18 April 2010

» Home » Okezone » Seberapa Besar Seharusnya Perolehan Pajak Kita?

Seberapa Besar Seharusnya Perolehan Pajak Kita?

Kasus Gayus Tambunan menimbulkan tanda tanya, apakah perilakunya anomali dari kelompoknya atau sebenarnya fenomena umum, gunung es yang muncul di permukaan? Kasus seperti ini di masa lalu, taruhlah sebelum diterapkan sistem remunerasi, merupakan kasus umum.

Kwik Kian Gie dalam buku putihnya menyatakan, kita tidak perlu utang atau bisa melunasi utang apabila dapat menertibkan pemasukan pajak yang diduga hanya masuk setengahnya. Ditambah dengan penertiban hutan dan laut, utang pemerintah akan dapat dilunasi atau diturunkan dan kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan.

Perlu dicatat bahwa setelah remunerasi, pemasukan pajak memang meningkat, tetapi dalam persentase terhadap produk domestik bruto (PDB) persentase penerimaan negara dari pajak terlihat menurun. Peningkatan-peningkatan tersebut memberikan sinyal peningkatan kinerja Direktorat Jenderal Pajak, tetapi mengapa menurun persentasenya terhadap PDB, menyisakan tanda tanya. Apakah jumlah pajak yang semestinya lebih besar dari yang dapat diraih? Artinya, banyak kegiatan ekonomi yang meningkat, tetapi luput dari kewajiban pembayaran pajak.***

Marilah kita perbandingkan pemasukan pajak dibandingkan dengan total produksi domestik bruto di berbagai negara sedang berkembang dan negara maju. Pada 2003, perbandingan penerimaan negara terhadap PDB mencapai 17%, menurun kembali pada 2009 menjadi 15,5% setelah meningkat pada 2008.

Perbandingan tahun 2008 dan 2009 khusus penerimaan pajak dalam nominal sebenarnya meningkat dari Rp609,2 triliun rupiah menjadi Rp661,8 triliun rupiah, tetapi persentasenya terhadap PDB menurun dari 13,6% menjadi 12,1%. Persentase total penerimaan negara terhadap PDB pada 2009 juga menurun dari 20% menjadi 15,5% dibandingkan tahun 2008.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga pun Indonesia masih memiliki potensi untuk menggenjot pemasukannya dari pajak. Misalnya bila dibandingkan dengan negara Afrika Utara, khususnya Mesir, dan juga negara Asia seperti Korea Selatan, pemasukan Indonesia dari pajak tertinggal jauh.

Terlihat jauh di belakang. Mesir mampu memungut penerimaan negara sebesar 27% dari PDB 2007 dan Korea Selatan sebesar 25% dari PDB-nya. Indonesia baru sebanding jika dihadapkan dengan negara sedang berkembang seperti Filipina yang pajaknya mencapai 16% PDB tahun 2007. Indonesia baru terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan Pakistan yang hanya mencapai 14% PDB dan Bangladesh yang hanya mampu memungut pajak 10% dari PDB.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa––yang terkenal sebagai welfare state di mana negara memungut pajak yang tinggi dan memberikan berbagai jaminan kepada penduduknya yang tinggi pula––, Indonesia tertinggal jauh. Misalnya Inggris dengan penerimaan negara dari pajak mencapai 38% dari nilai PDB. Sementara Amerika Serikat yang terlihat sebagai negara yang lebih liberal memiliki penerimaan pajak 20%.

Pemerintahan Obama diduga akan meningkatkan kadar program kesejahteraan dan tentu saja akan meningkatkan persentase penerimaan negara dibandingkan nilai produksi seluruh penduduknya. Memang menjadi pertanyaan, kenapa penerimaan pajak kita dan penerimaan total kita menurun dalam persentase terhadap PDB? Padahal di berbagai negara yang penulis paparkan tersebut kesemuanya memperlihatkan kenaikan penerimaan pajak terhadap PDB yang konsisten.

Penurunan ini sekaligus menunjukkan bahwa remunerasi tidaklah memberi efek yang signifikan. Sementara perkembangan kemampuan memungut penerimaan negara rata-rata dunia naik dari 24% ke 27%. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah di seluruh dunia mengambil peran lebih aktif dalam aktivitas melakukan aktivitas ekonomi di luar pasar.

Dengan kata lain, jika pajak benar-benar mengucur kepada masyarakat, pemerintah di banyak negara lebih terlibat dalam program kesejahteraan warga negaranya. Amerika Serikat menjadi contoh ketika pada tahun ini mengesahkan reformasi undang-undang jaminan kesehatannya yang baru.

Black Economy

Kemampuan negara-negara sedang berkembang untuk memungut pajak sebagai inti dari penerimaan negara menghadapi kendala berupa besarnya kegiatan ekonomi informal dan nonformal yang transaksinya tidak tercatat dengan baik. Kegiatan-kegiatan ini termasuk black economy walaupun yang diproduksi dan diperdagangkan bukan merupakan barang terlarang yang membahayakan masyarakat, tetapi aktivitasnya tidak memberi dukungan terhadap penerimaan negara.

Besarnya aktivitas informal dan nonformal lambat laun menurun seiring dengan kemajuan pendidikan, modernisasi bentuk usaha, dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang juga cenderung beralih dari produk-produk tradisional ke produk-produk yang dikelola secara modern. Menurunnya aktivitas black economy semestinya meningkatkan kesempatan memungut pajak dan penerimaan negara pada umumnya.

Apakah Pajak Kita Sudah Sesuai?

Seperti dunia perbankan yang memberi target kepada para pegawai, Direktorat Jenderal Pajak juga mengaitkan target dan remunerasi. Akibatnya ketika target tercapai, usaha memungut pajak diturunkan atau dihentikan. Sistem target juga sering kali mengakibatkan kemajuan yang ditunda, misalnya jika ditargetkan tahun ini sejumlah X rupiah, pada waktu tercapai cenderung dihentikan supaya di tahun depan masih ada potensi untuk meningkatkan.

Apabila target tahun ini tercapai, umumnya tahun depan ditentukan target baru yang lebih tinggi.Target dalam rupiah yang tercapai mungkin sebenarnya belum sesuai dengan aktivitas ekonomi riil yang berkembang yang bagaimanapun secara hukum harus dipungut pajaknya. Mengaitkan penurunan persentase pajak terhadap PDB dikaitkan dengan tercapainya target pemasukan adalah pikiran positif.

Adapun jika mengaitkannya dengan aktivitas Gayus atau sekelompok perilaku yang sama merupakan pikiran negatif atau pikiran waspada. Jangan-jangan sebagian dari aktivitas ekonomi juga tidak dipajaki sebagaimana mestinya dengan jalan membagi sisanya untuk wajib pajak dan pemungut pajak. Kasus Gayus memang harus dituntaskan dan perbaikan serta reformasi di instansi terkait seperti di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman menuntut hal serupa.(*)

Prof Bambang Setiaji
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

Opini Okezone 9 April 2010