Oleh dr Ali Mahsun MBiomed
(Chairman House of Indonesia)
AKHIR-akhir ini, kita disuguhkan banyak hal dalam pentas berbangsa dan bernegara. Konflik antarlembaga hukum, vulgarnya kasus korupsi, menguatnya separatisme, hingga masalah mafia peradilan yang mendapat respons langsung dari Presiden SBY. Segalanya seolah-olah terjadi dalam ekspresi 'bebas' seperti tanpa ada entitas yang menyeka. Pertanyaannya, mungkinkah kebebasan semacam ini yang dicari dalam bernegara kita?
Dalam kehidupan, tidak ada yang dicari selain kebebasan yang utuh. Atas nama kebebasanlah, kolonialisme dan penguasa lalim ditumbangkan. Sejarah negeri ini adalah contoh nyata. Bahkan, ajaran para nabi turun ketika terkungkungnya kebebasan dalam kehidupan. Namun, ketika hadir dalam ruang historis, saat itu juga kebebasan terdifusi ke beragam interpretasi dengan berbagai kepentingan subjektif.
Bagi para koruptor, kebebasan dimaknai dengan terbukanya ruang bebas untuk mencuri harta negara. Makelar kasus hukum alias markus menafsirkan kebebasan pada seberapa kasus yang dapat mereka perjualbelikan. Pengusaha sibuk mengelabui pajak negara. Berbeda dengan seorang politikus yang berpikir seberapa bebas memilih kekuasaan dengan cara yang sebebas-bebasnya. Tapi, bagi rakyat kecil, kebebasan adalah ketulusan hati nurani untuk menentukan mana yang adil dan benar serta mana yang bathil (salah). Inilah wajah kebebasan berindonesia kita saat ini.
Menyebutnya sebagai tindakan berindonesia, karena apa pun bentuk perilakunya, kita tidak bisa lepas dari status warga negara di republik ini. Sebuah perilaku yang diekspresikan dengan cara beragam: dari mencuri harta rakyat (baca: korupsi), membunuh, hingga melanggar aturan lalu lintas. Apa pun varian ekspresinya, selain sebagai citizen , kita hadir dalam sistem politik, budaya, identitas, dan ruang yang bernama Indonesia.
Segala perilaku akan menautkan citra tentang ruang itu sendiri. Jika kebebasan itu dipraktikkan berulang-ulang, praktik itu menjadi habitus yang kemudian membeku jadi sistem. Resiprokalitas struktur-agen kemudian terbentuk di mana sistem-sistem tersebut juga dapat mengondisikan tindakan sosial aktor yang terlibat di dalamnya. Sehingga, wajar jika ada yang menyebut Indonesia sebagai negara korup karena tindakan-tindakan kotor yang berulang-ulang itu membentuk sistem dan juga citra tentang Indonesia.
Etika berindonesia
Seorang filsuf etika, Max Scheler, menggugat pemikiran etika deontologi Immanuel Kant (1724-1804) yang memandang moralitas terletak ketika tindakan didasari demi memenuhi kewajiban. Di sini, Kant melihat, melaksanakan 'kewajiban' menjadi standar moralitas. Menurut Scheler, bukan kewajiban, melainkan unsur 'nilai'-lah yang menentukan seseorang untuk bertindak sesuai moralitas (Franz Magnis Suseno, 2006). Artinya, nilai memiliki peran dalam menentukan tindakan dan moralitas.
Pada ranah ini, perlu menengok bagaimana founding fathers merumuskan Pancasila menjadi sistem nilai ( value system ) dalam bernegara yang mengandung nilai-nilai universal. Sejatinya, prinsip tersebut harus selalu inheren pada segala bentuk perilaku kita dalam berindonesia. Tetapi, nilai itu justru luntur akibat traumatik masa lalu di mana Pancasila dihadirkan sebagai meminjam istilah Louis Althusser ideological state apparatus yang dijadikan mesin ideologi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan yang Machiavellistik.
Sebagai sistem nilai, ada tiga aspek yang terkandung dalam nilai tersebut, yakni rasionalitas ( logos ), penghayatan ( pathos ), dan etika ( ethos ). Karena itu, prinsip ini mestinya tidak hanya dimanifestasikan oleh rakyat, tetapi juga lapisan elite dengan menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai dalam menentukan kebijakan ( public policy ). Pada aras ini, Pancasila tidak dilihat dalam kerangka pemikiran Kant, melainkan kerangka pandangan Max Scheler, yakni Pancasila sejatinya menjadi nilai yang mendasari nilai moral tindakan berindonesia dalam segala aspek.
Penguasa, pengusaha, penegak hukum, hingga lapisan terkecil masyarakat harusnya menautkan segala tindakannya dalam spirit nilai Pancasila sehingga kebebasan berindonesia tetap berada pada koridor nilai etis tersebut. Hukum, misalnya, niscaya mendasarkan arah geraknya pada nilai-nilai keadilan sosial yang telah digariskan Pancasila.
Itulah spirit utama pepatah Romawi yang menyatakan quid leges sine moribus , yaitu hukum tidak bermakna ketika tidak didasari oleh nilai atau moralitas. Jika ini dilakukan, hukum akan dapat berfungsi sebagai pemandu untuk mengoreksi ketidakadilan sebagaimana disitir John Rawls. Karena itu, hukum tidak boleh berjalan 'bebas' tanpa etika di atas kalkulasi politik yang mengakibatkan struktur sosial-politik berindonesia kita menjadi rontok dan kabur.
Dengan demikian, kebebasan berindonesia harus berpijak pada manifestasi prinsip-prinsip keadilan yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan hukum di Indonesia. Inilah wajah Indonesia yang kita impikan bersama agar terwujud pada masa mendatang. Segala perilaku berindonesia yang membopengkan wajah bangsa (baca: korupsi/penggelapan pajak, kekerasan, dan sebagainya), kita berharap, kelak akan sirna. Semoga Indonesia baru ini benar-benar terwujud dan menjadi jati diri kita dalam berindonesia.
Opini Republika 11 Januari 2010
11 Januari 2010
Etika Kebebasan Berindonesia
Thank You!