17 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » BRIC, BIC, atau IBIC?

BRIC, BIC, atau IBIC?

Dalam tulisan ekonomi di harian ini terbitan 14 Februari 2011 halaman 15, ”Visi 2011-2025, Kepemimpinan Syaratnya” oleh ekonom mumpuni Muhammad Chatib Basri, disinggung juga peluang besar Indonesia untuk bergabung dengan kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, China) karena pertumbuhan ekonominya yang pesat.
Istilah BRIC pertama kali digunakan pada 2001 oleh Dominic Wilson dari Goldman Sachs, perusahaan Amerika yang bergerak dalam perbankan investasi global dan sekuritas, yang mengacu pada keempat negara di atas karena pertumbuhan ekonominya yang pesat sekali. Menurut perkiraan Goldman Sachs, keempat negara ini akan melampaui Amerika Serikat pada 2018.
Sejak itu istilah BRIC mencerminkan pergeseran berarti dalam kekuatan ekonomi ketujuh negara industri maju (AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, dan Kanada) ke kelompok BRIC sebagai pusat kekuatan ekonomi dunia.
Data IMF menunjukkan bahwa dalam kurun 2014-2030 kelompok BRIC diperkirakan akan bertumbuh demikian pesat sehingga pangsa mereka dalam ekonomi dunia (Produk Domestik Bruto atau PDB Dunia) akan meningkat dari 19,4 persen menjadi 30,3 persen sehingga melampaui gabungan ekonomi AS, Uni Eropa, dan Jepang.
Malahan, pada 2010 ekonomi China (PDB 5,8 trilliun dollar AS) telah melampaui ekonomi Jepang (PDB 5,4 triliun dollar AS) sebagai ekonomi kedua terbesar di dunia sesudah AS. Namun, perlu dikemukakan juga bahwa ditinjau dari segi PDB per kapita, penduduk China masih relatif miskin sebab PDB per kapita China hanya sepersepuluh PDB per kapita Jepang.
Menurut perkiraan terakhir, dalam 10 tahun yang akan datang ekonomi China diramalkan akan melampaui ekonomi AS sebagai ekonomi terbesar di dunia, tetapi dengan tingkat hidup yang masih jauh di bawah tingkat hidup AS dan Jepang.
Akan tetapi, sejak istilah BRIC diperkenalkan pada 2001, telah terjadi banyak perubahan dalam ekonomi beberapa anggota BRIC. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Rusia yang lamban dan terutama korupsi yang parah dan merajalela di mana-mana, ketergantungan ekonomi Rusia yang sangat besar pada ekspor minyak bumi dan gas alam, serta ketidakmampuan Rusia mendiversifikasikan ekonominya ke bidang-bidang lain, sangat mungkin mendiskualifikasi Rusia untuk tetap menjadi anggota BRIC.
Oleh karena itu, relevansi istilah BRIC perlu dipertimbangkan lagi, khususnya apakah BRIC sekarang harus diganti dengan istilah BIC (Brasil, India, China) atau mungkin IBIC (India, Brasil, Indonesia, China), mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia mutakhir yang cukup pesat dan diperkirakan akan bertumbuh lebih pesat lagi dalam tahun-tahun mendatang.
Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia memang masih lebih kecil daripada ekonomi negara-negara BRIC. Misalnya, pada 2010 PDB Indonesia baru sepertiga PDB India. Indonesia sulit melampaui India yang dalam beberapa tahun mutakhir rata-rata bertumbuh 9 persen setahun, sedangkan ekonomi Indonesia bertumbuh rata-rata 6-6,5 persen setahun.
Meskipun demikian, Indonesia sebagai anggota Kelompok G-20 kini sudah termasuk salah satu dari ke-20 ekonomi terbesar di dunia. PDB gabungan dari Kelompok G-20 menghasilkan lebih kurang 85 persen dari PDB dunia, dan kini muncul sebagai dewan ekonomi utama dari ke-20 ekonomi terbesar dunia.
Indonesia telah berhasil mengatasi dampak buruk dari krisis finansial global tahun 2008 dengan baik berkat kebijakan makroekonomi yang sehat. Pada 2009 pertumbuhan riil PDB-nya adalah yang ketiga tertinggi di antara Kelompok G-20 sesudah China dan India.
Ekonomi Indonesia dalam tahun-tahun mendatang juga diharapkan akan bertumbuh dengan sedikit-dikitnya 7 persen setahun sehingga dalam satu-dua dasawarsa mendatang diharapkan akan muncul sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.
Akan tetapi, sebelum hal ini bisa tercapai, Indonesia perlu menanggulangi dulu dua tantangan pembangunan besar.
Pertama, Indonesia perlu melakukan banyak investasi untuk memperluas dan membangun kembali prasarana fisik yang rusak, yang merupakan kendala besar bagi pertumbuhan ekonomi yang pesat. Indonesia juga perlu melakukan banyak investasi dalam prasarana sosial untuk memperluas dan memperbaiki mutu fasilitas kesehatan bagi semua lapisan masyarakat, terutama bagi golongan penduduk yang berpendapatan rendah, serta fasilitas dan mutu pendidikan pada semua tingkat, khususnya pada tingkat sekolah lanjutan dan universitas, karena sumber daya yang berketerampilan tinggi adalah mutlak diperlukan untuk pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan.
Kedua, Indonesia juga perlu membenahi dirinya secara tuntas dengan memperbaiki tata kelola pemerintah secara berarti, terutama dengan mengembangkan pranata-pranata—artinya aturan permainan yang baik—yang dapat memberantas korupsi yang merajalela di mana-mana.
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa belum pernah suatu negara yang sangat korup bisa menjadi negara maju yang demokratis, adil, dan makmur. Mengapa? Sebab, korupsi bagaikan kanker ganas yang menggerogoti kohesi sosial atau rasa kebersamaan, yang mutlak diperlukan untuk memberhasilkan upaya pembangunan nasional.
Jika Indonesia memang berhasil menanggulangi kedua tantangan besar yang dihadapinya, yaitu prasarana fisik yang remuk dan korupsi yang parah, maka Indonesia memang layak digolongkan dalam kelompok BRIC atau IBIC (India, Brasil, Indonesia, China).
Thee Kian Wie Anggota Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI)
Opini Kompas 18 Februari 2011