Salah satu penopang kekuatan moralitas dalam tradisi masyarakat Jawa, baik yang Islam, Kejawen maupun pengikut agama lain, adalah ajaran tentang kualat.
Mudatsir (1985), misalnya, menganggap ajaran tentang kualat merupakan kekuatan tradisi NU, sebuah organisasi massa Islam yang mayoritas jamaahnya berasal dari desa-desa di Jawa. Kiai kampung–– pinjam istilah Gus Dur–– merupakan tokoh masyarakat desa di Jawa yang amat dihormati warga karena mempunyai karomah luar biasa yang bila dilanggar oleh seseorang atau sekelompok orang, yang melanggarnya akan kualat. Konsep tentang kualat ini adalah bagian dari transformasi budaya Jawa menuju Islam. Konsep kualat memang mirip dengan istilah laknat dalam Islam meski tidak persis sama. Konsep laknat lebih menitikberatkan pembalasan Tuhan kepada orang-orang berdosa di akhirat nanti, sedangkan kualat lebih pada pembalasan di dunia ketika sang pendosa masih hidup.
Dalam beberapa hal, kualat dan laknat memang sama, menunjukkan dampak buruk bagi para pendosa. Dampak buruknya terjadi mulai ketika sang pendosa masih hidup sampai setelah mati. Dalam Islam dipercaya, laknat setelah mati jauh lebih besar dibandingkan laknat ketika masih hidup. Namun, dalam kualat, nyaris tidak pernah disebutkan, bagaimana kualat setelah mati?***
Ketika menyusun disertasi saya di Monash University, Australia (Creating Islamic Tradition, 1991), saya sengaja menyodorkan konsep kualat untuk menunjukkan transformasi budaya Jawa menuju Islam. Dalam penelitian disertasi saya di Desa Tegalroso––sebuah desa di lereng barat Gunung Merbabu, Magelang––, ternyata istilah kualat mempunyai pengertian yang sangat luas. Warga desa percaya, misalnya, seseorang yang sudah dikutuk atau disumpahi orang tuanya akan kualat.
Masyarakat juga percaya, kualat juga akan menimpa orang yang mengumpulkan hartanya dengan cara-cara terlarang seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu. Salah seorang yang kualat yang sering jadi bahan omongan masyarakat desa adalah Pak Benggol, seorang bekas perampok ulung. Beberapa orang tua di Desa Tegalroso mengisahkan bahwa Pak Benggol pernah beberapa kali masuk penjara karena kejahatannya. Salah satu kejahatannya yang paling spektakuler pada masa itu, 1954, adalah perampokan emas di kantor pegadaian di Sentolo, Bantul. Saat itu, Pak Benggol merampok emas dan permata sekira 5 kg. Akibatnya, Pak Benggol masuk penjara.
Setelah keluar penjara, ia juga masih suka merampok. Tidak ada warga desa yang berani menegur, apalagi melawan Pak Benggol karena selain dikenal memiliki berbagai ilmu kesaktian, ia selalu melakukan kejahatannya di desa lain. Dengan uang hasil rampokannya itu, saat jayanya, Pak Benggol jadi orang paling kaya di desa. Ia punya enam rumah gedong dan berhektare-hektare sawah. Namun, ketika usianya makin tua, hartanya satu per satu hilang. Di masa tuanya, hampir semua harta Pak Benggol ludes kecuali tanah seluar 0,3 hektare. Orang desa juga tidak terkejut ketika melihat Pak Benggol mulai miskin. Mereka bilang: sing sapa nakal ora bakal kanggonan amal (siapa yang berbuat jahat tidak akan dapat sepeser pun).
Ketika penyakit mulai menggerogoti Pak Benggol yang miskin, orang desa juga tidak terkejut. Di usianya yang 57 tahun, Pak Benggol bungkuk, lumpuh, dan tangannya kepleh (tak berfungsi). Wajahnya pun seperti orang umur 80-an tahun. Dalam kondisi sakit itu, tak ada satu pun warga desa yang peduli. Bagi warga desa, Pak Benggol adalah contoh orang kualat yang mengumpulkan kekayaannya dengan merampok. Lebih jauh lagi, kualat tidak hanya menimpa orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut, tapi juga menimpa orang-orang yang ikut menikmati harta haram itu. Contoh kedua ini terjadi pada keluarga Pak Sarjo, tukang santet, tukang fitnah, dan rentenir di Tegalroso. Di masa tuanya, Pak Sarjo sakit-sakitan.
Ketika meninggal, mayatnya sulit dikubur karena lubang kuburnya terus menyempit ketika jenazah mau dimasukkan. Sepeninggal Pak Sarjo, istri almarhum, Mbok Rumi, orang terkaya di kampung, hidupnya tidak tenteram. Mbok Rumi dan anak tunggalnya, Pak Mugi, sering bertengkar. Anak Pak Mugi––berarti cucu Pak Sarjo––, Nirbito, jadi orang pemalas dan suka berantem. Orang desa menyebut keluarga Pak Sarjo dan anak cucunya nyandang kualat.***
Kisah Pak Benggol dan Pak Sarjo tersebut saat ini sangat relevan bila dikaitkan dengan kisah Gayus Tambunan. Jika korupsi––pinjam istilah Mahatma Gandhi––lebih kejam daripada perampokan, memanglah apa yang dirampok Gayus jauh lebih besar ketimbang perampokan yang dilakukan Pak Benggol di Pegadaian Sentolo sebanyak 5 kg emas. Dengan harga emas Rp300.000 per gram saat ini, uang 28 miliar di rekening Gayus sama dengan 93,3 kg emas atau hampir 1 kuintal emas. Jika saat ini Gayus ramai mendapat kutukan dari pers dan masyarakat, orang Jawa bilang, Gayus tiyang kualat.
Bagaimana kisah hidup Gayus sampai tua nanti, masyarakat tradisional Jawa niscaya sudah tahu jawabannya karena mereka memercayai konsep kualat tersebut. Membaca berbagai kasus kecurangan di Kantor Ditjen Pajak setelah terbongkarnya kasus Gayus, saya jadi agak tertegun ketika Dirjen Pajak Muhamad Tjiptardjo mengemukakan keluhannya Rabu lalu (7/4) dalam sidang dengar pendapat di DPR. Pak Tjip mengeluh, pegawai pajak sekarang dihina masyarakat. Kata Pak Tjip, kalau dulu kernet Metro Mini akan bilang ”pajak, pajak” di depan kantor Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, sekarang kernet bilang ”Gayus,Gayus”. Bahkan dalam satu pertemuan warga di sebuah RT, ketika ada orang pajak ikut pertemuan, warga menghindar. Mereka berbisik sesamanya, itu perampok. Sekarang, pegawai pajak takut memakai seragam resmi karena khawatir dilempari orang.
Keluhan Pak Tjip mengingatkan saya kembali pada konsep kualat di atas. Namun, kasus Gayus dan beberapa koleganya rupanya telah di-gebyah uyah oleh masyarakat sebagai kelakuan orang pajak. Padahal, saya percaya, pasti ada orang pajak yang baik dari puluhan ribu pegawai pajak di Indonesia. Dalam sebuah milis, misalnya, seorang pegawai pajak bernama Arif Sarjono, lulusan STAN tahun 1992, mengaku sampai sekarang dia tak pernah memakai sepeser pun uang suap atau apa pun yang bukan haknya sebagai pegawai pajak. Bahkan dia mengaku pernah mengembalikan amplop pemberian atasannya selama bertahun-tahun untuk keluarganya.
Amplop pemberian atasannya tersebut tidak pernah dibuka istrinya karena takut berisi uang haram. Ketika ada masalah di kantor dan atasannya menyatakan bahwa amplop itu berasal dari suap, dia langsung memberikan kembali semua amplop yang belum pernah dibukanya itu. Arif bercerita, hidup bersih di lingkungan kantornya memang susah. Dia sering dibujuk untuk ”berkompromi” dengan wajib pajak, tapi dia tak mau. Akhirnya suatu ketika, dia dipanggil atasannya karena sikap ”bersihnya” itu dan dia dianggap mbalelo. “Saya sekarang eselon V. Seharusnya saya sudah eselon IV, kepala seksi,” tulis Arief yang kini menjabat petugas verifikasi. Arief mengaku, gajinya sebagai pegawai pajak pas-pasan. Bahkan ketika anaknya harus masuk rumah sakit karena operasi mata (lipoma), ia tak punya uang.
”Alhamdulillah, tiba-tiba datang teman lama yang tanpa sepengetahuan saya membayar semua biaya operasi anak saya,” kata Arif. Kejadian aneh itu pernah dua kali dialami Arif. Apa yang terjadi pada Arif, dalam konsep budaya Jawa, itulah berkah. Orang Jawa percaya, Tuhan akan memberikan kehidupan yang penuh berkah kepada orang-orang yang saleh, jujur, dan banyak berbuat baik. Warga Desa Tegalroso memberi contoh kehidupan Mbah Mangli dan Kiai Chudlori (keduanya almarhum) sebagai orang-orang yang diberkahi Tuhan. Kedua tokoh itu, meski hidup sederhana dan tak mau menerima sumbangan apa pun, hidupnya berkah. Mbah Mangli, misalnya, bisa menjamu makanan kepada ratusan, bahkan ribuan orang, yang datang pada pengajian Senenan di desanya.
Adapun Kiai Chudlori yang hidup sederhana bisa membangun pesantren yang besar. Arief, pegawai pajak yang bersih itu, mengaku sedikit pun tidak cemas dan khawatir bila seluruh harta dan rekeningnya diperiksa, sedangkan sebagian teman-temannya di pajak, tulis Arief, sekarang ini stres dan tak bisa tidur gara-gara terbongkarnya korupsi Gayus. Itulah contoh hidup yang kualat dan berkah. Anda mau pilih hidup yang mana? Yang jelas, sebagaimana diungkapkan intelektual Jawa Sukardi Rinakit, Gusti Allah mboten sare! (Allah itu tidak pernah tidur).(*)
M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN, Jakarta
Opini Okezone 13 April 2010
18 April 2010
Benggol, Gayus, dan Kualat
Thank You!