18 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » KA Parahyangan, Eksotisme Bandung-Jakarta

KA Parahyangan, Eksotisme Bandung-Jakarta

Oleh Sambas

Seorang pakar transportasi, Dr. Ir. Didin Kusdian pernah mengatakan, selama belum ditemukan teknologi transportasi seperti yang dipertontonkan dalam film ”Star Trek”, ketika orang bisa berpindah tempat dengan mengubah dirinya menjadi energi, kemudian kembali menjadi materi di tempat tujuan, maka moda transportasi dalam bentuk kendaraan untuk memindahkan orang dan/atau barang akan tetap dibutuhkan dalam eskalasi yang semakin meningkat.


Kereta Api Parahyangan yang menurut berita ”PR” Jumat (16/4)   akan ditutup pengoperasiannya sungguh merupakan sebuah ironi, mengingat Parahyangan bukan sekadar moda transportasai massal, tetapi juga adalah sebuah sejarah. Kereta api ini pernah berjaya sebagai pilihan masyarakat kelas menengah dalam menikmati eksotisme perjalanan Bandung-Jakarta pulang pergi. Dan ini bukan hanya untuk masyarakat Kota Bandung dan Jakarta saja. Bahkan saudara-saudara kita dari timur Indonesia, seperti Papua dan Sulawesi, yang masih memimpikan utilitas publik kereta api hadir di wilayahnya, senang mengaitkan memori indahnya tentang Bandung dengan pengalaman naik KA Parahyangan, sebagaimana dikisahkan oleh seorang staf Bappeda Kabupaten Manokwari Papua Barat – ketika penulis bertugas di sana. Dengan mata berbinar ia mengatakan, ” Naik Kereta Parahyangan melewati jembatan lembah dan sungai, ngeri tetapi asyik benar...”

Rencana penutupan operasionalisasi KA Parahyangan ini jika dilihat dalam skala yang lebih luas adalah cermin kurang tanggapnya para pemangku kepentingan negeri kita terhadap perkembangan kebutuhan transportasi massal. Dalam kasus spesifik Parahyangan, kita dapat melihat dengan jelas bahwa core benefit yang diinginkan masyarakat dalam memilih transportasi publik terutama adalah kecepatan untuk tiba di tempat tujuan. Dibukanya jalur tol Cipularang hanyalah pembuktian yang idealnya telah diantisipasi sebelumnya hingga ditemukan alternatif strategi pengoperasian Parahyangan agar tetap kompetitif di pasar jasa angkutan.

PT KA dalam hal ini telah berusaha menawarkan benefit lain kepada konsumennya, yaitu dengan penurunan tarif. Keputusan cukup berani ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan solusi teknologi dengan menggunakan kereta api bullet seperti di Jepang, misalnya. Namun kita semua tahu, penurunan tarif ini efeknya masih kurang signifikan dalam mendongkrak okupansi kereta api, kecuali di akhir pekan. Mempertahankan tingkat  okupansi minimal adalah strategi bisnis paling elementer dalam sebuah perusahaan angkutan yang perlu diikuti strategi fungsional berupa perpaduan antara kreativitas pemasaran dan keunikan pelayanan yang paralel dengan kemudahan reservasi.

Bagaimana ini dilakukan? Salah satunya adalah dengan menjemput dan mengikat penumpang tetap! Beberapa saran kreatif berikut ini mudah-mudahan bermanfaat untuk mempertahankan eksistensi kereta api (Parahyangan dan yang lainnya) sebagai pilihan eksotisme perjalanan Bandung-Jakarta.

Pertama, kerja sama dengan klub-klub sepak bola tanah air. Mari kita hitung, sepak bola Liga Super Indonesia yang memakai sistem kompetisi penuh menjadikan Bandung sebagai tempat kunjungan tidak kurang dari 17 klub sepak bola tanah air ketika Persib menggelar laga kandang, dan Persib sendiri – juga Persikab – membutuhkan angkutan darat sampai dengan bandara ketika harus tandang ke luar Jawa. Bukankah ini pasar yang layak digarap melalui paket ”visit Bandung” dengan keunikan relaksasi KA Parahyangan – disertai fasilitas jemput ke bandara dan antar ke tempat tujuan.

Kedua, menjual paket-paket corporate passanger. Bukankah Bandung adalah kota MICE  (meeting, incentive, convention, exhibition) sekaligus kota tujuan wisata. Cukup realistis jika manajemen KA Parahyangan menjual paket-paket corporate passanger kepada institusi-institusi penyelenggara event bisnis, pelatihan, maupun sekadar ”wisata kereta api”.

Ketiga, membenahi sistem reservasi. Selama ini pelanggan KA Parahyangan yang ingin mendapatkan tiket lebih awal dari hari keberangkatan tetap harus datang ke loket penjualan tiket di stasiun untuk mengisi formulir pemesanan dan membayarnya. Cara kuno ini perlu segera ditinggalkan. Reservasi baiknya cukup melalui telefon untuk memastikan pelanggan masih dapat tempat duduk, transaksi baru dilakukan di hari menjelang keberangkatan. 

Tentu masih banyak langkah-langkah kreatif yang dapat ditempuh guna menjaga agar Kereta Api Parahyangan tetap eksis. Namun di atas semua itu, satu hal yang perlu tetap diingat adalah bahwa keberadaan transportasi kereta api koridor Bandung – Jakarta harus disyukuri bukan sekadar sebuah heritage tetapi justru sebagai satu utilitas publik penting yang perlu terus dikembangkan agar dapat menjadi moda utama angkutan massal di tengah semakin beratnya beban angkutan jalan, khususnya jalur Bandung-Jakarta.***

Penulis, profesional bidang pelayanan publik.
OPini PIkran Rakyat 19 April 2010