ADA hal spesial yang penulis rasakan saat malam hari berada di Alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan. Pasalnya di antara deretan lesehan yang ada, terdapat warung teplok yang menjual serabi, jajan kesukaan saat penulis masih kecil pada tahun 1970-an.
Saat itu sudah adatnya sehabis shalat isya anak-anak membeli serabi dan makan bersama sambil bercanda dalam suasana temeram lampu teplok, alat penerang penduduk saat itu karena belum ada listrik. Kenangan itu hadir kembali saat penulis makan serabi, di warung teplok alun-alun.
Jajan khas Pekalongan itu terbuat dari tepung beras dicampur adonan santan dan garam dimasak pakai tungku kayu dan menggunakan cetakan khusus tak lebih 10 menit serabi dapat dinikmati. Agar lebih nikmat makanlah serabi saat hangat ditambah santan kelapa atau cairan gula jawa (kinca) pilih sesuai selera.
Hawa sejuk suasana malam kota Kajen yang letaknya tidak jauh dari pegunungan menambah rasanya kian nendang.
Penjual warung itu namanya Raisah, janda usia 60-an tahun, dia sudah berjualan serabi selama 3 tahun. Dikatakan warung teplok karena penerangnya menggunakan teplok, tempat duduknya beralas tikar, atap warung pakai plastik yang mudah dibongkar pasang.
Dia membuka dasaran selepas maghrib dan tutup sekitar pukul 23.00. Tiap malam tak kurang dari 100 tangkep serabi terjual, harga per tangkep waktu itu Rp 1.500.
Kebanyakan pelanggannya adalah orang seusia penulis, yakni sekitar 40-an tahun. Rupanya mereka punya alasan sama yakni ingin menikmati nostalgia masa mudanya lalu.
Mengenang masa lalu penuh kenangan memang mendatangkan romantisme pelakunya tak jarang berbuah kebahagiaan. Banyak orang terhibur apabila bisa mengulang masa lalunya dan dapat memberi energi baru bagi aktivitas ke depan.
Untuk alasan itu banyak acara reuni diadakan, dengan alasan sama dengan acara TV bertajuk tembang lawas kenangan mengundang minat banyak pemirsa, artinya orang perlu saluran untuk mengaktualisasikan kenangan masa lalu termasuk dalam hal menikmati jajan masa lalu.
Selain serabi banyak jajan lawas kenangan yang jarang ada penjualnya. Untuk menyebut contoh rasanya tidak sulit semisal blendung yang terbuat dari jagung pipil rebus diberi kelapa parut dan garam. Gemblong goreng yang terbuat dari ketan direbus dan ditumbuk halus hingga kenyal lalu digoreng.
Adalagi getuk yakni makanan terbuat dari singkong rebus ditumbuk halus mirip gemblong. Pastinya masih banyak orang yang ingin menikmatinya khususnya kalangan tua, tapi lantaran penjualnya tidak ada maka keinginan itu tinggal keinginan.
Peluang itulah yang ditangkap Bu Raisah terbukti setiap malam warungnya tidak sepi pelanggan. Jajan lawas macam serabi memang punya keunikan karena di samping memenuhi kebutuhan rasa juga kebutuhan jiwa sekaligus.
Itulah kelebihan yang tidak ada pada jajan ala kini. Itulah pula kenapa warung teplok Bu Raisah selalu ramai pelanggan. Karena itulah jajan lawas macam serabi, gemblong, getuk dan lainnya layak untuk dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tradisionalisnya.
Dari pemikiran itu timbul suatu pertanyaan kenapa tidak dikembangkan saja Alun-alun Kajen sebagai grosir jajan lawas tempat orang melampiaskan rasa kangennya menikmati jajan tempo dulu.
Di situ dibuat lapak-lapak khusus untuk penjual aneka jajan kuno, ada lesehan gemblong bakar, lesehan getuk goreng, lesehan ketan rawon, lesehan blendung, lesehan nasi jagung, lesehan nasi tumpeng dan seterusnya. Agar memberi kesan klasik bentuk warungnya meniru warung teplok Bu Raisah yakni penerangnya menggunakan lampu teplok hingga memberikan ciri khas.
Lokasinya dipilih tempat strategis yakni di jalan yang melintas muka Masjid Al-Muhtarom dan Gedung Perpustakaan Daerah di bagian barat alun-alun, supaya memudahkan pelanggan yang akan shalat isya atau maghrib. Di belakang masjid ada WC umum dan area parkir cukup luas yang dapat dimanfaatkan pelanggan.
Warung-warung itu didirikan di atas teras jalan sepanjang 200 meter dan lebar 2 meter yang berpaving dan cukup lampu penerang. Selama ini lokasi itu belum dimanfaatkan untuk lesehan. Di sini dapat digunakan untuk 25-50 warung dengan ukuran lapak 2x4 meter.
Saat ini sudah banyak lesehan yang menyediakan berbagai masakan seperti nasi megono, nasi goreng, soto bebek, bakso, sate kelinci, tempe goreng, wedang jahe, wedang ronde, jagung bakar dan lain-lain. Lesehan-lesehan itu menempati tepi kanan-kiri jalan protokol.
Grosir itu nantinya menyediakan peluang usaha baru untuk mengurangi pengangguran di Kabupaten Pekalongan yang angkanya mencapai 22.000 orang. Ayo, siapa yang mau mengikuti langkah Bu Raisah? (10)
— Ir Dulsukur, staf pengajar SMK Muhammadiyah Kajen, Kabupaten Pekalongan
Wacana Suara Merdeka 12 Januari 2010