17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » Prestasi di Tengah Frustrasi Ekonomi

Prestasi di Tengah Frustrasi Ekonomi

BADAN Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan capaian perekonomian Indonesia selama 2010. Pertumbuhan ekonomi tercatat 6,1%, melampaui target 5,8%. Pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku 2010 dinyatakan telah mencapai Rp27 juta atau setara dengan USD3.004,9, melewati ambang psikologis USD3.000 yang selama ini hanya dijadikan wacana sebagai harapan.

Sebelumnya BPS juga melansir data ekspor yang mengesankan. Ekspor 2010 mencapai USD157,73 miliar, naik 35,38% dibanding 2009. Impor juga melesat naik 40,05% dibanding 2009, mencapai USD135,61 miliar. Neraca perdagangan tetap surplus pada kisaran yang dianggap aman. Angka ekspor ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia merdeka. Lapangan kerja yang diciptakan sepanjang 2010 juga mencengangkan.

Tercatat ada 3,34 juta lapangan kerja baru. Ini berarti setiap 1% pertumbuhan ekonomi menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang. Angka ini luar biasa karena selama ini dalam perhitungan yang paling optimistis kita mengasumsikan 1% pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan 400.000 kesempatan kerja baru. Data BPS konsisten dengan penurunan angka-angka kemiskinan dan pengangguran yang selama ini dikemukakan yakni penurunan bertahap angka pengangguran dari 9,1% menjadi 7,14%, dan angka kemiskinan dari 16,6% menjadi 13,5%.

Kebanggaan 2010 nyaris sempurna karena kinerja pasar modal juga tak kalah pamor. Sepanjang 2010 indeks harga saham gabungan meningkat 46,13%, dengan nilai kapitalisasi pasar yang melesat 60,63% dibanding 2009. Bila esensi pasar modal adalah ajang perdagangan informasi dan ekspektasi, fakta ini mengindikasikan kepercayaan besar terhadap perekonomian nasional. Kita seperti tambah percaya diri sebagai negara yang masuk dalam G-20, dengan kekuatan ekonomi nomor ke-18 di dunia.

Membaca angka-angka di atas, sejumlah kalangan spontan menilai, Indonesia memang sangat layak ikut dalam liga negara industri baru, menyusul kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China). Agar tidak cepat berpuas diri, kita harus segera memberi catatan kritis. Berbagai laporan menunjukkan, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Yang paling diuntungkan adalah mereka yang bergerak di sektor keuangan dan jasa-jasa modern.

Petani, buruh, nelayan, dan peternak kecil, yang merupakan bagian terbesar penduduk, belum merasakan perubahan berarti dalam daya beli mereka. Dari data BPS kita menyimak, indeks nilai tukar mereka terus mengalami penurunan. Kondisi ini bertambah buruk bila inflasi semakin tak terkendali. Sebagian besar penduduk di lapisan bawah selama ini sangat menderita terjepit gurita konsumerisme yang semakin tak terkendali.

Kasus-kasus lilitan utang, kurang gizi, dan bunuh diri menandakan ruang gerak di lapisan bawah sedang mengalami proses involusi. Menyaksikan barisan antre masyarakat dalam momen-momen karitas keagamaan, barisan pengemis di jalan-jalan raya, pedagang asongan di tempat-tempat publik, dan pekerja hiburan di seantero kota-kota, susah kita menyanggah bahwa ekonomi kita terancam marginalisasi permanen menjadi ”ekonomi kaki lima”.

Pembebasan bea masuk sejumlah komoditas pertanian utama, sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Menteri Keuangan belum lama ini (Permenkeu 241/ 2010), yang dimaksudkan untuk meredam inflasi dengan membuka kran impor lebar-lebar, berpotensi menimbulkan kemiskinan masif di perdesaan. Politik ekonomi kita lebih proimportir, dan lalai-abai terhadap rumah tangga petani.

Dalam kaitan dengan angka pengangguran dan kemiskinan, BPS diharapkan lebih terbuka dengan metodologi atau instrumen pengukur yang digunakan. Apakah kita masih tetap menyebut seseorang masuk kategori bekerja hanya apabila yang bersangkutan terlibat dalam kegiatan produktif minimal satu jam? Apakah belum saatnya bila garis kemiskinan dinaikkan agar kita mendapatkan jumlah dan peta kemiskinan yang lebih akurat?

Apakah masih pantas, dengan pendapatan per kapita sekira Rp27 juta per tahun, kita menggunakan ukuran kemiskinan pada angka sekira Rp2,7 juta per tahun,atau sepersepuluhnya saja? Ekspor yang meningkat juga terjadi berkat kenaikan harga komoditas di pasar dunia.Kenaikan harga batu bara, kelapa sawit, karet, dan komoditas lain mendongkrak perolehan ekspor.

Ekonomi kita, selain masih kental didominasi ekonomi ekspor bahan mentah – mirip jaman kolonial dulu- ternyata juga sangat lapar impor.Angka impor yang melesat melebihi ekspor menunjukkan proses penciptaan nilai tambah tidak berlangsung di dalam negeri. Secara khusus, defisit perdagangan yang membesar terhadap China menunjukkan gelagat mulai dirasakannya dampak perjanjian pasar bebas ASEAN-China (ACFTA). Meski data yang lebih solid belum didapat, rasanya sulit untuk dipungkiri kenyataan banyak pelaku industri telah bermetamorfosa menjadi pedagang.

Orbit dan penetrasi peredaran produk impor juga semakin tak terbendung. Peraturan menteri perdagangan yang baru (Permendag 39/2010) tentang importasi barang jadi oleh produsen, yang mulai berlaku 1 Januari 2011, dikhawatirkan akan mempercepat proses deindustrialisasi atau memfasilitasi transisi dari industriawan menjadi pedagang. Peraturan ini semula untuk menjamin timbulnya persaingan yang adil antara importir umum dan importir produsen, tetapi dapat menimbulkan dampak yang membahayakan pertumbuhan industri nasional karena dapat mengurangi insentif untuk melakukan proses domestikasi proses produksi.

Indeks bursa juga sangat rentan terhadap gejolak luar. Arus modal yang masuk lebih banyak bersifat spekulatif dan sebagian besar tidak merembes ke sektor riil. Modal-modal tersebut datang hanya untuk memanfaatkan suku bunga di Indonesia yang lebih tinggi dibanding negara lain. Masih banyak sekali pekerjaan rumah kita. Kejujuran melihat fakta dan menerjemahkan amanat konstitusi merupakan modal terpenting untuk lebih maju di masa depan. Jangan sampai, karena kita terbuai angka-angka, lalu kita terjebak dalam etalase ”too good to be true”.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO Ph.D
Pengamat Ekonomi

Opini Okezone 16 Februari 2011