Tanggal 8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan tes deoxyribose nucleic acid (DNA) kerangka jenazah yang diduga Tan Malaka di Jakarta setelah tertunda sekian lama.
Rencana semula kesimpulan akan diperoleh dua-tiga minggu sesudah penggalian makam di desa Selopanggung, Kediri, 12 November 2009. Keterlambatan ini karena kesulitan mendapatkan hasil di Jakarta sehingga sampelnya terpaksa diperiksa di Australia. Tim Identifikasi Tan Malaka terdiri atas dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik).
Mereka menemukan pada kedalaman 2 meter sebuah kerangka, tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang. Di sekitar leher, tungkai maupun lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya. Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya, rapuh dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.
Sebelumnya, dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak merokok, mempunyai gigi geraham yang terbuat dari emas, tetapi tidak jelas geraham yang mana.Tidak lama sebelum meninggal dia pernah ditembak tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri) sehingga Tan Malaka agak pincang. Dia juga mengidap penyakit paru menahun, yang ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.
Pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.
Pemeriksaan DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats (YSTR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang pria kepada semua anak laki-lakinya. Pada kasus ini, Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak laki-lakinya, Zulfikar, yang sekarang masih hidup.
Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar. Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut, sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.
Pengulangan pemeriksaan Y-STR terhadap sampel-sampel tersebut pada beberapa lab DNA lainnya, baik di dalam dan maupun di luar negeri, juga gagal mendapatkan DNA dan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut. Sampai saat ini tim investigasi masih berusaha untuk mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA lain yaitu di Korea Selatan dan RRC.
Penyebab terjadinya keadaan “kerangka tanpa DNA” seperti yang ditemukan pada kasus ini dikenal sebagai kasus “bog body”, yang dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka, yang terkubur di daerah aliran sungai.
Jago Menghilang
Semasa penjajahan, tokoh antikolonialis yang sangat tinggi mobilitasnya tampaknya Tan Malaka. Perjuangannya secara intensif “tanpa henti selama 30 tahun” tergambar dari kota yang disinggahinya (di dalam negeri) dari Pandan Gadang (Suliki), Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Kediri, Surabaya, dan di luar negeri mulai dari Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangon sampai Penang.
Berselisih pendapat dengan PKI yang melakukan pemberontakan tahun 1926/1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok, 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan hidup selama sepuluh tahun, padahal pada saat yang bersamaan partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh intelijen Belanda dan aktivisnya diburu-buru. Semasa perjuangan Tan Malaka dianggap polisi penjajah sebagai “jago menghilang”.
Karena bertahun-tahun diburu intel, pemuda Minang ini selalu waspada, dia dalam setiap kesempatan duduk atau berada di tempat yang bisa melihat orang masuk dari pintu depan dan siap lari dari pintu belakang. Ketika diperiksa oleh polisi di Manila, Filipina dia menggertak “di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras”. Bukan hanya itu, rupanya setelah meninggal pun kemampuan menghilang Tan Malaka tidak berkurang.
Bukan Penggalian Pertama
Penggalian makam seorang tokoh nasional ini bukan yang pertama. Tahun 1975 dengan dipimpin langsung Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono dilakukan penggalian di pertambangan Bayah, Banten untuk menemukan jenazah Supriyadi seorang komandan PETA yang berontak terhadap Jepang. Pada tempat yang ditunjukkan saksi tidak ditemukan apa-apa.
Kemudian dilanjutkan ke situs sekitar itu dan diperoleh kerangka seseorang yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diperiksa tim forensik Fakultas Kedokteran UGM. Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tetapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Walaupun hasilnya nihil, pemerintah selanjutnya menetapkan Supriyadi sebagai pahlawan nasional.
Sejarawan Belanda, Harry Poeze, berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur menyimpulkan, Tan Malaka ditembak di desa Selopanggung di kaki gunung Wilis, Kediri. Dalam e-mail-nya kepada saya, 14 Maret 2010, Harry Poeze menegaskan keyakinannya bahwa Tan Malaka dimakamkan di Selopanggung dan berharap agar pemeriksaan DNA Tan Malaka lebih lanjut di Korea Selatan dan China berhasil.
Pencarian makam Supriyadi pada 1975 sepenuhnya atas prakarsa dan dana pemerintah yang ingin mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Namun, penggalian makam Tan Malaka pada 2009 atas inisiatif keluarga dengan sumbangan beberapa donatur seperti Taufik Kiemas (sebelum menjadi Ketua MPR).
Sangat ironis bila Tan Malaka yang sudah diangkat sebagai pahlawan nasional pada 1963 itu tidak dipastikan makamnya, padahal lokasinya sudah diketahui. Seyogianya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan menteri sosial untuk menuntaskan kasus ini dengan anggaran negara.(*)
Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI,
Penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka
Opini Okezone 31 Maret 2010
18 April 2010
Memburu DNA Tan Malaka
Thank You!