Dramatis dan menegangkan. Demikianlah bila kita melihat seorang jenderal polisi berbintang tiga “ditangkap” oleh beberapa perwira menengah berpangkat komisaris besar (kombes), di sebuah sore di sudut Bandara Soekarno-Hatta.
Adegan ini bertambah dramatis ketika seorang jurnalis yang secara “kebetulan” mendapati momen ganjil tersebut coba dihalang-halangi oleh pihak kepolisian maupun keamanan bandara. Setelah melalui perdebatan sengit dan saling dorong, Komjen Susno Duadji akhirnya memilih surut langkah dari rencananya bepergian ke Singapura untuk melakukan medical check-up.
Mantan kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini akhirnya “menyerah” di tangan para juniornya yang menangkapnya tanpa surat perintah penangkapan. Alasannya sungguh sangat sederhana. “Panglima tinggi nonjob ini dianggap tertangkap tangan melanggar disiplin karena bepergian ke luar negeri tanpa mengantongi surat izin dari atasannya, Kapolri.”
Pelanggaran izin terakumulasi bersama sederet tuduhan pelanggaran kode etik kepolisian yang dialamatkan kepadanya. Meski pada akhirnya Susno Duadji dilepaskan menjelang tengah malam, kasus ini telanjur telah terekam dengan baik dalam ruang batin segenap rakyat Indonesia yang bisa menyaksikannya dengan mata telanjang.
Tersisa sejuta tanya mengapa seorang jenderal diperlakukan dengan cara berlebihan, sekadar untuk sebuah pelanggaran disiplin? Tidakkah ada cara-cara lain yang lebih “layak dan cerdas” untuk menegakkan kode etik tersebut tanpa harus membuat rakyat menghela nafas keprihatinan? Tidakkah pula ada skenario lain yang tengah dimainkan dalam hiruk-pikuk ini?
Sosok Kontroversial
Tampaknya sulit untuk memisahkan ditangkapnya mantan ”Truno 3” ini dari keberaniannya menjadi “whistle blower” kasus makelar kasus (markus). Kesaksiannya bahwa di Markas Besar Polri terdapat markus kelas kakap yang melibatkan petinggi Polri dalam kasus perpajakan memang berbuntut panjang. Meski risikonya tidak sederhana, karier dan nyawa sebagai taruhannya, tampaknya jenderal kelahiran Pagaralam, 1 Juli 1954, ini bergeming.
Dia bahkan berjanji akan membongkar kasus yang lebih besar di institusinya. Tentu dengan aktor yang juga lebih besar pula. Beragam spekulasi lantas mengemuka. Mulai soal sakit hati, dendam, konflik internal para bintang di Polri, hingga soal post power syndrome karena dipaksa berhenti dari posisi sebagai kepala Badan Reserse Kriminal. Etiologi mengapa Susno melakukan semua ini memang menarik dicermati. Secara pasti, hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu.
Kita, publik, paling hanya bisa melihatnya dari perilaku yang tampak (overt behavior). Untuk mengkaji motivasi dan dinamika psikologis yang melatari keberanian seorang Susno, kita perlu menelusurinya melalui profil psikologis (psychological profile), yang meliputi karakter dan kepribadian subjek. Analisis terhadap rekam jejak (track reccord), sejarah kehidupan, latar belakang keluarga, masa kecil, pemikiran, perkataan dan perbuatan juga bisa membantu menguak selubung misteri ini.
Secara fisik, apabila kita menggunakan pendekatan tipologi Kretschmer (Suryabrata, 1983) dengan mudah kita mencandra Susno Duadji sebagai individu berkonstitusi piknis, dengan sifat fisik badan agak pendek, dada membulat, perut besar, leher pendek dan kuat, banyak lemak sehingga urat dan tulang tak terlihat nyata.
Individu yang berkonstitusi piknis ini biasanya diasosiasikan dengan pribadi yang bertipe cyclothym. Biasanya mereka mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain, mudah untuk turut merasa suka dan duka, dan jiwanya terbuka. Dia biasanya adalah individu yang “easy going” dan pemberani dalam setiap langkahnya.
Publik Membaca
“Jalmo tan keno kiniro.” Kearifan lokal (local wisdom) dari Tanah Jawa yang berarti bahwa manusia memang tidak pernah bisa diduga, agaknya tepat untuk mengkaji dinamika kasus Susno Duadji. Usai menjadi tokoh antagonis dalam lakon Cicak vs Buaya karena disangka melakukan rekayasa kasus Bibit-Chandra dan diduga menerima fee Rp10 miliar dari deposan kakap Bank Century, kini Susno justru mendulang simpati besar.
Keberaniannya membuka markus yang melibatkan segi tiga emas— Polri, Direktorat Pajak, dan pengadilan— membuat publik banyak berharap padanya. Sekian lama publik mengalami apa yang disebut oleh Leon Festinger (Walgito, 2010) sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance). Elemen kognitif yang mencakup pengetahuan, opini, kepercayaan terhadap institusi Polri, ternyata berbenturan antara idealita dengan realita.
Secara ekstrem nyanyian sumbang Susno di depan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan di Komisi III DPR memperbesar disonansi tersebut. Polri yang semestinya menjadi institusi penegak keadilan ternyata justru mengkhianati amanat rakyat yang agung itu. Ketidakpercayaan (distrust) yang diidap sekian lama oleh publik terhadap lembaga penegak hukum seakan tersuarakan oleh mantan kepala Polda Jawa Barat ini.
Sesungguhnya, apabila Polri serius hendak berbenah, pengakuan Susno ini adalah modal untuk mereduksi (mengurangi) disonansi kognitif publik tersebut.Ketika informasi yang dibawa Susno adalah serangkaian fakta, Polri hendaknya menindaklanjuti itu dengan serius dalam konteks penegakan keadilan sesuai dengan ekspektasi publik. Namun ceritanya tentu saja akan lain apabila Polri tetap “keukeuh” menutup diri dan sengaja melakukan pembiaran untuk membesarnya distrust dalam ruang batin masyarakat.
Kita tidak boleh lupa bahwa apa yang disuarakan Susno adalah apa yang selama ini menjadi “gerundelan” masyarakat. Susno kini menjadi aset publik yang kepadanya publik banyak berharap. Menilik psikologi masyarakat kita yang cenderung melankolis, simpati publik justru akan membesar terhadap sosok yang dipersepsikan “dizalimi” oleh sebuah kekuatan besar. Terlebih ketika apa yang dinyatakannya, ternyata terbukti sebagai fakta. Publik pun mencari ruang-ruang untuk mengekspresikan dukungan tersebut.
Selain dengan unjuk rasa, jejaring sosial di dunia maya semacam Facebook adalah pilihan ruang publik yang sangat efektif. Meski bukan parameter utama sebuah kebenaran, hendaknya kita belajar dari kekuatannya sebagai penggerak dukungan masyarakat. Usai penangkapan, dukungan terhadapnya di grup “Dukung Susno Duadji untuk Kebenaran”, misalnya, semakin melonjak dengan penambahan penggemar hingga mencapai puluhan ribu hanya dalam waktu beberapa jam.
Penangkapan Susno dengan dalih penegakan disiplin dan kode etik, menurut hemat penulis, justru akan menjadi blunder bagi institusi Polri ketika kita melihatnya dari perspektif psikologi sosial. Kredibilitas lembaga kepolisian di mata rakyat benar-benar dipertaruhkan. Perlakuan yang dianggap “berlebihan” justru menambah luka dan kekecewaan dalam ruang batin rakyat yang kadung membangun rasa tidak percaya (distrust) terhadap institusi penegak hukum bernama kepolisian.
Senyampang belum berubah menjadi amarah, sentilan mesra tanda cinta dari rakyat hendaknya dikelola secara apik dan bijaksana. Dibutuhkan kepekaan, keseriusan, dan langkah empatik-strategis untuk mengelola “Susno Duadji”, guna memperbaiki citra dan kinerja Polri dalam menegakkan hukum dan keadilan,sebagaimana titah rakyat.(*)
Achmad M Akung
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Opini Okezone 14 April 2010
18 April 2010
Membaca (Kembali) Susno Duadji
Thank You!