RADEN Ajeng (RA) Kardinah, adik RA Kartini, tidak kalah gigih usahanya dalam meningkatkan derajat kaum wanita. Sejak kecil dia mengabdikan diri demi kemajuan wanita dan bangsa.
Bersama saudara kandungnya, Kartini dan Roekmini, mereka yang juga dikenal dengan tiga serangkai, berusaha mewujudkan cita-cita; mendobrak adat kuno.
Komunikasi tiga serangkai mengalami jeda,tahun 1902, saat Kardinah menikah dengan RM Reksoharjono. Kardinah mengikuti suaminya ke Pemalang dan Tegal, sedangkan Kartini dan Roekmini menetap di Jepara. Namun Kardinah selalu ingat dan taat akan cita-cita tiga serangkai.
Saat suaminya menjadi patih di Pemalang, di lingkungan Kepatihan, Kardinah pun mengajari anak-anak belajar menulis dan menjahit.
Cara mendidiknya menarik perhatian kaum priayi karena itu banyak di antara mereka menitipkan anak-anaknya. Setelah enam tahun di Pemalang, pada 1908 suami Kardinah diangkat menjadi Bupati Tegal bergelar Reksonegoro X.
Di Tegal, Kardinah semakin bergairah untuk mencerdaskan perempuan pribumi. Dia membangun sekolah kepandaian putri bagi gadis pribumi bernama Wismo Pranowo. Selain mengelola sekolah itu, dia mengajarkan anak didiknya membatik dan memasak.
Karya pengabdiannya yang paling besar adalah Rumah Sakit Umum Kardinah di Jalan Karel Sasuit Tubun Tegal, yang dikenal dengan daerah Kejambon. Sampai sekarang rumah sakit itu makin berkembang. Awalnya bernama Kardinah Ziekenhuis, dan peletakan batu pertamanya pada tahun 1927 dilakukan oleh adik Kardinah, Soematri Sosrohadikoesoemo.
Saat itu Kardinah sakit dan harus dirawat di Semarang. Perancangan dan pelaksanaan pembangunan rumah sakit itu diserahkan kepada temannya yang berkebangsaan Belanda, B Hommes.
Rumah sakit itu ternyata dibangun dari uang hasil penjualan buku dan kompensasi sekolah kepandaian putri Wismo Pranomo, yang diambil alih Pemerintah Belanda. Waktu itu Kardinah berhasil mengumpulkan uang 16.000 gulden (F 16.000), jumlah yang sangat besar pada waktu itu..
Buku karya Kardinah yang dijual pada Pemerintah Belanda adalah buku penuntun memasak dan membatik. Semula Kardinah berharap ada subsidi dari pemerintah. Namun subsidi yang dia tunggu untuk membantu pembiayaan sekolah yang dia bangun, tidak kunjung datang.
Keadaan ini menghidupkan kembali semangat untuk mewujudkan apa yang belum terlaksana dan apa yang berguna untuk bangsa. Sejak kecil Kardinah memang bercita-cita membangun rumah sakit untuk umum.
Cita-cita itu berawal dari seringnya dia melihat ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan.
Apabila sakit, ia berbaring di tempat tidur dengan memakai selimut, dan obatnya dari dokter. Tetapi bila pelayan yang sakit, hanya berbaring di balai-balai, dan obatnya sekehendak sendiri, sedangkan selimutnya hanya kain tipis.
Prinsip egaliter yang diterima sejak kecil membuat Kardinah tidak puas dengan keadaan demikian. Apalagi bila melihat murid-murid perempuannya melahirkan tanpa dukungan tenaga dan fasilitas medis yang memadai. Dia mendengar murid-muridnya yang akan bersalin gembira bila Kardinah mau menungguinya walau sebentar. Kejadian itu mekin menguatkan niatnya membuat rumah sakit.
Semula dia bermaksud mendirikan sebuah rumah sakit kecil untuk bersalin. Kardinah dan adiknya Soematri, yang pada waktu itu bekerja di Tegal, bersama-sama pergi ke Cirebon untuk melihat Rumah Sakit Dokter Toha, sebagai pembanding.
Tetapi apa yang dia lihat di Cirebon tidak sesuai dengan kehendaknya.
Dalam pikiran Kardinah, meskipun kecil, harus sebuah rumah sakit umum. K
ardinah lalu pergi ke Pekalongan menemui Schilling, Residen Pekalongan untuk membicarakan sebuah rencana pembangunan rumah sakit. Residen menyatakan sangat setuju dengan gagasan Kardinah dan menyanggupi akan memberi bantuan, dengan catatan rumah sakit itu harus diberi nama Kardinah.
Tahun 1927, rumah sakit yang diidam-idamkan Kardinah berdiri, rumah sakit baru yang disediakan
untuk masyarakat umum ini diberi nama Kardinah Ziekenhuis. Dari hasil penjualan buku-bukunya itu, Kardinah masih dapat mendirikan sebuah rumah penampungan bagi orang-orang miskin yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Ia pun sangat aktif dalam berbagai lapangan sosial lain yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai istri bupati.
Kardinah telah berhasil membuat karier sendiri yang cukup gemilang dan sampai sekarang masih besar manfaatnya bagi masyarakat Tegal.
Tahun 1969, pemerintah mengakui jasa-jasa besar Kardinah dengan menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia. Penyematan anugerah dilakukan Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Mayjen Moenadi. (10)
— Yono Daryono, budayawan di Tegal
Wacana Suara Merdeka 11 Januari 2010