17 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Tentara dan Demokratisasi Mesir

Tentara dan Demokratisasi Mesir

Jauh sebelum Presiden Hosni Mubarak dipaksa meninggalkan singgasananya, para pengamat yang jeli sudah mafhum bahwa kekuasaan yang sebenarnya di Mesir ada di tangan tentara. Pengamatan ini secara mencolok dibenarkan oleh Mubarak, yang ketika mundur kepada tentaralah kekuasaan ia pasrahkan.
Tentara Mesir memasuki dan menjadi pemain politik menentukan sejak 1951 tatkala mereka menggulingkan Raja Faruk. Perwira pertama yang jadi penguasa Mesir adalah Jenderal Naguib. Namun, dalam waktu singkat Naguib dimakzulkan Gamal Abdel Nasser, kolonel yang sebenarnya memimpin penggulingan dan pengusiran Raja Faruk.
Nasser bisa bertahan di kursi kepresidenan karena ia didukung dan menguasai tentara. Anwar Sadat yang kemudian menggantikan Nasser juga didukung dan menguasai tentara. Hal yang sama merupakan pengalaman Mubarak sebelum akhirnya ia terpaksa menyerah pada tekanan demonstrasi yang melanda hampir seantero Mesir. Bahwa tentara tidak membela dan mempertahankan Mubarak, ini sekali lagi mempertegas bahwa kekuatan ada pada militer dan kejatuhan sang diktator tidak merugikan mereka.
Pengalaman Mesir dengan tentara adalah juga pengalaman sebagian besar negara Arab yang diperintah para diktator mantan tentara. Semua diktator itu naik takhta melewati pundak tentara. Akan tetapi, begitu mereka berkuasa, langkah pertama yang mereka lakukan adalah menjadikan tentara sebagai penguasa (ruler) yang tidak memerintah (govern- ing). Tentara disiapi tangsi tempat mereka bermukim dengan segala fasilitas dan kemudahan dari pemerintah yang didukung.
Untuk menjaga langgengnya kekuasaan sembari membungkam lawan-lawan politiknya, para diktator itu menciptakan jaringan aparat keamanan yang terdiri dari polisi rahasia serta intelijen (muhabarat) yang mengawasi semua kegiatan masyarakat, terutama mereka yang dicurigai bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan.
Tentara pada umumnya menghindar dari kegiatan pengamanan rezim. Inilah yang menjelaskan mengapa mereka selalu mampu tampil bersih, bahkan simpatik, di mata para pengunjuk rasa yang menyerang dan ”menggulingkan” Mubarak. Tentara tidak jadi sasaran demonstrasi karena yang dimusuhi para demonstran adalah polisi, polisi rahasia, dan muhabarat. Ketiganya adalah alat penindas rakyat yang digunakan sang diktator.
Kekuatan politik
Peranan militer, seperti kita lihat di Mesir dan hampir di semua negara otoriter pimpinan sejumlah diktator mantan militer di Timur Tengah, amat berbeda dengan peran politik TNI/ABRI pada masa dwifungsi dulu. Dengan dwifungsi, TNI/ABRI jelas memainkan peran politik praktis berdasarkan doktrin tertulis, ketetapan MPR dan undang-undang.
Di Timur Tengah, militer jadi kekuatan politik tanpa doktrin atau undang-undang. Tugas resmi mereka hanya menjaga kedaulatan negara dari ancaman dari luar, sama sekali bukan aparat keamanan. Meski merupakan kekuatan politik utama, mereka bukanlah kekuatan sosial politik seperti TNI/ABRI di masa lalu.
Di Indonesia, pada masa Orde Baru, meski kekuasaan nyaris 100 persen di tangan Presiden Soeharto, dalam pemerintahan dan politik sehari-hari tentara tampil dengan jelas, bahkan kadang menonjol, meski tidak banyak menentukan. Pengawalan kelanggengan kekuasaan juga berada di tangan tentara. Akibatnya, ketika rezim Soeharto tumbang, TNI/ABRI secara langsung atau tidak ikut memikul kesalahan rezim. Rasa bersalah dan dipersalahkan inilah yang, antara lain, ikut memainkan peran yang mendorong TNI/ABRI melepaskan peran politik mereka pada Rapim TNI, 20 April 2000.
Juga berbeda dengan TNI/ABRI, tentara Mesir adalah tentara yang sebagian besar biaya dan persenjataannya berasal dari bantuan Amerika Serikat. Menurut catatan, setiap tahun Wa- shington menyediakan 1,3 miliar dollar AS untuk tentara Mesir. Tentu saja dana yang dialokasikan untuk tentara Mesir sebesar itu bukan tanpa pamrih.
Alhasil, kepentingan Amerika di Mesir paling sedikit ada dua. Pertama, menjaga agar tidak terjadi perang Mesir-Israel (mempertahankan kesepakatan damai Camp David, 1978). Kedua, jangan sampai Mesir menjadi sarang kaum radikal Islam yang membahayakan keamanan Amerika dan sekutu-sekutunya.
Tentara dan aparat sekuriti Mesir, secara bersama, selama puluhan tahun mengerjakan tugas Amerika ini dengan baik. Justru yang tidak berhasil adalah pemerintahan Mubarak. Diktator yang berkuasa selama 30 tahun itu gagal menyejahterakan rakyatnya meski berhasil memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Rakyat akhirnya berontak dan sisanya adalah sejarah.
Di bawah kendali tentara
Setelah Mubarak meninggalkan singgasananya di Kairo, kekuasaan yang dipasrahkan Mubarak untuk sementara dikelola para jenderal. Mereka akan ”membimbing” Mesir dalam reformasi dan demokratisasi. Pertanyaannya, apakah tentara yang menikmati banyak fasilitas dari Mubarak—dari usaha real estat hingga produksi bahan makanan—bersedia melepaskan semuanya, seperti TNI/ABRI melakukannya secara berangsur pasca-kejatuhan Orde Baru?
Bisa diduga, tanpa tekanan dari masyarakat, tentara tidak akan membuat kebijakan yang merugikan kepentingan dan menghapuskan fasilitas yang selama ini mereka nikmati. Ini pengalaman Indonesia, juga Turki. Lalu, apakah ada cukup kekuatan dalam masyarakat untuk memaksa tentara mereformasi diri sembari mereformasi Mesir?
Partai-partai politik yang ada, termasuk kekuatan Ikhwanul Muslimin, juga akan ikut dalam rembuk pembangunan demokrasi di Mesir. Namun, partai-partai sudah lama terbukti tidak punya tulang punggung kukuh dalam melawan kekuasaan otoriter.
Dengan kata lain, tidak sulit untuk mengerti jika pada akhirnya para politisi Mesir itu menyadari dan menerima realitas bahwa kompromi dengan tentara adalah capaian maksimal yang tersedia. Juga tidak sulit dibayangkan, tentara akan dengan mudah memaksakan sistem baru yang bakal mereka kontrol lewat sebuah government by proxy, yakni pemerintahan sipil yang sebenarnya dikendalikan oleh tentara.
Adapun Amerika sudah terbukti (di Aljazair dan Palestina) bahwa kepentingan praktis mereka lebih mendesak daripada menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mendukung demokrasi jika mereka anggap suara mayoritas rakyat akan merugikan kepentingan Amerika dan sekutunya. Dengan kata lain, kendati retorika penuh janji dan harapan, ada batas bagi Washington mendorong tentara berperan penting dalam pembangunan demokrasi di Mesir.
Maka, satu-satunya kekuatan yang bisa menyelamatkan negeri warisan Firaun itu dari kemungkinan bahaya cengkeraman militer adalah rakyat Mesir sendiri. Setelah berhasil mengusir sang diktator, rakyat Mesir sekarang ditantang membuktikan tekad dan kesanggupan membangun demokrasi di tanah air mereka.
Salim Said Guru Besar Ilmu Politik dan Mantan Duta Besar RI untuk Ceko
Opini Kompas 18 Desember 2011