Peranan figur pimpinan dalam Nahdlatul Ulama (NU) baik di jajaran Tanfidziyah maupun (apalagi) Syuriyah, diakui atau tidak, memiliki peranan yang sangat signifikan.
Soalnya, dalam organisasi ini sungguh-sungguh memiliki watak patronatif, tempat berhimpunnya para patron dari seluruh nahdliyin dari berbagai kelompok basis. Pengakuan terhadap figur yang dijadikan patron dimulai dari bawah, dari pesantren-pesantren, dan atau dari suatu satuan komunitas penganut ahlusunnah waljamaah. Berbeda dengan pola hubungan antara kiai dan para santri atau jamaahnya, hubungan antar kiai (patron) satu dan lainnya adalah setara, egaliter, bukan subordinatif. Maka untuk menjadi pimpinan dalam organisasi NU baik di tingkat daerah maupun (apalagi) di tingkat nasional tidaklah mudah, karena harus memperoleh pengakuan dari para tokoh lokal itu.
Proses-proses seperti itu tentu saja sungguh-sungguh tidak mudah dan tak bisa pula tercipta dalam waktu singkat, harus dimulai dengan membangun pencitraan untuk meyakinkan figur-figur lain tentang berbagai kelebihannya. Karena itu pula, ketika seseorang terpilih menjadi pimpinan NU, figur yang bersangkutan akan semakin mapan dan mengakar di kalangan para tokoh nahdliyin bersamaan dengan pengaruhnya yang lebih besar lagi di intern NU dan publik bangsa. Tak heran kemudian kalau figur bersangkutan umumnya kembali diminta untuk tetap bertahan menakhodai NU untuk periode kepengurusan berikutnya.
KH Idham Cholid, misalnya, pernah menjadi ketua Tanfidziyah NU (dengan status organisasi sosial keagamaan dan sekaligus sebagai partai–yang terakhir ini hanya sampai awal 1970-an di mana setelah itu NU merupakan elemen dari fusi PPP) selama 32 tahun (1952-1984). Dia bukan bebas dari kritik tajam. Dalam muktamar ke-26 di Semarang (1979), tokoh putra Kalimantan Selatan itu bahkan pernah dihujat dengan sangat keras oleh muktamirin sehingga sudah seperti berada di ujung tanduk.
Namun, seperti yang direkam oleh ahli NU asal Jepang Mitsuo Nakamura, dengan cara dan segala kerendahan hati meminta maaf atas segala kekeliruannya seraya menetes air mata, hati (yang terkesan keras) dari para kiai dan muktamirin pun jadi luluh. Kemudian dia didaulat untuk kembali memenuhi harapannya memimpin kaum sarungan itu lima tahun berikutnya. Demikian juga dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memimpin NU selama tiga periode (1984-1999).
Dia benar-benar tampil sebagai pimpinan NU yang dikenal dan diakui publik nasional dan internasional buah dari pemikiran dan gerakannya yang sangat progresif di bidang HAM dan demokratisasi di Indonesia, termasuk di dalamnya membangun paradigma toleransi hubungan antarumat beragama. Karena pengaruhnya itu pula, dia mampu melakukan perubahan posisi politik lembaga Tanfidziyah dari yang semula terkonsepsikan hanya sebagai pelaksana dan di bawah kendali lembaga Syuriyah (Rois Am), dalam realita politiknya justru tampil sebagai “pengendali” dari seluruh elemen NU termasuk di dalamnya lembaga Syuriyah.
Gus Dur juga, selama memimpin NU, sungguh tidak lepas dari berbagai kritik tajam dari kalangan kiai, terutama karena pemikiran serta tindakan sosial dan politiknya yang dianggap jauh melampaui batas-batas tradisi kaum sarungan. Namun, dengan segala kecerdasannya, dia mampu menjelaskannya (kendati tak selalu harus meyakinkan seluruh pengkritiknya), karena ia tahun betul bagaimana dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi komplain para tokoh Islam tradisional yang konservatif. Apalagi dia dikenal dari keluarga inti NU di mana banyak pula yang menganggapnya sebagai “tak mungkin membawa komunitas habitatnya ke jurang kehancuran”.
Dengan posisi sosial dan politik seperti itu, andai saja Gus Dur ingin tetap memimpin NU di posisi Tanfidziyah, muktamar di Lirboyo pada 1999 niscaya akan sangat mulus terpilih kembali, apalagi saat itu dia menjabat sebagai Presiden RI ke-4 (pilihan MPR). Gus Dur lebih memilih melakukan regenerasi dengan rekomendasi utamanya kepada KH Hasyim Muzadi yang kemudian memimpin NU selama sepuluh tahun (dua periode). Kalau tak berubah sikap, KH Hasyim Muzadi juga akan melakukan regenerasi dalam Muktamar Ke- 32 di Wisma Haji Sodiang, Makassar ini, kendati kalau saja masih mau kembali memimpin Tanfidziyah PBNU niscaya masih akan sangat mulus terpilih.***
Proses memilih pemimpin NU memang sungguh sangat unik, karena memang cikal bakalnya lebih mengandalkan kepercayaan berdasarkan faktor-faktor khusus yang lebih mekanik ketimbang pertimbangan yang lebih rasional dalam ukuran yang sebenarnya. Selain Gus Dur sebagai kekecualian, figur-figur yang secara modern dianggap pintar dan terkenal sekalipun, belum menjadi ukuran untuk dikatakan layak untuk dipilih menjadi pemegang otoritas tertinggi di dalam NU. Apalagi mereka yang sudah sejak awal diberi label sebagai kontroversi sementara basisnya tidak terlalu kuat, berkarakter urbanis atau kurang memiliki relasi sosial dengan kalangan kiai dengan basis komunitas desa, sudah pasti akan sangat sulit penerimaannya di kalangan pemilik suara.
Begitulah karakter figur yang dikehendaki dan atau ditolak. Meski demikian, dalam sejarah keberadaan NU, figur yang pernah menjadi pimpinannya dari dua sumber utama, yakni keluarga inti NU (utamanya dari bani Hasyim Asy’ari) dan santri-santri yang menjadi kepercayaan pihak keluarga darah birunya. Figur yang dari keluarga pendiri NU ada dua orang, yakni KH Idham Cholid dan KH Hasyim Muzadi. Namun, inilah yang menjadi karakter pewarisan pimpinan di dalam tradisi NU di Jawa, figur di luar keluarga inti NU haruslah benar-benar dipercaya dan atau menjadi “anak manis” dari para patronnya, sehingga diharapkan bisa tetap dikendalikan oleh mereka-mereka yang dianggap sebagai pemilik otoritas kultural jamiyah tadi.
Kapan figur pimpinan dari luar keluarga darah biru yang dipercaya itu, dalam proses kepemimpinannya, sedikit menunjukkan jati diri sesungguhnya dan atau dianggap berseberangan dengan pihak yang semula mempercayainya, posisinya akan sangat “tidak aman”. Begitulah, kalau mau jujur diakui, yang sedikit dirasakan oleh KH Hasyim Muzadi setelah terkesan berseberangan dengan patron awalnya, Gus Dur–di mana semula sebenarnya boleh dikatakan sebagai bagian dari “santri manis”.
Maka ketika dalam muktamar kali ini muncul sejumlah nama di luar keluarga inti NU yang bertarung memperebutkan baik posisi ketua umum Tanfidziyah maupun Syuriyah dan akan bersaing dengan figur-figur dari keluarga cikal bakal pendiri NU, kemudian muncul pertanyaan: mampukah mereka memenangkan pertarungan? Kita tunggu saja hasil muktamar.(*)
Laode Ida
Sosiolog dengan Tesis dan Disertasi tentang NU, Wakil Ketua DPD RI
OPini Okezone 24 Maret 2010
18 April 2010
Karakter (Memilih) Pimpinan Kaum Sarungan
Thank You!