Restrukturisasi kapal nelayan kecil dikhawatirkan sia-sia sebab tak mudah mengubah karakter nelayan yang terbiasa menangkap di perairan sejauh maksimal 4 mil
PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mendapat bantuan 30 kapal nelayan modern senilai Rp 45 miliar dari pemerintah pusat. Tahap pertama 30 unit kapal mulai dibuat tahun ini di Tegal, Pekalongan, Batang, Juwana, dan Rembang (www.dkp.go.id, 08/04/10)
Seperti diketahui, Jateng memiliki pantai sepanjang 300 kilometer, baik di utara maupun selatan, serta 33 pulau. Potensi sumber daya ikan yang tersebar di perairan Jawa Tengah sekitar 1.873.530 ton/tahun meliputi Laut Jawa sekitar 796.640 ton/tahun dan Samudera Indonesia sekitar 1.076.890 ton/tahun, terkandung di dalamnya meliputi ikan pelagis besar (tuna, hiu), pelagis kecil, demersal, ikan karang, udang, kepiting, kerang-kerangan, teripang, dan lain-lain.
Tapi itulah, dengan potensi yang begitu luar biasa kenapa nelayan Jateng tetap ibarat tikus mati di lumbung padi? Inilah kenapa, kita memang mesti hati-hati membicarakan soal melimpahnya potensi perikanan seperti yang diungkapkan statistik.
Sebab, angka statistik itu masih merupakan angka “indah” di layar kalkulator. Kenyataannya, nelayan kita belum menjadi tuan rumah di lautnya sendiri.
Sebab dari 121.837 nelayan Jateng, 81,23 persen perahu nelayan masih berupa motor tempel, ukuran kurang dari 10 gross ton 16.035 unit. Dengan ukuran itu, jangkauan penangkapan tidak jauh sehingga hasil kurang maksimal.
Perkembangan armada perikanan Jawa Tengah memang selalu menunjukkan peningkatan. Tetapi struktur armada perikanan Jawa Tengah tidak sehat. Struktur armada perikanan kita terlalu berat pada perahu tanpa motor dan kapal kurang dari 5 gross ton (GT), sedangkan kapal-kapal 5-10 GT dan di atasnya jumlahnya relatif kecil. Akibatnya seberapa pun jauhnya kemampuan mereka pergi menangkap ikan, umumnya mereka tidak pernah keluar dari perairan antara kepulauan. Nelayan pesisir utara Jawa ya tetap di Laut Jawa.
Percayalah, jika kapal-kapal nelayan dan perusahaan perikanan di Jawa Tengah dapat beroperasi secara maksimal di perairan Indonesia, kekayaan laut seluas sekitar 6 juta km2 dapat dinikmati oleh nelayan dan perusahaan perikanan di dalam negeri.
Untuk mewujudkan hal itu, alternatif program yang dapat dikembangkan adalah restrukturisasi kapal nelayan. Melalui program ini akan diberlakukan zero growth untuk armada perahu tanpa motor, sedangkan perahu tempel pertumbuhannya dibatasi 2% per tahun. Armada kapal dengan tonase di bawah 5 gross ton pertumbuhannya diarahkan sekitar 3%.
Bernilai Strategis Untuk armada kapal menengah yaitu 5-10 gross ton dipacu agar tumbuh 8%, untuk armada 10-30 gross ton 12%, dan yang paling besar adalah armada 55% dalam lima tahun. Restrukturisasi ini dimaksudkan agar armada perikanan kita mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif. Dalam hal ini, bantuan 30 kapal modern untuk nelayan Jateng menjadi bernilai strategis.
Hanya saja, banyak pihak mengingatkan, program restrukturisasi kapal nelayan kecil dikhawatirkan akan sia-sia sebab tidak mudah mengubah karakter nelayan kecil yang terbiasa menangkap di perairan sejauh maksimal 4 mil ke laut lepas.
Problemnya tidak semata teknologi, tetapi juga modal dan budaya. Banyak program bantuan pemerintah untuk ini ’’gagal’’ karena variabel yang dipertimbangkan hanya teknologi.
Padahal, menangkap ikan di laut lepas sangat kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring, dan sebagainya.
Inilah kenapa, upaya nyata menolong nelayan dari jerat kemiskinan adalah membenahi sektor tangkap dari hulu ke hilir. Upaya itu mulai dari perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional agar tidak disusupi nelayan besar yang mengeruk ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil.
Selain itu, dibutuhkan pembenahan pendataan hasil tangkapan ikan. Ini agar ikan tidak diselundupkan dan ada jaminan pasokan bahan baku ke industri pengolahan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri pengolahan di sentra-sentra produksi. Usaha pengolahan tidak hanya di skala kecil menengah berupa ikan bakar dan asap, melainkan juga skala industri besar dengan produk olahan yang lebih bervariasi. (10)
— Joko Suprayoga, PNS di Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan Kendal
Opini Suara Merdeka 19 April 2010