitar 200 sampai 300 ribu perbulan, untuk makan saja tidak cukup.
Tidak hanya itu saja, banyak diantara mereka yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya bahkan tidak sedikit diantara mereka yang dipaksa dan diperkosa oleh majikannya. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) melansir, sedikitnya terdapat 412 kasus kekerasan pada PRT di berbagai daerah dalam kurun waktu 2000-2007.
Dari tiga sampai empat juta PRT yang ada di negeri ini mengapa hanya 412 kasus saja yang terdata oleh Jala PRT? Alasannya masih sangat klasik sebenarnya. Mereka pada umumnya takut untuk mengadu kepada pihak berwenang karena diancam oleh majikannya atau takut kehilangan pekerjaannya. Kalaupun ada yang berani, mereka kebingungan harus berbuat apa dan tidak tahu harus mengadu ke mana ketika mengalami perlakuan yang tidak pantas dari majikannya.
Ternyata kehidupan yang dialami oleh PRT atau tenaga kerja Indonesia (TKI) diluar negeri lebih parah lagi. Masih banyak orang-orang kaya di luar negeri sana yang menganggap TKI bukan sebagai pekerja, namun sebagai budak yang hanya numpang hidup di negeri mereka yang dapat diperlakukan sesuka hati dengan jam kerja yang tidak terbatas namun dengan gaji yang sangat minim.
Kalau berbicara tentang TKI maka sepintas pasti banyak yang menyangkutpautkannya dengan negeri Jiran, Malaysia. Bagaimana tidak? Banyak TKI yang bekerja sebagai PRT di sana yang diperlakukan lebih keji dari binatang sekalipun. Umpamanya kasus yang menimpa Siti Hajar yang menghebohkan hubungan bilateral kita dengan Malaysia sampai-sampai pemerintah menghentikan sementara pengiriman TKI ke negeri tersebut.
Kemudian ada kasus kekerasan yang dialami moleh Munti, TKI asal Jawa Timur, yang diperlakukan keji oleh majikannya di Malaysia dan dikurung selama berhari-hari di kamar mandi akhirnya meninggal dunia setelah sempat mendapat pertolongan rumah sakit. Seperti yang disebutkan oleh Muhammad Iqbal pada salah satu surat kabar lokal, bahwa ‘Perdagangan’ PRT ke Malaysia saat ini telah menjadi industri yang sangat menggiurkan bagi penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
2.000 orang PRT setiap bulannya yang dikirim ke Malaysia dan setiap PRT yang berangkat PJTKI mendapatkan bayaran sekitar 5-6 juta rupiah perorang. Demikian juga dengan agensi di Malaysia. Setiap menyalurkan PRT majikan harus membayar RM 6,000 (Rp 18,000,000) kepada agensi.
Di saat para PJTKI dan agensi mendapat keuntungan di muka PRT pula dikenakan hutang dengan potongan gaji selama 5-6 bulan kerja. Saat ini ada sekitar 300,000 PRT Indonesia yang bekerja di Malaysia.
Masuk Daftar Hitam
Beliau juga menyebutkan bahwa Malaysia selama beberapa tahun terakhir ini telah masuk daftar hitam sebagai negara yang dianggap kurang serius dalam menangani perdagangan manusia oleh Amerika Serikat. Walaupun Pemerintah Malaysia telah membantahnya dan telah membuat Undang-undang anti perdagangan manusia tahun 2008 namun tidak dapat dipungkiri kejahatan transnasional trafiking masih saja terjadi.
Data Polisi Diraja Malaysia (PDRM) menunjukkan bahwa dalam tahun 2000-2005 rata-rata ada 2.000 pertahun, wanita Indonesia yang dijual menjadi pelacur dan tertangkap oleh pihak polisi Malaysia. Buruknya sistem pengiriman PRT ke Malaysia adalah salah satu penyebabnya. 0
Belum lagi peraturan majikan yang sangat ketat dan dipekerjakan layaknya robot karena majikan merasa sudah membayar mahal kepada agen, mengasuh anak, memasak, mencuci, menyetrika, mencuci mobil, mengepel lantai.
Semua dilakukan sendiri karena biasanya majikan wanita juga bekerja. Bahkan banyak ditemui PRT digilir bekerja pada sebuah keluarga. Misalnya hari ini di rumah majikan, besok di rumah adiknya, besoknya di rumah mertuanya. Mereka tidak ada pilihan selain mengikuti keinginan agensi dan majikan selam 2 tahun lamanya.
Sedangkan PJTKI dan sponsor yang mengirimkan mereka tidak mau tahu lagi tentang keadaan mereka. Apabila berbuat kesalahan biasanya majikan akan memberitahu agensi. Lalu dilakukan ‘konseling’. Namun, bukan konseling psikologi yang mereka dapat. Istilah konseling disalahgunakan oleh beberapa pihak oknum agensi di Malaysia.
Dalam konseling PRT akan mengalami intimidasi dan kekerasan oleh agen yang bertugas melakukan konseling. Biasanya mereka akan meminta PRT tersebut untuk dikurung di WC, ditampar, dipukul, atau disuruh turun naik tangga ratusan kali. Kasus ini pernah mencuat ke permukaan. KBRI Kuala Lumpur melaporkan pihak agensi tersebut dan akhirnya ditangkap oleh pihak polisi.
Pemerintah harus bertindak cepat mengatasi masalah ini dengan mengeluarkan sebuah undang-undang yang melindungi PRT baik yang ada di dalam maupun yang ada diluar negeri sebagai TKI. Seperti yang dilansir oleh Harian Republika, keberadaan undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dinilai belum mengakomodasi kepentingan pekerja rumah tangga.
Pasalnya, undang-undang ini hanya mengatur hubungan industrial. Para PRT masih dianggap pekerja sektor nonformal yang belum diatur hak dan kewajibannya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dianggap melindungi PRT ternyata tidak mengatur hubungan kerja antara PRT dengan pemberi kerja atau majikan.
Mendesak
Oleh karenanya, keberadaan payung hukum baru untuk melindungi hak PRT ini dianggap mendesak oleh sejumlah kalangan yang peduli dengan nasib PRT. Mereka mendesak agar DPR segera membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang PRT ini.
Keberadaan UU PRT ini sangat diperlukan untuk menghindari eksploitasi terhadap PRT. Dengan undang-undang ini, status PRT menjadi jelas. Pengakuan dan perlindungan hukum ini diharapkan dapat membongkar ketidakadilan terhadap pekerja yang selama ini memiliki keterbatasan dalam ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, informasi, dan hukum.
Dengan undang-undang ini, diharapkan hak dan kewajiban PRT juga menjadi jelas. Apa yang harus mereka kerjakan, berapa lama mereka bekerja, dan berapa upah yang akan mereka terima.
Melalui undang-undang ini, negara berkewajiban memenuhi peran dan tanggung jawabnya untuk melindungi PRT, mengatur hubungan kerja kerumahtanggaan. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, seorang mahasiswa FKM USU, dan anggota Koordinasi POMK FKM USU
Opini Analisa Daily 18 Februari 2011