TIDAK salah bila dikatakan Indonesia adalah negara “kasus” karena hampir tiap pekan bisa meledakkan masalah besar yang menimbulkan getaran sangat hebat.
Kasus Century belum usai, sekarang kasus makelar kasus (markus) yang melibatkan Gayus Tambunan menyeruak dan menghadirkan kehebohan di jagat politik. Segera para pengamat/politisi menyimpulkan reformasi pajak di bawah Kementerian Keuangan gagal total sehingga perlu ditinjau kembali secara mendasar. Pendapat itu tentu sah-sah saja, apalagi didukung munculnya peristiwa ini. Namun, menafikan seluruh proses reformasi sambil menganggap tidak ada hasilnya sama sekali pasti juga merupakan kesimpulan yang gegabah. Di sini diperlukan kemampuan semua pihak untuk merentangkan foto masalah ini secara utuh sehingga wajahnya menjadi terang-benderang (bisa tampak jerawat/bisul maupun kemulusan kulitnya).
Reformasi dan Kasus Pajak
Dari informasi yang dirilis di website pajak, reformasi perpajakan sudah dirintis sejak 2002 silam dengan menitikberatkan pada tiga pilar utama, yakni reformasi bidang administrasi perpajakan, reformasi bidang peraturan perpajakan, dan reformasi pengawasan perpajakan. Reformasi jilid pertama diawali pemetaan wajib pajak (WP) berdasarkan perilaku bisnis, dukungan aparat yang kompeten, serta sistem informasi data yang dapat diandalkan. Hasilnya menunjukkan tax ratio (rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB) Indonesia berkisar 13–14 persen.
Sementara reformasi perpajakan jilid II yang dicanangkan mulai Juni 2009–2013 diharapkan bisa memperkecil tingkat kebocoran penerimaan pajak. Pemerintah menargetkan pertumbuhan tax ratio 0,5 persen/tahun dan penambahan jumlah pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) dari 14 juta menjadi 23 juta. Selain itu, pemerintah juga berupaya meningkatkan jumlah WP orang kaya dari 200 menjadi 1.000 WP di setiap kantor pelayanan pajak (KPP). Pada reformasi perpajakan jilid kedua, arah reformasi sudah merambah penghimpunan informasi akurat tentang rekening pajak WP. Informasi ini lebih memerinci data historis perusahaan WP dan kewajiban pajaknya.
Hasilnya, selain menembak WP besar, Ditjen Pajak juga mulai menjaring WP di sektor informal yang sebelumnya terabaikan seperti kos-kosan, pasar modern, mal, dan pusat perbelanjaan lainnya. Sementara itu, dalam upaya mengakomodasi keluhan masyarakat, Menteri Keuangan pada 26 Maret 2010 lalu telah melantik Komite Pengawas Perpajakan yang bertugas menangani masalah pengaduan masyarakat atas instansi perpajakan. Menurut Dirjen Pajak, selama 2009 sudah ada pemeriksaan kepada seluruh pegawai pajak hingga ditemukan sebanyak 516 kasus, sedangkan pada kuartal pertama 2010 ini sudah terjaring 200 kasus.
Di luar itu, reformasi pajak juga sudah masuk operasionalisasi sistem dan administrasi berbasis teknologi informasi (TI). Peleburan KPP, kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak (karipka), dan kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan (KPPBB) juga sangat memudahkan administrasi WP. Setelah itu, aspek lain yang tidak boleh dialpakan adalah kode etik yang tegas kepada aparat. Dengan demikian, telah cukup banyak hal yang dijalankan sehingga mestinya juga banyak hasil yang dapat dicapai, antara lain kepercayaan WP yang terus membaik dengan terpenuhinya beberapa indikator seperti pendapatan dari pajak meningkat dan semakin banyaknya keluhan WP yang dapat ditangani. Sebelum kasus Gayus ini menyeruak, terjadi pula kasus tuduhan penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri.
Perhitungan SPT Asian Agri yang dituduh digelapkan berasal dari SPT periode 2002–2005 dengan nilai yang sangat besar. Akhir-akhir ini, seiring dengan kasus Century, persoalan pajak yang menimpa kelompok usaha Bakrie juga muncul ke permukaan, yang kemudian dicium kental aroma politiknya.
Reformasi Remunerasi
Gayus Tambunan, seorang penelaah keberatan pajak (banding) perseorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak, dalam sekejap telah menjadi “artis” perpajakan. Gayus disangka melakukan pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak. Gayus berkilah, aliran senilai Rp24,6 miliar merupakan titipan Andi Kosasih, seorang pengusaha garmen asal Batam. Puncaknya, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 12 Maret 2010, Gayus divonis bebas.
Meskipun kasus ini menurut pengadilan negeri dianggap selesai, implikasinya telah mencoreng kredibilitas Ditjen Pajak. Bahkan, mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji mengatakan masih ada ratusan lain kasus yang sekelas Gayus ini di Ditjen Pajak. Bila lontaran Susno itu benar, bisa dibayangkan betapa ganasnya masalah ini. Tentu saja, Ditjen Pajak seperti pesakitan dalam kasus ini dan menjadi “sansak” yang dipukul dari seluruh penjuru angin. Dari kasus-kasus pajak tersebut, tampak tiga fakta sederhana yang perlu diangkat.
Pertama, WP (terutama korporasi kakap) masih cenderung memanipulasi pembayaran pajak, apalagi ditunjang dengan sistem yang sangat memungkinkan dilakukannya hal tersebut (self-assesment). Belum tampak kesadaran yang tinggi bahwa pajak merupakan bagian penting dari siklus hidup bernegara. Kedua, aparat pajak sendiri cenderung melakukan moral hazard, sekali lagi juga karena sistem yang memungkinkan hal itu terjadi (misalnya WP masih bertemu muka dengan aparat penagihan pihak). Jadi, sistem harus dibangun untuk mengeliminasi moral hazard dari kedua belah pihak itu. Ketiga, aparat Ditjen Pajak tidak bermain sendiri (seperti kasus Gayus), tapi diorganisasi secara cermat oleh markus dari beberapa instansi (juga konsultan pajak). Ini semua harus dibersihkan, jadi bukan cuma Ditjen Pajak.
Isu lain yang penting, kasus ini tidak boleh dibajak oleh WP perseorangan/badan yang memanfaatkan “tikungan” ini untuk menyabotase upaya reformasi pajak. Oleh karena itu, sudah saatnya reformasi birokrasi dilakukan secara menyeluruh. Walaupun secara konseptual reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sudah terlihat komprehensif, kesan bahwa reformasi itu lebih banyak berbicara soal peningkatan gaji (reformasi remunerasi) tidak terelakkan. Implikasinya, aspek-aspek reformasi yang lain (rekrutmen, sistem kerja, penempatan staf, reward and punishment, dan monitoring) seperti diabaikan. Catatan lain,“reformasi remunerasi” di Kementerian Keuangan telah menyemaikan bibit kecemburuan dari kementerian lain, apalagi setelah kasus ini mencuat.
Pemerintah hendaknya tidak melakukan diskriminasi. Reformasi harus dijalankan secara serentak di semua lini birokrasi dengan menggunakan konsep yang utuh. Dengan jalan inilah reformasi birokrasi tidak akan ditelikung oleh para markus maupun bandit ekonomi yang selalu mengail di air keruh. Implikasinya, kepercayaan masyarakat akan pulih sehingga bersedia menunaikan kewajibannya secara sukarela, layaknya slogan: orang bijak bayar pajak.(*)
Ahmad Erani Yustika
Wakil Dekan (Akademik) FE Unibraw, Direktur Indef
Opini Okezone 5 April 2010
18 April 2010
Kasus, Markus, dan Gayus
Thank You!