Mahkamah Konstitusi atau MK mulai menguji aturan yang dinilai merintangi hak DPR untuk menggulirkan mosi pemakzulan presiden/wakil presiden (Kompas, 15/4/2010). Hilangnya rintangan ini diharapkan melancarkan penyelesaian skandal penalangan Bank Century (Centurygate).
Akankah MK menghilangkan rintangan itu? Benarkah kunci penyelesaian Centurygate pada pemakzulan wapres? Pada dasarnya presiden/wapres yang langsung dipilih oleh rakyat, tidak dimaksudkan untuk diberhentikan oleh parlemen. Konstitusi sistem presidensial menjamin stabilitas pemerintahan sampai berakhirnya masa jabatan yang sudah ditentukan (fixed term). Namun, stabilitas konstitusional ini bukan untuk menghalangi proses penegakan hukum. Oleh karena itu, mekanisme pemakzulan presiden/wapres diatur dalam konstitusi, yaitu dalam hal presiden/wapres melanggar hukum atau tak lagi memenuhi syarat jabatan.DPR dapat memutuskan dugaan pelanggaran hukum oleh presiden/wapres, tetapi dugaan itu akan diputuskan MK berdasarkan proses pembuktian dalam sidang. Kalau MK memutuskan presiden/ wapres terbukti melanggar hukum, DPR meneruskan putusan MK ke MPR. Setelah MPR memakzulkan presiden/wapres, belum jelas apakah bukti-bukti dalam persidangan dan putusan MK akan langsung ditindaklanjuti oleh peradilan pidana (kompetensi Mahkamah Agung). Kalau MPR tidak memakzulkan karena faktor politik meski MK memutuskan dugaan DPR terbukti, peradilan pidana mungkin dilaksanakan setelah masa jabatan presiden/wapres berakhir.
Jelas, pemakzulan oleh MPR adalah implikasi politik dan bukan sanksi pidana. Pemakzulan presiden/wapres ”sekadar” mendudukkannya setara warga negara. Ini adalah perlakuan istimewa (bukan hak) karena presiden/wapres bukan warga negara biasa. Tindakan MPR menghilangkan rintangan jabatan sekuat presiden/wapres mungkin dapat melancarkan proses peradilan pidana. Namun, politik penegakan hukum pada Pasal 7A-7B UUD 1945 ini tak mudah diwujudkan.
Menyandera pemakzulan
Baik constitutional construct maupun original intent UUD 1945 mengatur pernyataan pendapat itu secara umum (lex generalis) dan secara khusus (lex specialis). Pengaturan umum diletakkan di Pasal 20A (sebetulnya sekadar rule of reference atau ”cantolan” pengaturan) dan pengaturan khusus dirinci di Pasal 7A-7B UUD 1945 (M Fajrul Falaakh: Kompas, 24/2/2010). Prosedur penggunaan hak menyatakan pendapat diatur lebih lanjut dalam UU Susduk 2003 dan Peraturan Tata Tertib DPR 2004-2009. Jadi, ada dua macam pernyataan pendapat sebagai instrumen pengawasan DPR. Pertama, mosi DPR tentang kejadian luar biasa ataupun sebagai konsekuensi hak angket dan hak interpelasi. Kedua, mosi DPR dalam rangka pemakzulan presiden/wapres.
Namun, UU Nomor 27/2009 (dikenal sebagai UU MD3) menambahkan tahap pengambilan keputusan tentang usul (gagasan) penggunaan hak DPR tersebut. Usul penggunaan hak dapat dimajukan oleh 25 anggota. Akan tetapi, Rapat Paripurna DPR untuk menerima/menolak gagasan itu harus dihadiri 3/4 jumlah anggota dan diputuskan oleh 3/4 jumlah anggota yang hadir—syarat baru pada Pasal 184 Ayat (4) ini sedang diuji di MK. Persetujuan DPR ditindaklanjuti oleh Panitia Khusus dalam 60 hari. Hasil Pansus diwujudkan sebagai mosi pemakzulan, yang akan diputuskan oleh 2/3 jumlah peserta Rapat Paripurna DPR dari 2/3 jumlah anggota DPR yang harus hadir dalam rapat.
Syarat baru tersebut merintangi hak DPR untuk menyatakan pendapat dalam rangka pemakzulan presiden/wapres. Partai Demokrat dan pihak kepresidenan sudah sering menyebutnya, yaitu ketakhadiran semua anggota Fraksi Demokrat pada Rapat Paripurna DPR sudah cukup untuk menggagalkan upaya penggunaan hak dimaksud. Kunci prosedural itu mengakibatkan mosi pemakzulan tersandera oleh kekuatan minoritas di tangan Partai Demokrat (26 persen kursi DPR).
Menurut UUD 1945, mosi pemakzulan cukup didukung 2/3 anggota dari 2/3 peserta Rapat Paripurna DPR, tetapi mosi itu harus diadili di MK. Syarat baru itu serupa dengan logika berikut ini: meski Anda terbukti memenuhi segala syarat sebagai WNI yang memiliki hak pilih, tetapi Anda hanya dapat menggunakan hak pilih apabila terdaftar dalam daftar pemilih. Akankah MK membatalkan rintangan prosedural itu?
Tampaknya bukan hanya syarat prosedural yang merintangi DPR dari pengguliran mosi pemakzulan. Pansus tak merumuskan secara khusus pelanggaran dalam penalangan Bank Century, misalnya sebagai tindak pidana korupsi dengan modus operandi tertentu (dari 30 kemungkinan menurut UU Pemberantasan Korupsi 1999/2001). Tak adakah sekadar satu bukti untuk itu? Rapat Paripurna DPR saat itu juga dihadiri 85 persen dari 560 anggota DPR (325 orang menyetujui kesimpulan versi C dan 212 orang mendukung versi A). Jumlah kuorum dan kekuatan ”oposisi plus” pendukung versi C (60 persen) melebihi syarat untuk menggulirkan mosi pemakzulan.
Presiden/wapres terselamatkan karena pemakzulan tidak ditargetkan sejak awal dan kekuatan ”oposisi plus” terhalang sistem presidensial (kekuatan itu sudah menjatuhkan pemerintah dalam sistem parlementer). Pansus Hak Angket Centurygate juga tidak menyebut bukti yang diperlukan. Maka, langkah lembaga penegak hukum meminta keterangan berbagai pihak menjadi tumpuan penyelesaian Centurygate. Namun, kelambanan KPK, kejaksaan, dan kepolisian dapat mendorong penggunaan kunci pemakzulan. Diberitakan, sejumlah penggagas hak angket Centurygate juga mengujikan rintangan prosedural tersebut ke MK dan menggalang dukungan untuk menggulirkan mosi pemakzulan. Kunci penyelesaian Centurygate memang tidak tunggal.
Opini Kompas 19 April 2010