02 Januari 2012

» Home » 26 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Perda Antirokok Nirkeadilan

Perda Antirokok Nirkeadilan

ADA pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas sebuah pemerintahan di daerah yang diselenggarakan oleh eksekutif dan dan DPRD diukur dari berapa banyak produk hukum berupa perda yang dihasilkan. Jelas ini pendapat yang menyesatkan karena belum tentu produk legislasi daerah yang disebut perda itu bermanfaat untuk kepentingan umum.

Maka banyaknya perda antirokok saat ini justru merusak cita-cita masyarakat lokal untuk menikmati kesejahteraan secara adil dan merata. Perda antirokok itu di antaranya telah berlaku di Kota Bogor (Perda Nomor 12 Tahun 2009), Kota Surabaya (Perda Nomor 5 Tahun 2008), Kota Padang Panjang (Perda Nomor 8 Tahun 2009), Kota Palembang (Perda Nomor 7 Tahun 2009), Kota Tangerang (Perda Nomor 5 Tahun 2010), Kota Bandung (Perda Nomor 11 Tahun 2005). Yang lain ada yang berbentuk pergub, perwali/ perbup, atau surat edaran.

Dalam konstitusi (Pasal 18 Ayat 6) pemda berhak menetapkan perda dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah memiliki makna bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya apa? Spirit konstitusi memberikan kebebasan mengatur sendiri daerahnya adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat lokal yang berdaulat. Sesuai dengan potensi daerah, kearifan lokal masing-masing, tidak didikte, diintervensi oleh pusat, apalagi ditunggangi kepentingan asing.

Berkaitan dengan perda-perda antirokok, apa yang terjadi? Justru perda antirokok di beberapa daerah merupakan wujud penyeragaman, tidak memperhatikan ciri khas masing-masing daerah sebagaimana diatur Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini bermakna bahwa regulasi di daerah, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi adalah pesanan pemerintah pusat, dan pusat adalah pesanan dari imperialis asing. Masyarakat lokal memiliki nilai kearifan, ideologi kebudayaan, dan cara pandang tersendiri tentang rokok keretek dan tembakau. Maka jangan ada peraturan atas nama wakil rakyat yang menyeragamkan pandangan hidup mereka. Lantas dimana spirit otonomi untuk membangun masyarakat lokal yang mandiri dan berdaulat penuh?

Simbol Kedaulatan

Dari sisi filosofis, perda antirokok jelas tidak mendasarkan pada asas materi muatan perda; seperti asas pengayoman, kenusantaraan, asas Bhinneka Tunggal Ika, dan asas keadilan. Perda-perda tersebut tidak memberikan pengayoman terhadap petani tembakau di lereng-lereng bukit, tidak melindungi nasib pedagang rokok asongan, juga buruh pabrik yang nasibnya tak menentu. Filosofi kenusantaraan juga pasti tidak dijadikan sandaran. Bagaimana mungkin mengakui kenusantaraan, jika yang terjadi malah mengkriminalisasi produk rokok keretek yang telah menjadi simbol Nusantara yang menyejarah, menjadi kebanggaan produk Nusantara yang mendunia. Siapapun akan mengakui bahwa tembakau kretek rokok adalah simbol nasionalisme, bukan barang haram yang harus dimusnahkan.

Di sinilah juga rokok keretek dan tembakau menjadi simbol kedaulatan rakyat pribumi. Kedaulatan, bagi Prof Jimly Asshiddiqie adalah konsep kekuasaan tertinggi.

Dalam konteks rokok keretek dan tembakau, kekuasaan tertinggi sejak berabad-abad, bahkan sebelum berdirinya NKRI, rakyatlah yang memegang kendalinya. Mulai dari kemandirian petani tembakau menyediakan bibit, pupuk, hingga panen, penjualan.

Diteruskan dalam industri-industri kretek lokal yang bermodal pas-pasan, diolah oleh buruh rumahan, dijual eceran oleh pedagang kecil, dikonsumsi menjadi simbol kultural Nusantara yang membanggakan. Benar-benar terintegrasi.
Walaupun negara tak pernah memikirkan subsidi pupuk untuk petani tembakau, tak pernah juga mencairkan kredit untuk modal industri rokok rumahan; cukai rokok yang menyumbang triliunan rupiah buat negara, selalu dikeruk tak kenal henti.

Bandingkan dengan pertambangan yang justru sudah digadaikan dan dikangkangi oleh pemodal asing yang tak manusiawi.
Maka wajar saja jika implementasi dari perda antirokok sudah gagal duluan di tengah jalan. Lagi-lagi karena faktor pembentukan perda yang sekadar menerima pesanan asing, asal ada kucuran miliaran rupiah. Tidak ada riset dalam law making process (Ann Seidman dan Robert Seidmann); terutama terhadap biaya penerapan dan kemungkinan dampak penerapannya. Jelas perda antirokok menjadi kontraproduktif ketika menghitung biaya untuk menegakkan regulasinya dengan hasil yang ditargetkan.

Lantas buat apa mematuhi regulasi yang melumpuhkan kedaulatan ekonomi rakyat? Jika jalur yuridis konstitusional sudah tak menyediakan ruang untuk mendapatkan keadilan, mengapa tak segera ada civil disobedience atau pembangkangan sipil? (10)

Gugun El Guyanie, staf peneliti pada Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Opini, Suara Merdeka, 26 Desember 2011