Ketika Densus 88 berhasil menembak mati tiga teroris di Pamulang dan dua teroris di Aceh, Polri harus membayarnya dengan 3 nyawa anggotanya yang tewas dalam penyergapan di Aceh.
Namun, liputan media massa lebih banyak menyoroti keadaan keluarga gerombolan Dulmatin pascatewasnya para buron ini ketimbang kedukaan anak-istri anggota Polri yang telah gugur sebagai kusuma bangsa. Sementara itu, yang didiskusikan di televisi malah tentang posisi duduk Dulmatin ketika dia tewas. Dia memegang revolver, padahal biasanya memegang pistol FN dan dia hanya menembakkan satu peluru, padahal seharusnya dia bisa menembak lebih banyak dan seterusnya. Pokoknya, kesannya polisi melanggar hak asasi manusia (HAM) ketika menewaskan Dulmatin yang tidak sempat membela diri.
Namun, ketika tiga anggota Polri diberondong peluru dari atas bukit, hal itu tidak melanggar HAM. Tidak aneh kalau simpati publik malah mengarah kepada teroris, bukan kepada polisi. Bahkan sampai sekarang masih ada orang yang tidak percaya bahwa yang tewas di Pamulang itu adalah Dulmatin. Di sisi lain, tepuk tangan kepada Polri atas keberhasilannya menggulung terorisme tidak berlangsung lama. Perhatian publik segera kembali ke tayangan beberapa stasiun televisi yang sangat konsisten dalam membahas dosa-dosa Polri, sejak kasus “cicak lawan buaya” hingga berlanjut ke kasus “Bank Century” dan kasus “Gayus Tambunan” sekarang.
Awalnya Kabareskrim yang waktu itu bernama Susno Duadji dihujat karena dia pasang badan membela Anggoro dan Anggodo serta sesumbar bahwa tidak mungkin “cicak” (sanggup) melawan “buaya”. Namun, setelah diberhentikan dari posisi Kabareskrim, Susno Duadji justru dianggap sebagai pahlawan. Susno menjadi si peniup peluit (whistle blower), seakan-akan dia wasit yang tidak terlibat permainan dan menunjuk Polri sebagai pemain yang curang. Orang sudah lupa bahwa Susno Duadji si peniup peluit yang sekarang ini sama orangnya dengan Susno Duadji yang dulu dikenal sebagai “buaya”. Jadi, apa pun dan kapan pun, Polisi tetap jelek. Layaklah kalau di lingkungan Polri ada pemeo bahwa buat polisi, “jasa tak terhimpun, dosa tak berampun”.***
Bahwa polisi memang sering menyebalkan, tidak bisa diingkari. Polisi memang sudah berusaha sekuat tenaga. Pelayanan perpanjangan SIM dan STNK yang sudah “jemput bola” dan quick response adalah contohnya. Namun, polisi memeras, petugas piket di polsek acuh-tak-acuh kalau dilapori oleh masyarakat, atau polisi melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tahanan), dan seterusnya masih terus saja berlangsung. Orang kemudian membandingkan dengan polisi Inggris (yang di London disebut bobby) atau polisi Singapura yang rasanya beda bak bumi dan langit dengan Polri.
Namun, orang lupa bahwa polisi di kedua negara itu juga berbeda seperti bumi dan langit dalam hal gaji, kesejahteraan, fasilitas, dan yang terpenting budaya good governance yang sudah mendarah daging buat pemerintahan di kedua negara itu. Dengan perkataan lain, wajah kepolisian dari suatu negara sebetulnya tidak dapat dilepaskan dari budaya pemerintahan dan masyarakat di negara yang bersangkutan. Polisi Jepang terkenal dengan polisi masyarakat, polisi Amerika Serikat terkenal rasialis, polisi Malaysia gemar KDRT pada imigran gelap Indonesia, dan polisi Arab Saudi tidak pernah campur tangan kalau ada TKW Indonesia diperkosa majikannya. Semuanya itu hanya cermin dari budaya masyarakat masing-masing.
Maka jangan heran kalau Polri berwajah buruk karena seluruh sistem pemerintahan ini memang masih jauh dari apa yang disebut good governance. Semua dosa yang ada di Polri terjadi di seluruh jajaran pemerintahan NKRI, termasuk jajaran legislatif dan yudikatifnya. Kalau polisi hanya berani membentak masyarakat kecil di ruang polsek, Pansus DPR RI malah berani membentak dan melecehkan Wakil Presiden dan Menteri Keuangan di depan televisi. Polisi memang melakukan korupsi. Yang disemprit Susno Duadji hanya sebagian kecil. Namun, ternyata hakim, jaksa, bahkan jajaran perpajakan pun (di luar sistem hukum pidana) juga terlibat.
Kalau mau melebar lagi, sudah jadi rahasia umum bahwa Bea Cukai, Imigrasi, dan pemerintah-pemerintah daerah dipenuhi oleh oknum korup. Di DPR pusat mulai terungkap kasus traveler’s check dari Miranda Gultom, di DPRD setiap perda harus ditebus dengan duit oleh pihak-pihak terkait, dan sebagainya dan seterusnya. Walaupun demikian, semangat reformasi untuk menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus berlanjut. Di antaranya dengan melipatgandakan penghasilan pegawai Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan anggota DPR/DPRD walaupun sejauh ini belum tampak hasilnya. Juga hukuman atas pelaku-pelaku korupsi kelas kakap belum membuat jera para pelaku kelas teri seperti Gayus Tambunan (yang korupsinya melebihi kelas kakap).
Saya malah yakin kalau koruptor Indonesia dikenai hukuman mati seperti di China pun para koruptor lain tidak akan jera karena ini Indonesia, bukan China. Meskipun begitu, saya yakin perbaikan ke arah bebas KKN akan berjalan di negeri ini. Kuncinya bukan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) walaupun instansi itu sangat penting. Kuncinya adalah di kebebasan pers. Banyak yang berpendapat (termasuk saya) bahwa dalam beberapa aspek kebebasan pers Indonesia sudah kebablasan. Beberapa media cetak dan stasiun televisi jelas-jelas provokator. Saya pernah jadi korban provokasi itu. Namun, dari provokasi-provokasi (yang kadang-kadang ngawur itu), mulai terjadi pembenahan-pembenahan.
Pasalnya, orang Indonesia tidak menganut budaya salah (guilt culture), jadi tidak takut berbuat kesalahan. Hampir semua orang melanggar aturan lalu lintas, masih sangat banyak orang yang tidak bayar pajak, melanggar izin mendirikan bangunan (IMB), memalsukan sertifikat tanah, mencuri listrik, menghuni atau berdagang di jalur hijau, kaki lima, dan bantaran sungai, dan sebagainya. Namun, orang Indonesia sangat takut kalau dipermalukan. Lihat saja bagaimana orang-orang yang ditayangkan di televisi dalam rangka suatu pelanggaran hukum.
Mereka berusaha menutupi mukanya atau bersumpah-sumpah kepada Tuhan dengan tidak pernah lupa membawa-bawa nama baik anak, istri, dan keluarganya bahwa mereka bukan pelakunya. Orang Indonesia memang menganut budaya malu (shame culture). Karena itu, untuk membenahi institusi, mempermalukan lebih efektif daripada hanya menyalahkan dan menghukum.***
Dampak dari gencarnya pemberitaan di media massa tentang perbuatan-perbuatan memalukan itu adalah pembenahan-pembenahan yang serius. Yang mengawali adalah Polri. Terlepas dari kontroversi tentang Susno Duadji, data yang disempritnya sudah cukup untuk membuat Polri berbenah serius. Jenderal-jenderal, bahkan seorang kapolda, dicopot (belum pernah terjadi di instansi lain), seluruh kanit reserse se-Indonesia dikumpulkan di Jakarta untuk diberi perintah-perintah baru oleh Kapolri dan seterusnya. Padahal, Polri tidak termasuk yang gajinya dinaikkan sekian kali lipat seperti DPR dan Kementrian Keuangan.
Namun, Kejaksaan Agung, bahkan Kementerian Keuangan pun sudah mulai berbenah. Pada awal reformasi tahun 1998, saya pernah ditanya wartawan dan saya jawab bahwa reformasi yang menyeluruh (termasuk civil society dan good governance) baru akan tercapai setelah minimal 15 tahun. Sekarang kita sudah memasuki tahun ke-12 dan tanda-tanda perbaikan sudah ada.
Tanda-tanda perbaikan itu mulai dari Polri. Saya yakin selama kita punya kebebasan pers, reformasi akan terjadi secara menyeluruh di Indonesia dengan Polri sebagai pelopornya.(*)
Sarlito Wirawan Sarwono
Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Opini Okezone 8 April 2010