Akhir tahun lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) melarang peredaran lima buah buku. Buku-buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Kelima buku itu adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan, dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.
Kebebasan berkarya
Di alam demokrasi, kebebasan sangat dihargai dan dijunjung tinggi, termasuk kebebasan berkarya dan berekspresi. Dan, negara, sebagai pengayom dan payung bagi semua kalangan berkewajiban melindungi dan menjaga hak-hak kebebasan ini bagi warganya, bukan membendung dan menyumbatnya. Pembendungan atau penyumbatan hanya ada pada rezim yang otoriter, tiran, dan tangan besi, tidak berlaku bagi rezim yang demokratis apalagi rezim yang sang pemimpinnya berkali-kali mengingatkan untuk menghormati perbedaan pendapat di masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan berpendapat, termasuk di dalamnya kebebasan membuat karya, dilindungi dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I UUD 1945. Selain menjadi hak konstitusional, kebebasan berpendapat juga dapat ditemui dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain seperti dalam Pasal 14, 19, 20, dan 21 Tap MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 14, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU No 12 Tahun 2005).
Jaminan kebebasan berkarya sekaligus merupakan penghargaan terhadap hak intelektual dan menghormati manusia sebagai individu yang heterogen dengan perbedaan latar belakang pendidikan dan konteks sosio-kultural masing-masing orang serta sudut pandang masing-masing. Kebebasan berkarya baik bagi berkembangnya apa yang disebut oleh Habermas sebagai diskursus publik. Publik akan dilibatkan karena memang seharusnya mereka terlibat tanpa dihalang-halangi oleh apa pun, karena itu hak mereka untuk berpendapat serta kewajiban mereka untuk tidak tinggal diam ketika mereka melihat ada ketidakberesan.
Negara wajib melindungi hak berkarya warganya. Bahkan, ia harus membuka lebar-lebar ruang-ruang untuk berekspresi dan berkarya warganya. Dengan catatan, tidak melanggar asas kepatutan serta etika berbangsa dan bernegara yang sudah diatur dalam hukum dan Undang-Undang. Tapi, hal penting yang perlu dicermati berkaitan dengan hukum dan Undang-Undang ini adalah soal tafsir. Tidak sedikit produk hukum atau Undang-Undang yang sifatnya karet dan multitafsir. Untuk yang seperti ini, berbagai pihak perlu dilibatkan dalam diskursus yang menghargai pendapat-pendapat yang berbeda, agar tafsirnya tidak sepihak. Lima buku yang dilarang beredar oleh kejagung bisa jadi lahir dari tafsir sepihak, tanpa melakukan diskursus dengan pihak-pihak terkait. Seharusnya ini tidak dilakukan, seolah-olah kebenaran tafsir hanya ada pada pihak kejagung.
Era keterbukaan informasi
Era demokrasi sekaligus era keterbukaan informasi. Negara mau tak mau harus mengikuti perkembangan ini jika tidak ingin disebut sebagai negara yang tradisionalistik, seperti katak dalam tempurung. Masyarakat butuh informasi yang mencerdaskan serta memotivasi dan menginspirasi mereka. Apalagi informasi itu menyangkut masalah yang terjadi di sekitar mereka, bahkan dalam skup yang lebih luas: persoalan-persoalan negara, bahkan dunia. Buku sebagai salah satu anak yang lahir dari keterbukaan informasi mestinya dihargai dalam konteks ini. Pelarangan beredarnya buku-buku informatif jelas berita buruk.
Pengalaman rezim Orde Baru yang membredel beberapa media dan melarang buku-buku yang informatif mestinya tidak terulang di Orde Reformasi ini. Jika masih terulang, apa bedanya dengan rezim lama, hanya ganti kulit, isi tetap sama. Pada zaman Orde Baru, kebenaran ada pada negara. Tidak boleh mengkritik, tidak boleh menggugat, dan harus taat apa kata negara. Orde Reformasi ingin menghancurkan tradisi buruk seperti itu. Orde Reformasi mendorong perlunya dialog dan diskursus publik dalam setiap pengambilan kebijakan, sehingga berbagai pandangan diperhatikan. Karena negara ini milik semua, dan kebijakan juga untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan satu pihak.
Buku adalah jendela informasi yang berharga. Tentu saja buku yang memang isinya informatif, edukatif, dan mencerahkan. Lima buku yang dilarang oleh kejagung belum dijelaskan secara detail bagian-bagian mana yang dianggap mengganggu ketertiban serta bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jika sebuah buku sudah memenuhi standar penulisan dengan validitas dan verifikasi data yang ada, sebagai sebuah buku itu layak diterbitkan. Publik sekarang sudah bisa menilai mana buku yang berkualitas dan mana buku yang tidak berkualitas. Negara mestinya membiarkan semua berjalan biasa. Biarlah pasar yang menyeleksi masing-masing. Negara hanya perlu menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan menikmati bacaan yang menurut publik layak dikonsumsi.*
Fajar Kurnianto
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fakur1983@gmail.com
Opini Okezone 6 April 2010
18 April 2010
Hak Berkarya di Era Transparansi Informasi
Thank You!