Ketika Clifford Geertz melalui bukunya yang monumental The Religion of Java (1960) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kategori– abangan, santri, dan priyayi– maka sertamerta para sosiolog dan antropolog mempercayai bahwa Islam sebenarnya tidak benar-benar ”merasuk” dalam jiwa orang Jawa.
Menurut Geertz, kaum abangan dan santri terpisah secara diametral dalam kehidupan sosial maupun kebudayaannya. Kaum abangan, tulis Geertz, basis sosial dan kebudayaannya adalah Hinduisme dan Buddhisme. Sedangkan kaum santri basis sosial dan budayanya adalah Arab yang menjadi simbol keislaman. Sedangkan kaum priyayi yang feodalistik lebih dekat dengan abangan ketimbang santri. Di zaman rezim awal Soeharto ”sihir” pemikiran Geertz ini benar-benar terealisasi dalam simbol-simbol kenegaraan. Nama-nama gedung pemerintah dan tempat-tempat penting lain yang dibangun rezim Soeharto hampir selalu menggunakan nama-nama yang bercirikan Hinduisme-Budhdisme, dengan mengambil bahasa Sanskerta (Bina Graha, Graha Saba, Graha Yudha, dll).
Nama-nama bernuansa Sanskerta ini mengalahkan nama-nama bernuansa Indonesia yang berbasis Islam Melayu. Dengan kendaraan Partai Golkar, Javanisme Soeharto tersebut menyebar ke dalam berbagai elemen pemerintah dan birokrasi. Kondisi ini makin memperkuat tesis Geertz bahwa santri dan abangan tidak akan tercampur dan saling memengaruhi. Soeharto yang terpengaruh tesis Geertz tampaknya berpandangan bahwa bentuk masyarakat Jawa, baik santri maupun abangan, merupakan terjemahan dari ”teks dan ajaran sosio-kultural” dari keyakinan dan pandangan hidupnya. Kaum abangan yang berbasis Buddhisme-Hinduisme akan sulit menyatu dengan kaum santri yang berbasis Islam.
Islam Lokal
Kesalahan pandangan Geertz, kritik Azyumardi Azra, terletak pada rigid dan kakunya pemisahan kategori masyarakat Jawa tersebut. Geertz melihat masyarakat muslim hanya sebagai manifestasi dari teks sosio-kultural Islam yang Arabisme. Geertz, tulis Azra, lupa bahwa masyarakat muslim merupakan entitas yang dinamis. Geertz juga tidak melihat bahwa masyarakat abangan juga merupakan entitas yang dinamis. Dalam penelitian disertasi saya di Tegalroso (1990) terungkap bahwa kategorisasi Geertz–abangan, santri, dan priyayi– ternyata tidak sesuai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Jawa. Di Tegalroso, misalnya, tidak sedikit orang santri yang menyukai wayang dan kesenian setempat yang berciri ”abangan”.
Sebaliknya, tidak sedikit pula kaum abangan yang dalam kehidupan sehari-harinya menyukai perilaku orang Islam. Puasa sunah Senin-Kamis, misalnya, meski menjadi ciri khas kaum santri, sudah terbiasa dilakukan pula oleh orang abangan. Sebaliknya, puasa mutih dan ngebleng yang biasa dilakukan kaum abangan kerap dilaksanakan juga oleh kaum santri. Salah satu tokoh yang amat dihormati kaum abangan di Magelang dan sekitarnya adalah Mbah Mangli, seorang kiai tradisional, yang dalam kehidupan sehari-harinya menyatu dengan kedua golongan masyarakat Jawa tersebut.
Dari fenomena itulah, Ricklefs menyatakan, masyarakat Jawa merupakan entitas yang mengalami transisi budaya secara terus-menerus. Setelah sekian ratus tahun mengikuti tradisi budaya Buddha-Hindu, masyarakat abangan Jawa pun kini mulai mengikuti budaya santri yang Islam. Salah satu tokoh muslim yang merupakan produk santrinisasi abangan, misalnya, adalah Dr Damardjati Supadjar dan Karkono Partokusumo. Keduanya, meski amat menghormati kebudayaan Jawa, tetap berperilaku seperti kaum santri. NU, sebagai organisasi yang berbasis di tengah masyarakat tradisional, sangat dekat dengan warna abangan ini.
Dalam banyak hal, baik dari aspek ajaran maupun ritual, banyak sekali persinggungan antara budaya abangan dan budaya santri. Di Lirboyo, Kediri, misalnya, tokoh yang terkenal ”jadug atau sakti” adalah almarhum Kiai Maksum, putra pendiri Pesantren Lirboyo. Kejadugan atau kedigdayaan ini juga merupakan simbol ”kehormatan” dalam masyarakat abangan. Orang NU, misalnya, mempercayai ”kesaktian” seseorang karena ada keramat. Hal yang serupa dipercayai pula oleh kaum abangan, tapi keramatnya berasal dari tokoh-tokoh pewayangan atau Kejawen. Mbah Mangli dan Mbah Ahmad Dalhar dari Magelang, misalnya, dihormati masyarakat Jawa setempat bukan hanya karena ilmu agamanya yang mumpuni, melainkan juga karena ”kesaktiannya”- nya itu tadi.
Modal NU
Penghormatan masyarakat santri dan abangan pada tokoh kiai yang mumpuni, baik ilmu maupun kesaktiannya, itulah yang menjadikan NU sebagai organisasi yang dinamis. Orang-orang abangan, jika menjadi santri, niscaya akan lebih dekat kepada NU ketimbang Muhammadiyah. Ini terjadi karena lokalitas ”keislaman” NU mudah masuk dalam frame pemikiran orang abangan.
Dengan demikian, tidak salah jika KH Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa jumlah warga nahdliyin di Indonesia mencapai 140 juta. Jumlah yang demikian banyak itu bisa diterima dengan mengandaikan bahwa masyarakat Jawa abangan yang tersantrinisasi itu masuk dalam ciri-ciri NU. Dengan basis lokalitas keislaman, NU sebenarnya merupakan organisasi yang kaya, baik dari aspek keanggotaan maupun pemikiran. Itulah sebabnya, kenapa NU tidak bisa memutuskan bahwa rokok itu haram seperti Muhammadiyah karena di NU, kekayaan ide dan pemikiran itu harus diakomodasi. Jika NU memutuskan rokok itu haram, sebagian masyarakat Jawa abangan yang tersantrinisasi di Dieng dan Temanggung kehilangan mata pencahariannya.
Dengan ”memakruhkan” rokok, pilihan-pilihan ”merokok atau tidak” diserahkan kepada warganya. Itulah salah satu kecerdasan NU. Hal yang sama terjadi pada pilihan nikah siri. Lokalitas dan keragaman budaya dalam NU tak memungkinkannya memutuskan memilih nikah siri itu haram. Pilihan ”mubah” atau ”makruh” sama artinya menyerahkan hukum nikah siri itu pada pilihan warganya. Seharusnya hal itu berlaku pula pada pilihan politik. Anggapan bahwa PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai satu-satunya organ resmi politik NU hendaknya ditinjau kembali. Karena pada realitasnya, orientasi politik warga NU sangat beragam. Keragaman ini–sebagaimana keragaman sosiokulturalnya– harus mendapat tempat di NU yang kaya ide dan pemikiran.
Di lihat dari aspek ini, secara sepintas NU kelihatan ambigu. Namun, di balik ”ambiguitas”-nya ini, NU sebenarnya mempunyai wawasan yang jauh ke depan: memberdayakan dan memandirikan masyarakat Islam tradisional yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Jika kepada pilihan rokok dan nikah siri saja NU mau mengakomodasikannya, yang agak janggal adalah mengapa NU kurang mengakomodasi anak-anak mudanya yang cerdas yang mau mengembangkan pemikiran keislamannya? Berpadunya lokalitas dan globalitas akan menjadikan NU sebagai organisasi yang– meminjam kata-kata David Suzuky, ahli ekologi– act locally, think globally.
Menanam sebuah pohon di sudut kampung, sama artinya ikut mencegah pemanasan global. NU ke depan akan punya visi seperti itu jika dipimpin oleh tokoh-tokoh intelektual dan ulama yang bervisi global dan tetap berperilaku lokal.(*)
M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
Opini Okezone 25 Maret 2010
18 April 2010
NU dalam Budaya Lokal dan Global
Thank You!