18 April 2010

» Home » Kompas » Memberantas Mafia Pajak

Memberantas Mafia Pajak

Istilah mafia sering dipakai untuk menjelaskan jejaring rezim korupsi, yang kini mulai terbongkar di sana-sini. Karena bersifat korupsi transaktif, mafia pajak termasuk yang paling sulit dibongkar.
Namun, kini dengan sistem pelacakan pencucian uang, agak mudah menjejaki pegawai pajak yang memiliki kekayaan tak wajar. Indikator yang sering dipakai untuk menduga penyimpangan pajak adalah ketidakakuran antara pendapatan pajak dan angka pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor, jumlah uang yang beredar dalam satu periode. Jumlah potensi pajak yang masuk ke kas negara tidak lebih dari sepertiganya, seperti ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Saat ini setoran pajak telah mencapai 60 persen dari APBN; bisa dibayangkan berapa potensi pajak yang lenyap.


Dari testimoni jujur para pegawai pajak yang berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mafia pajak, seperti terungkap dalam buku Berbagi Kisah dan Harapan, Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (2009), kita bisa memahami bagaimana melembaganya budaya korupsi.
Misalnya, ada kewajiban dari atas ke bawah untuk mengisi pundi-pundi ”dana taktis” kantor atas nama kesejahteraan pegawai. Frase ”terima kasih” jadi pembungkus segepok uang dari wajib pajak yang ”dibantu” menyelesaikan masalah pajaknya. Pegawai menyambi jadi konsultan pajak untuk mengatur perencanaan pajak perusahaan, lumrah untuk cari tambahan gaji. Contoh modus penggelapan pajak yang lazim: penggelembungan biaya fiktif, pengalihan keuntungan perusahaan ke luar negeri (transfer pricing) dan transaksi lindung nilai (hedging) dengan perusahaan afiliasi fiktif.
 ”Stick and carrot”
Pascakasus mafia pajak mencuat, ada gugatan terhadap kebijakan perbaikan remunerasi bagi pegawai Kementerian Keuangan sejak tahun 2007. Demikian pula bagi pegawai BPK dan MA. Apakah instrumen kenaikan gaji efektif mengerem korupsi?
Betapapun baiknya anjuran moral agar pegawai negeri tidak korupsi atas nama hukum Tuhan sekalipun, rasanya tak cukup berwibawa jika hidup mereka memang pas-pasan, sementara godaan suap begitu besar. Sesuai teori stick and carrot, kini saatnya Menkeu menggebuk mereka yang tetap korupsi kendati kesejahteraan sudah membaik.
Kita tahu sebagian besar birokrat tidak hidup dari gajinya, tetapi dari kekuasaan jabatan yang dimilikinya. Sistem penggajian pamong, demikian menurut Soemarsaid Moertono (1963), mirip sistem salary-financing era Mataram, yakni tak pernah digaji selain diberikan lungguh atau tanah garapan untuk mengongkosi hidup keluarganya, termasuk semua pengeluaran yang bertalian dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Akibatnya, penyimpangan kekuasaan jadi banal karena tak ada pemisahan antara urusan publik dan urusan pribadi. Menggunakan sarana publik untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kampanye partai yang didukung dianggap lumrah, bukan penyimpangan.
Penelitian Jeff Huther dan Anwar Shah (2000) mengingatkan, instrumen kenaikan gaji hanya berdampak positif pada korupsi kelas teri (petty corruption), tetapi kecil pengaruhnya pada korupsi kelas kakap (grand corruption), dan berdampak negatif jika korupsi merupakan problem yang eksesif di kalangan pegawai pemerintah. Apalagi kalau kenaikan gaji hanya satu-satunya pendekatan, bukan bagian kecil dari strategi reformasi birokrasi yang lebih luas.
Kembali ke testimoni para pegawai pajak, di mana ada penularan korupsi secara compulsary dari atasan, ada baiknya Menkeu mencoba program perlindungan saksi untuk menangkap maling besar dengan mengampuni pencuri kecil. Ini bisa dikombinasikan dengan audit kekayaan pejabat pajak. Intinya, program pergantian pejabat lama yang telanjur kotor akan lebih kuat pesan perubahan yang ingin dibangun, baik ke dalam maupun ke publik. Patut disayangkan pengabaian kesaksian langka dari Vincentius Amin Susanto, mantan financial controller yang mengungkap penyimpangan pajak PT Asian Agri sekitar Rp 1,1 triliun. Yang terjadi, ia malah dipenjarakan dan diberondong dengan tuduhan pidana berlapis.
Cara lama mengumumkan daftar peringkat pembayar pajak juga bisa dipakai lagi untuk melibatkan publik dalam pemantauan. Ada pengusaha periklanan yang terheran-heran dikelompokkan sebagai pembayar pajak papan atas, sementara perusahaan raksasa jauh di bawahnya. Pengusaha lain merasa tak akan bisa bersaing karena membayar pajak dengan jujur, sementara perusahaan rival pembayar pajak kelas UKM. Indikator ekonomi untuk mengukur akuntabilitas pendapatan pajak, sekalipun tak akurat, mungkin harus distandarkan untuk mengukur kinerja pencapaian pajak.
Saya khawatir kalau tidak ada cara strategis dan keberanian untuk menumpas habis mafia pajak yang sudah centang perenang di publik, termasuk mafia hukum dan lainnya, momentum ini justru digunakan balik oleh mereka untuk menunjukkan pengaruh dan menggalang solidaritas atas nama kehormatan institusi yang akan semakin meneguhkan kekuasaan rezim korupsi di setiap departemen. Jangan pernah bermimpi bisa membasmi korupsi, seperti menangkap penjahat licin sekaliber Al Capone lewat penelusuran rekam jejak pajak, selama kantor pajak bermasalah.
Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Opini Kompas 19 April 2010