11 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Politik Dagang Internasional

Politik Dagang Internasional

Oleh ACUVIARTA H. KARTABI

DALAM satu dekade terakhir, satu demi satu perjanjian perdagangan internasional dibuat. Intinya cukup banyak skema perjanjian bilateral dan multilateral terkait perdagangan internasional yang disepakati. Kalau dihitung-hitung mungkin bisa lebih dari lima puluh skema perjanjian. Di kemudian hari banyaknya kesepakatan ini bisa menimbulkan masalah. Masalahnya, selain bisa saling bertabrakan antara satu perjanjian dan perjanjian yang lain, juga sebagian besar perjanjian belum ada landasan hukumnya.


Pertanyaannya, apa saja dasar pertimbangan perjanjian itu dibuat? Kemudian setelah dibuat, apakah kemudian perjanjian tersebut disosialisasikan dengan baik. Semua pasti paham. Ketika kita berdagang, setiap keputusan pasti tidak ujuk-ujuk dibuat tanpa pertimbangan yang matang. Prinsipnya tidak ada kesepakatan jual beli tanpa ada kesediaan/keinginan dan kemampuan untuk membayar atau membeli.

Untuk itu, ketika delegasi kita menghadiri forum-forum perdagangan internasional, apalagi agenda kesepakatannya harus diambil satu keputusan strategis, wajib semua delegasi harus dibekali bahan pengambilan keputusan yang akurat dan terukur. Tidak mungkin kita bernegosiasi dalam forum perdagangan internasional dengan persenjataan ekonomi ala kadarnya. Ibarat perang, kita harus bertempur dengan peluru tajam (bukan peluru karet). Apalagi berani berperang dengan tangan kosong (matilah kita).

Masalah perjanjian perdagangan internasional berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Politik dagang dengan berlabel pasar bebas memang diusung oleh negara-negara barat berhaluan liberal. Motivasinya untuk memaksa setiap negara memproduksi suatu komoditas dengan harga semurah-murahnya tanpa harus memikirkan segala konsekuensinya. Ini terkait dengan posisi politik impor sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat (AS).  Sudah sejak tahun awal 1970-an posisi net export AS terbiasa selalu negatif, kecuali seingat penulis tahun 1981 sempat positif.  Masalah Indonesia jelas berbeda dengan masalah AS dan negara-negara maju lainnya. Posisi pemanfaatan sumber daya manusia (tenaga kerja) perekonomian negara maju sudah mendekati full employment, kita tampaknya masih jauh dari itu. Dalam kapasitas mendekati full employment ditambah pendapatan per kapita tinggi, sasaran negara-negara maju tidak lain adalah bagaimana menyejahterakan konsumen. Mereka tidak pusing-pusing mengusung platform ”cintailah produksi dalam negeri” seperti kita.  Tingginya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran, membuat kita harus lebih ekstra hati-hati. Kita masih butuh sektor produksi di dalam negeri agar penyerapan tenaga kerja lebih tinggi. Perdagangan bebas sudah pasti akan menyejahterakan konsumen karena bisa membeli barang lebih murah. Apalagi peranan konsumsi dalam PDB kita sangat tinggi. Akan tetapi, risikonya, apakah kita sudah siap dengan meningkatnya pengangguran? Tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada pengusaha kenapa tidak bisa bersaing. Kita juga harus lihat peran pemerintah di negara lain dalam sejarah membangun sektor riil yang berdaya saing.

Akan tetapi, lihatlah kemudian bagaimana perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) membuat kita gusar bukan kepalang. Perjanjian yang dibuat tujuh tahun lalu (2002), sekitar dua bulan sebelum efektif diberlakukan, barulah kita mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Sampai hari ini peraturan pemerintah terkait penghapusan tarifnya pun belum keluar. Apa pun alasannya, buktinya jelas kita tidak siap strategi maupun persenjataan. Perjanjiannya sendiri tidak salah, sebab politik dagang saat ini memang kecenderungannya seperti itu, kalau kita ingin masuk ke pasar di negara lain, kita juga harus siap membuka pasar dalam negeri kita. Lantas, apa yang salah? Yang salah karena kita kurang mempertimbangkan kondisi saat perjanjian itu dibuat dan bagaimana kemungkinan pencapaiannya ketika agenda kesepakatan itu efektif diberlakukan. Sangat mungkin banyak perjanjian perdagangan internasional dibuat hanya berdasarkan intuisi, tanpa ada bahan pengambilan keputusan yang mumpuni. Melihat kasus ketidaksiapan kita memasuki penghapusan ribuan pos tarif yang disepakati dalam agenda ACFTA, ada beberapa hal perlu dicermati.

Pertama, pemerintah harus punya peta daya saing produk dalam negeri. Peta tersebut mencakup kinerja daya saing, kajian dampak ke belakang dan ke depan suatu industri, level strategis suatu komoditas terhadap pengembangan sumber daya lokal, serta dukungan lingkungan stabilitas makroekonomi jangka panjang.

Kedua, dukungan kemampuan menyosialisasikan. Perjanjian-perjanjian yang dibuat harus dipagari koordinasi yang mantap pada setiap tahapan agenda aksi. Kesepakatan yang dibuat harus segera disosialisasikan. Bahkan, jika ingin lebih baik lagi, sebelum perjanjian dibuat seluruh pelaku usaha yang menjadi objek dari suatu kesepakatan sudah harus tahu apa yang diperbuat, tentu juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Jangan sampai menteri perdagangan sibuk membuat perjanjian internasional, menteri perindustrian diam saja pasrah tanpa berbuat apa-apa. Lebih parah lagi jika ditambah pelaku usahanya sibuk sendiri. Dalam menyikapi skema perjanjian perdagangan internasional, pertimbangannya tidak mungkin hanya didasarkan kemampuan orang per orang atau masukan satu atau dua pengusaha. Pertimbangannya harus lebih komprehensif. Ibarat bermain sepak bola, pengusaha harus bermain dalam satu tim yang solid, tidak hanya mengandalkan kekuatan penyerang atau penjaga gawang. Menyikapi efektivitas ACFTA, sebenarnya sangat mungkin ada pengusaha yang siap, tetapi sebaliknya, sangat mungkin juga ada yang tidak siap, bahkan belakangan sepertinya lebih banyak yang tidak siap.

Dalam Laporan Perekonomian Indonesia (2008) disebutkan daya saing kita tidak banyak mengalami perubahan. Posisi indeks produktivitas 2000-2007 menunjukkan komoditas ekspor utama yang memiliki produktivitas di atas rata-rata (di antaranya) produk kimia organik, mesin kantor, serta alat telekomunikasi. Sementara itu, komoditas yang memiliki pangsa ekspor tertinggi, seperti minyak bumi dan olahannya serta produk gas alam, hanya (masalahnya) mempunyai produktivitas yang moderat. Sebaliknya, terdapat beberapa komoditas ekspor nonutama yang memiliki pangsa ekspor rendah, tetapi mempunyai produktivitas dan daya saing yang tinggi, dilihat dari nilai revealed comparative advantage (RCA) yang juga tinggi, seperti produk pulp dan kertas serta barang dari karet. RCA adalah salah satu indikator daya saing yang diukur dengan membandingkan pangsa ekspor negara tertentu terhadap total ekspor dunia. Jika RCA <1 atau mendekati nol menunjukkan daya saing yang lemah sehingga semakin tinggi RCA semakin tinggi daya saing.

Komoditas yang produktivitasnya cukup tinggi, tetapi nilai RCA-nya masih rendah adalah produk bahan obat-obatan dan hasilnya. Dari informasi produktivitas per komoditas dan produktivitas ekspor secara total, diketahui kalau kontribusi setiap komoditas terhadap produktivitas ekspor antara tahun 2000 dan 2007 tidak mengalami banyak perubahan. Sementara itu, komoditas primer dan komoditas berteknologi rendah cenderung menjadi downscale products. Komoditas utama kita yang memiliki produktivitas tinggi dan peluang bersaing yang tinggi di antaranya produk gas alam, kertas karton, batu bara, perabotan, dan logam nonbesi. Namun demikian, terdapat beberapa komoditas utama yang meskipun mempunyai peluang bersaing yang cukup tinggi tetapi produktivitasnya rendah, yaitu bijih logam dan minyak lemak nabati. Sementara itu, untuk komoditas kimia organik dan mesin kantor, meskipun produktivitasnya tinggi tetapi peluang untuk bersaing di pasar internasional masih relatif rendah.

Sekarang tinggal bagaimana kita. Maju terus pantang mundur dengan melihat kondisi produktivitas dan daya saing komoditas ekspor kita morat-marit tidak keruan atau mau seperti apa. Komitmen dan keseriusan pemerintah dan pelaku usaha kita tampaknya harus dikocok ulang. Hasil akhir yang baik bisa dicapai jika masing-masing mau berkoordinasi lebih baik dengan memakai strategi yang terukur terkait peningkatan produktivitas dan daya saing.  Strategi untuk masing-masing komoditas jelas berbeda, untuk itu jangan dibuat perjanjian yang secara sporadis membuat semua komoditas menjadi liberal. ***

Penulis, dosen FE Unpas, anggota LP3E Kadin Jabar, dan pengamat ekonomi ISEI Bandung Koordinator Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 12 Januari 2010