PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat akan mengadakan hajatan politik besar. PDIP menggelar Kongres Nasional III di Denpasar, Bali, pada 6–9 April 2010.
Adapun Partai Demokrat mengadakan Kongres II di Bandung pada pekan ketiga Mei 2010. Pada kongres masing-masing itu, PDIP dan Partai Demokrat akan memilih ketua umum baru. Ketua umum merupakan jabatan amat strategis dan menentukan masa depan kedua partai tersebut. Dalam kasus PDIP, sudah dapat dipastikan Ketua Umum DPP PDIP yang sekarang, Megawati Soekarnoputri, akan melenggang dengan mudah untuk menduduki posisi puncak selama lima tahun ke depan, jabatan yang sudah didudukinya sejak 1996.
Meski nama Guruh Soekarnoputra sempat disebut-sebut akan bertarung melawan kakaknya demi merebut posisi puncak partai, saat ini nama Guruh nyaris tak terdengar lagi di berbagai Konferensi Daerah (Konferda) PDIP. Pertarungan utama di PDIP justru pada penentuan siapa-siapa saja yang akan duduk di jajaran DPP.
Berbeda dengan PDIP, kendati Kongres II Partai Demokrat baru akan dilangsungkan dua bulan mendatang, sejumlah politikus telah meramaikan bursa calon ketua umum partai pemenang Pemilu 2009 tersebut. Sebut saja Ketua Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng yang juga Menteri Pemuda dan Olahraga, Ketua DPP Anas Urbaningrum yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Ketua DPR Marzuki Alie, Menteri UKM dan Koperasi Syarifuddin Hasan, serta para kader lain seperti Agus Hermanto, Hayono Isman, dan Jafar Hafsah.
Dilema Politik
Penentuan siapa yang akan menjadi Ketua Umum DPP PDIP amat strategis karena tiga hal. Pertama, dia akan menentukan arah partai ke depan, apakah akan tetap kukuh pada partai ideologis atau berubah menjadi partai pragmatis? Kedua, ini juga akan menggambarkan bagaimana suksesi kepemimpinan dan regenerasi di partai itu berlangsung.
Ketiga, sejalan dengan butir kedua tersebut, dia juga akan menggambarkan apakah di kemudian hari PDIP akan menjadi partai modern yang memungkinkan adanya kesempatan yang sama bagi semua kader partai untuk menduduki posisi puncak partai ataukah posisi puncak tetap dipertarungkan hanya di dalam keluarga keturunan Bung Karno.
Hingga saat ini di dalam PDIP masih terjadi silang pendapat antara kelompok yang menginginkan partai tetap pada rel sebagai partai ideologis yang menjadi penyeimbang pemerintahan sampai 2014 dan kelompok pragmatis yang menginginkan PDIP masuk ke dalam koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.
Megawati Soekarnoputri merupakan lokomotif kelompok ideologis, sedangkan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufik Kiemas merupakan ujung tombak kelompok pragmatis. Jika Megawati terpilih kembali secara aklamasi, garis politik PDIP sebagai partai ideologis tentu akan terus dipertahankan. Hingga 2015 tampaknya belum akan terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan di dalam partai.
Dilema yang dihadapi PDIP ialah hingga saat ini belum ada tokoh muda yang dipandang mampu menangani konflik internal partai, kecuali Megawati Soekarnoputri. Jika suksesi berlangsung saat ini, dikhawatirkan terjadi perpecahan di dalam partai atau arah politik partai akan berubah. Namun, sejak 2010 ini mau tidak mau Megawati Soekarnoputri harus sudah memikirkan ke mana arah suksesi kepemimpinan di PDIP?
Apakah akan memberi kesempatan yang sama kepada semua kader partai untuk bertarung pada 2015 ataukah akan menjagokan salah seorang keturunannya sebagai penerus kepemimpinan di PDIP? Belajar dari apa yang terjadi di dalam Partai Kongres India yang dulu kepemimpinannya selalu berada di tangan keturunan Jawaharlal Nehru dan penerus Indira Gandhi, tapi kemudian terbuka kesempatan pada tokoh Partai Kongres India untuk menjadi pemimpin di partai itu, PDIP perlu membuka kesempatan kepada semua kader partai untuk mencapai pucuk pimpinan partai.
Tanpa itu, PDIP akan dipandang sebagai partai keluarga dan sulit untuk menjadi partai modern. Munculnya Prananda Prabowo yang akrab dipanggil Nanan sebagai calon pemimpin PDIP masa depan pengganti Megawati harus diimbangi inisiasi politik terhadap putra Megawati itu secara keras bahwa ia harus menunjukkan bakat kepemimpinannya dan bukan memperoleh jabatan ketua umum partai pada 2015 hanya karena ia keturunan Bung Karno.
Nanan merupakan orang baru di dalam partai, masih politikus balita (pengalamannya minim) dan membutuhkan penempaan politik yang keras agar menjadi calon pemimpin partai/bangsa yang tangguh. Tanpa tempaan yang keras, akan sulit bagi dirinya menangani konflik internal partai, apalagi untuk menjadi pemimpin bangsa masa depan. Dilema suksesi kepemimpinan juga terjadi pada Partai Demokrat.
Namun, jika putra Presiden SBY, Edhie Baskoro (Ibas), bersikukuh tidak ingin mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, pertarungan utama akan terjadi antara tiga tokoh, yaitu Andi Alfian Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie. Ketiga tokoh ini masing-masing punya kekuatan dan kelemahan.
Anas sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR memiliki kekuatan sebagai tokoh muda yang paling kaya pengalaman berorganisasi. Dia pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan kemudian terjun ke partai politik. Anas juga berpembawaan tenang dan berpikir secara sistematis.
Namun, Anas harus juga dikatakan gagal menjalin komunikasi politik yang baik dengan para anggota koalisi partai pendukung pemerintah saat Panitia Khusus (Pansus) Angket Kasus Bank Century masih berjalan, entah karena keterbatasan otoritasnya di dalam partai ataukah ia tak mau terlalu menonjol di dalam Partai Demokrat sehingga mudah disingkirkan.
Andi Alfian Mallarangeng yang juga Menteri Pemuda dan Olahraga juga tokoh muda Partai Demokrat yang populer. Balihonya mulai muncul di simpang Semanggi, Jakarta, mirip saat adiknya, Rizal Mallarangeng, ingin mencalonkan diri menjadi calon presiden menjelang Pilpres 2009. Andi seorang komunikator yang baik, murah senyum, dan lincah dalam berpolitik walau menjurus pada karakter politikus yang easy going, flamboyan, dan gampang lompat pagar karena mudah berpindah dari satu partai (Partai Demokrasi Kebangsaan) ke partai yang lain (Partai Demokrat).
Marzuki Alie yang kini menduduki jabatan Ketua DPR juga merupakan politikus yang populer. Posisinya sebagai Ketua DPR menguntungkan dirinya yang sering muncul di media massa. Namun kegagalannya dalam memimpin hari pertama sidang paripurna DPR yang membahas hasil laporan Pansus Bank Century menjadikannya orang yang paling banyak dikecam oleh koleganya di DPR.
Dilema suksesi kepemimpinan di dalam Partai Demokrat bukan pada apakah Demokrat akan menjadi partai modern atau partai keluarga seperti halnya PDIP, melainkan pada apakah Ketua Umum DPP nantinya mampu mengarahkan Demokrat menjadi partai yang independen dari bayang-bayang popularitas SBY? Independensi akan menentukan Partai Demokrat sebagai partai yang kuat dan bukan fans club SBY semata.
Selama ini Partai Demokrat hanya dipandang sebagai fans club SBY dan belum teruji sebagai partai politik yang sebenar-benarnya partai. Partai-partai politik di Indonesia sejak prakemerdekaan hingga kini sering menghadapi dilema di dalam suksesi kepemimpinan. Tidak jarang konflik internal partai menyebabkan tumbuhnya partai-partai baru.
Tidak mengherankan jika legitimasi politik seorang pemimpin partai ditentukan oleh karisma politiknya atas dasar keturunan, restu politik, atau mantan jenderal TNI, bukan oleh kepiawaiannya dalam memimpin partai. Entah kapan dilema politik ini akan berakhir? (*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Opini OKezone 30 Maret 2010
18 April 2010
Dilema Regenerasi Politik
Thank You!