BAIK pada tataran konsep maupun pelaksanaan, ujian nasional (UN) memang perlu ditinjau ulang dan diperbaiki. Penyelenggara UN mestinya sudah melakukan evaluasi melalui sebuah survei nasional yang komprehensif untuk menilai plus-minus UN dari berbagai sudut pandang.
Selama ini berbagai keluhan, kritik, dan pembelaan terhadap UN bermunculan. Adakah pemerintah sebagai penyelenggara dan penanggung jawab sudah memiliki data yang akurat sebagai bahan pengambilan kebijakan? Saya teringat sambutan Mohammad Nuh ketika serah terima jabatan sebagai menteri pendidikan nasional, pendidikan itu sangat strategis, menentukan nasib bangsa untuk selamanya. Jika sebuah industri mobil salah mengeluarkan produk, katanya, mobil-mobil yang cacat itu dapat ditarik dan diperbaiki ulang. Tetapi jika kita salah dalam menyelenggarakan pendidikan, produknya tidak dapat ditarik kembali dan kita semua yang akan menanggung kerugian dengan berbagai implikasinya. Yang selalu menarik perhatian masyarakat setiap tahun adalah seputar pelaksanaan UN.
Pendidikan yang baik di manapun tentu memerlukan standar mutu dan evaluasi hasil belajar melalui ujian. Ujian sesungguhnya merupakan bagian dari proses pembelajaran, tidak semata instrumen evaluasi untuk mengukur prestasi siswa. Namun, bagaimana bentuk dan fungsi ujian, apakah seperti yang ada sekarang ini ataukah ada format lain. Hal itu perlu dilakukan penelitian serius untuk dijadikan dasar membuat kebijakan yang jelas dan tegas serta visioner. Hidup itu sendiri merupakan rangkaian pembelajaran dan ujian. Siapa yang tidak mau jadi pembelajar seumur hidup dan tidak siap menghadapi ujian pasti akan tergilas dan tertinggal. Dalil ini berlaku baik bagi perseorangan maupun bangsa. Ujian di sekolah, kalau saja didekati dengan bijak, sesungguhnya sangat mengasyikkan.
Saya teringat waktu belajar di pesantren dulu. Ketika mau ujian akhir tahun, semangat belajar tinggi, layaknya mau pertandingan, tapi dalam suasana kegembiraan. Yang terbayang setelah ujian adalah libur panjang, para santri pulang kampung, bertemu orang tua yang sudah sangat dirindukan. Saya sendiri heran, sewaktu di pesantren dulu tidak ada obsesi mengejar ijazah kelulusan negeri. Belajar adalah semata untuk mencari ilmu dengan niat ibadah, tapi semangat untuk lulus tinggi sekali. Yang ada bukan rasa takut lalu ingin berbuat curang, mencari bocoran soal, dan semacamnya, melainkan suatu kegairahan untuk menaiki tangga dalam tahapan belajar. Inilah yang dalam istilah modern mungkin disebut joyful learning, otak akan lebih mudah menangkap dan meresapi pelajaran ketika belajar itu dalam suasana kegembiraan. Ujian waktu itu saya rasakan sebagai tantangan yang mengasyikkan.
Sulit, tapi yakin bisa ditaklukkan sehingga di balik ujian terbayang rasa kemenangan. Lewat ujian seseorang akan naik tingkat, dan dengan ujian, mental kita akan tumbuh menjadi kuat, tidak gentar menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Ketika di pesantren dulu, yang lebih saya rasakan dari ujian bukan bagaimana saya bisa menjawab soal, melainkan melatih mental berani bertarung menghadapi tantangan hidup. Karena itu, di pesantren saya dulu, Pabelan Magelang, tidak dikenal contek-mencontek meski ujian tidak ditunggui pengawas. Mencontek itu menipu dan merendahkan diri sendiri serta tidak menghormati guru, tegas kiai. Orang yang merendahkan diri sendiri akan juga mudah merendahkan orang lain.
Orang yang mau menipu diri sendiri akan mudah menipu orang lain. Jadi, kalau sekarang banyak orang menipu dan korupsi, mungkin itu kelanjutan dari tradisi mencontek waktu sekolah dan ujian. Mencontek adalah bentuk korupsi yang tampaknya ringan, tapi sesungguhnya sangat fatal akibatnya. Yaitu membiasakan untuk sukses tanpa mau kerja keras. Mau berhasil, tapi meminjam tangan orang lain, sehingga yang dihasilkan serbapalsu, pura-pura, tidak otentik. Dengan demikian, penyelenggaraan ujian selama ini terasa ada yang kurang, yaitu makna filosofi dan aspek edukasi ujian itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah lulus dengan standar kognitif.
Ini memang tidak bisa dihindarkan. Tetapi, aspek edukatif-filosofis ujian itu kurang dipahami guru dan murid. Kultur sekolah pun kurang mendukung ke arah itu. UN itu tidak mutlak mesti diadakan asal ada alternatif lain yang lebih baik dan menjamin peningkatan mutu pembelajaran, baik aspek kognitif maupun emosional dan spiritualnya.(*)
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Opini Okezone 25 Maret 2010
18 April 2010
Heboh Ujian Nasional
Thank You!