17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » Ada yang Mengeskalasi Kerusakan Negara

Ada yang Mengeskalasi Kerusakan Negara

Tragedi berdarah di Cikeusik dan Temanggung melengkapi kerusakan Indonesia. Tingkatkan kewaspadaan agar kita bisa terhindar dari situasi chaos. Ada yang sedang mencoba peruntungan dari karut-marut Indonesia dewasa ini.

Jika sistem berjalan, tidak mungkin kerusuhan berdarah Cikeusik dan Temanggung bisa terjadi dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Dua kerusuhan itu diduga direkayasa sehingga sistem yang sudah rusak tentu saja tak mampu lagi antisipatif. Bahkan muncul pula kerusuhan di Pasuruan (15/2/2011). Korban jiwa pun berjatuhan. Kronologi tragedi Cikeusik menggambarkan skala kerusakan negara dan kita layak cemas. Massa penyerang bukan warga Cikeusik.

Kepala Desa Cikeusik pun tidak mengenali massa penyerang. Warga Cikeusik tak tahu persis kejadian karena sebagian besar sedang berada di sawah. Belakangan, massa penyerang bisa dikenali dari tanda-tanda di tubuh mereka, yakni mengenakan pita biru dan pita hijau. Kalau periode sekarang disebut sebagai transisi atau konsolidasi demokrasi, pola rekayasa tragedi di Cikeusik itu jelas-jelas menggambarkan kerusakan yang amat menakutkan.

Apalagi jika mencermati kenyataan bahwa upaya preventif dan perlindungan terhadap pihak yang diserang terbilang sangat minim sehingga timbul kesan pembiaran. Kerusakan itu makin nyata karena kurang dari 24 jam setelah tragedi Cikeusik, tragedi serupa terjadi di Temanggung. Tidak salah jika publik yang cemas bertanya: di manakah negara? Di mana pemerintah? Setelah Cikeusik dan Temanggung, di mana lagi tragedi berdarah akan direkayasa? Mengapa pula polisi tampak begitu lemah menghadapi massa penyerang? Kepada siapa rakyat boleh meminta perlindungan manakala terjadi kerusuhan berlatar belakang SARA?

Esensi semua pertanyaan ini, sejatinya, menggambarkan kerusakan sistem kenegaraan kita. Kerusakan itu kini sudah terekam kuat di benak rakyat kebanyakan. Tragedi Cikeusik, Temanggung dan Pasuruan pantas dipahami sebagai eskalasi karut-marut Indonesia menuju kerusakan. Ada yang memaknai tiga tragedi itu sebagai pengalihan isu. Tidak salah dan bisa diterima. Namun, layak pula untuk curiga bahwa rekayasa dua tragedi itu tak sekadar bertujuan mengalihkan isu.

Kalau sekadar mengalihkan isu, pihak yang paling pantas dicurigai adalah pemerintah. Kenapa pemerintah? Karena citra pemerintah sedang terpuruk akibat kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintahan sekarang ini. Namun, akal sehat kita mengatakan bahwa dua tragedi itu terlalu mahal bagi pemerintah jika tujuannya sekadar mengalihkan isu. Lagipula, risikonya terlalu tinggi bagi pemerintah dan negara jika yang ditunggangi isu berlatar belakang SARA.

Masyarakat mencatat kerusuhan berlatar belakang SARA sudah terjadi berulang kali. Belum lagi tindakan anarkistis skala kecil yang mengatasnamakan agama. Kita juga mencatat bahwa perlakuan hukum terhadap semua pelakunya tidak tegas, juga tidak lugas. Melihat hal ini, masyarakat sudah lama memendam kekecewaan terhadap penegak hukum. Muncul asumsi yang tidak menguntungkan bagi pemerintah. Timbul kesan pelaku kerusuhan itu sengaja “dipelihara” untuk dimanfaatkan sebagai pressure group pada saat yang diperlukan.

Banyak kalangan cemas pascatragedi Cikeusik, Temanggung dan Pasuruan. Alasan pertama, massa penyerang sudah berani membunuh. Kedua, dua tragedi itu terjadi ketika citra pemerintah sudah sulit dipulihkan karena akumulasi kekecewaan rakyat akibat kinerja ekonomi negara yang buruk, tebang pilih dalam penegakan hukum, serta keengganan membongkar mafia pajak.

Tidak salah jika tragedi Cikeusik, Temanggung dan Pasuruan layak dikaitkan dengan kecaman para tokoh lintas agama tentang kebohongan publik yang dilakukan pemerintah. Seperti diketahui, pascapernyataan para tokoh lintas agama itu, gerakan antipemerintahan sekarang ini terus menguat, tak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah.

Faktor ketiga yang juga sangat mencemaskan adalah inkonsistensi antara pernyataan kehendak Presiden dengan langkah-langkah menteri dan penegak hukum. Presiden menegaskan organisasi masyarakat yang sering bertindak anarkistis harus dibubarkan. Namun, para pembantu Presiden tidak memiliki keberanian untuk melaksanakan perintah itu. Berarti, tragedi serupa berikutnya hanya soal waktu dan tempat.

Penggulingan atau Darurat

Kalau sudah begitu, siapa yang sedang bermain api saat ini? Itulah pertanyaan publik saat ini. Sikap pemerintah sendiri tidak meyakinkan dan cenderung menyederhanakan persoalan. Cara para pembantu Presiden menyikapi dan menangani dua tragedi itu justru menimbulkan saling curiga di ruang publik. Masyarakat telanjur curiga atas ormas tertentu sebagai pelaku penyerangan. Apalagi, ada temuan mengenai massa penyerang menerima imbalan uang.

Namun, penegak hukum mengatakan tidak ada ormas yang terlibat. Jika dalam jangka dekat ini pemerintah dan penegak hukum tidak bisa mengungkap dalang dan pelaku dua kerusuhan itu, kecurigaan terhadap pemerintah akan menguat. Publik semakin yakin bahwa dua tragedi itu direkayasa tangan-tangan kotor pemerintah untuk sekadar mengalihkan isu. Mengungkap dalang dan pelakunya saja tidak cukup. Sebab, publik ingin melihat proses hukum dan ganjaran terhadap mereka.

Polisi sudah menangkap sejumlah tersangka. Itu kita apresiasi. Namun, lebih penting lagi adalah menangkap dan menghukum aktor intelektual dua tragedi berdarah itu. Penegak hukum harus bergerak cepat agar saling curiga antarelemen masyarakat bisa segera diakhiri. Sebab, membiarkan saling curiga antarelemen masyarakat tentang siapa dalang dan pelaku dua kerusuhan itu sangat berbahaya. Kalau eksesnya tak terkendalikan, negara bisa terperangkap situasi chaos.

Karena itu, saya mengimbau seluruh elemen masyarakat cinta damai untuk tidak terprovokasi sambil terus meningkatkan kewaspadaan dan mengamati dengan cermat dinamika di ruang publik. Beberapa kalangan melihat gelagat buruk pihak tertentu di balik dua tragedi berdarah itu. Keadaan karut-marut sekarang dieskalasi dengan merekayasa kerusuhan di sejumlah tempat. Isu SARA ditunggangi karena dengan isu itu paling mudah untuk meledakkan konflik horizontal.

Sempat beredar cerita bahwa setelah isu SARA,target serangan berikutnya adalah partai-partai politik. Ketika konflik horizontal itu meluas dan tak terkendali, negara masuk perangkap chaos. Dalam situasi seperti itu, ada dua alternatif yang harus dipilih.Pertama, mengganti pemerintah yang dinilai tak mampu menjaga stabilitas nasional.Atau,kedua, pemerintah yang berkuasa menetapkan negara dalam situasi darurat.

Menghadapi proses perusakan negara itu, kita ditantang untuk selalu berpikir jernih agar negara terhindar dari perangkap chaos. Namun, kita harus tetap kritis dan proporsional agar segala sesuatunya terkontrol. Memang, akhirakhir ini, perhatian rakyat terhadap masalah-masalah strategis seperti korupsi, tebang pilih penegakan hukum, dan mafia pajak sering dibuyarkan dengan strategi pengalihan isu. Namun, kita tidak boleh lengah atau lupa. Masalahnya sekarang terpulang kepada pemerintah.

Persepsi publik tentang kegagalan negara melindungi rakyat bisa menurunkan legitimasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebab, ketidakmampuan pemerintah mengelola masalah sosial dan kesejahteraan umum tak hanya mengikis kepercayaan publik, tetapi bisa mendorong publik membuat simpulan final bahwa SBY gagal menjalankan amanat dan mandat rakyat.

Bukan karena kerusuhan itu sendiri yang membuat banyak kalangan cemas,tetapi rakyat gelisah karena melihat pemerintahan SBY lagi-lagi melakukan pembiaran dan sangat minimalis. Harus diingat bahwa dampak dari persoalan kesejahteraan umum dan masalah sosial saat ini tidak lagi sesederhana yang diasumsikan pemerintah. Hidup kenegaraan kita mengalami kerusakan yang parah.

Hampir seluruh elemen masyarakat terang-terangan menyatakan keraguan mereka atas kapabilitas SBY melaksanakan amanat dan mandat kepresidenan yang telah diberikan rakyat pada Pemilu 2009. Kalau Presiden tidak segera meningkatkan efektivitas kepemimpinan dan pemerintahannya, bukan tidak mungkin rakyat mencabut legitimasi dari genggaman SBY.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar  

Opini Okezone 17 Februari 2011