Ujian nasional untuk tingkat SMA dan sederajat akan dilaksanakan mulai hari ini hingga 26 Maret 2010. Diskursus telah terjadi di semua kalangan.
Pihak yang setuju dan tidak setuju pelaksanaan ujian ini telah melakukan berbagai pembicaraan, diskusi, hingga berdemonstrasi. Tampaknya acara nasional ini belum dipandang hingga suasana “batin”, tapi hanya dipandang sebagai kegiatan lahiriah. Hal ini dibuktikan dengan peringatan dari Mendiknas minggu lalu antara lain agar para siswa maupun orang tua siswa tidak mempercayai berbagai bentuk bocoran soal ujian nasional itu. Peringatan Mendiknas ini memiliki pesan “batin”yang sangat dalam, yaitu agar kita semua para orang tua maupun para siswa sendiri “masih harus” diingatkan agar menjadi insan yang jujur. Dalam kaitan proses pendidikan, uji kejujuran antara lain dilaksanakan melalui ujian nasional.
Hal ini mudah dimengerti jika kita memandang manfaatnya dari sisi positif dan penting karena juga menggambarkan karakter kita. Kejujuran–sebagai perwujudan karakter–merupakan landasan penting dari berbagai aktivitas manusia untuk bertindak maupun membangun dirinya hingga membangun bangsanya. Kontroversi tentang ujian nasional ini hendaknya dapat kita gunakan sebagai pelajaran berharga dari semua pihak. Dari sisi pemerintah misalnya saja dapat digunakan sebagai bahan kajian tentang standar sumber daya pendidikan. Hal itu menyangkut kompetensi dan kualitas pendidik dan infrastruktur pendidikan termasuk akses informasi dan proses pembelajaran. Jika memang ternyata ada daerah-daerah yang belum terakomodasi dengan baik untuk fasilitas- fasilitas tadi, maka harus tercermin dari hasil “ujian nasional”.
Jangan sampai terjadi sebaliknya justru daerah yang proses pendidikannya tidak berjalan dengan baik ternyata hasil ujian nasionalnya lebih baik dari yang proses pembelajarannya berjalan dengan baik. Dari sisi para peserta didik ujian nasional merupakan arena untuk mencoba menunjukkan kemampuan maksimum dari seluruh input dan proses pendidikan yang dialaminya, apapun hasil yang akan diperolehnya. Keadaan disebut wajar jika siswa tidak menggunakan cara-cara tidak jujur hanya untuk sekadar lulus ujian. Terkait dengan pemerataan standar pendidikan, kita perlu paham bahwa dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Jika kita mencoba melihat jumlah SMA di Indonesia kira-kira sekira 10.000 yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang sedemikian luas, ditambah dengan wilayah negara kita yang berbentuk kepulauan, untuk memenuhi standar mutu yang sama dari semuanya tentu memerlukan sistem yang baik.
Sistem tersebut akan mencakup mulai dari masukan (termasuk peraturan, guru, infrastruktur dan biaya), dan proses pendidikan. Secara ideal semuanya harus memiliki standar mutu yang sama. Namun jika melihat kendala dari dua faktor penting saja, yaitu infrastruktur dan biaya operasional, dalam kegiatan pendidikan nampaknya kita masih harus berjuang keras. Meskipun anggaran pendidikan kita telah mulai dilaksanakan dengan angka “20%” APBN, tetap saja belum memadai karena APBN kita memang “belum besar”. Sebagai pembanding Anggaran untuk Kementrian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains, dan Teknologi Jepang pada 2007 kira-kira 5.000 miliar yen atau setara dengan Rp500 triliun untuk penduduk Jepang yang hanya sekira 100 juta orang. Jumlah anggaran ini kira-kira sama dengan separuh dari APBN 2010 kita, padahal anggaran itu untuk sekira 230 juta penduduk.
Kendala-kendala ini menunjukkan bahwa kita masih dalam taraf berjuang untuk membangun semuanya termasuk standar pendidikan kita dan secara bersaman mutu pendidikan juga harus dijamin. Secara operasional pemerataan sumber daya (termasuk informasi) dan proses pembelajaran yang memenuhi standar harus dilaksanakan dan uji standar harus dilaksanakan. Ujian nasional adalah uji standar. Karena sekarang kita sudah pada era terbuka (global) standar pun kira-kira harus setara secara global agar kita kompetitif.***
Meskipun kita masih menghadapi banyak kendala bukan berarti kita harus mencapai sesuatu target yang semu. Target semu adalah target yang dihasilkan dari ketidakjujuran. Ketidakjujuran dapat dimulai dari yang berwenang, misalnya dalam hal masukan (input), seperti ketersediaan maupun kompetensi pendidik belum terpenuhi namun dianggap terpenuhi. Dari sisi pengampu pendidikan, proses pembelajaran yang belum berjalan dengan baik merasa sudah baik. Dari sisi siswa pokoknya harus lulus meskipun dengan cara melanggar kaidah akademik pembelajaran. Kondisi contoh “ekstrem” ini kemudian ternyata menghasilkan hasil ujian nasional yang baik. Jika ini benar terjadi, merupakan masalah.
Masalah yang terjadi karena ketidakjujuran. Kemudian apa yang terjadi jika kita tidak membangunnya dengan landasan kejujuran? Sulit bagi kita untuk melakukan perbaikan terus menerus karena tidak tahu mana yang harus diperbaiki. Mengapa? Karena tanpa landasan kejujuran apapun yang kita hasilkan adalah hasil semu. Karena itu, kita tidak boleh menjadi “bangsa yang semu”. Standar yang menjadi lambang kompetensi kita haruslah nyata. Contoh sederhana ialah ijazah yang kita pegang menggambarkan kompetensi kita sesuai standar mutu bukan hanya sekadar kertas tanpa makna (apalagi kalau level sarjana atau lebih tinggi).
Meskipun tingkat pendidikan SMA bukan merupakan pendidikan formal yang tertinggi, di Indonesia sebagian besar dari mereka akan terjun ke dunia kerja. Landasan karakter jujur merupakan modal utama bagi keberhasilan seseorang secara benar atau normal. Karena itu, pendidikan SMA sewajarnya dipandang sebagai hal yang sangat penting. Jika ternyata tidak terjadi akan banyak masalah di dunia kerja dan perguruan tinggi. Kita catat kasus-kasus perjokian yang terjadi atau kecurangan di dalam ujian sesudah belajar di perguruan tinggi. Berkaitan dengan ujian nasional ini nampaknya kita harus membangun budaya jujur dan akuntabel.
Hal ini memang sering dibicarakan, tapi belum dilaksanakan. Ujian nasional akan menjadi lebih bermakna jika kita pandang sebagai ujian untuk menunjukkan karakter kita, ujian untuk menunjukkan jati diri. Kita tidak boleh memiliki karakter yang negatif.Kita harus yakin bahwa kita adalah bangsa dengan karakter jujur dan akuntabel, bukan bangsa yang semu. Untuk para siswa SMA dan yang sederajat, selamat menempuh ujian nasional semoga memperoleh hasil yang terbaik.(*)
Djoko Santoso
Mantan Rektor ITB
Opini Okezone 22 Maret 2010
18 April 2010
Ujian Nasional; Ujian Karakter
Thank You!