11 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Malapraktik Century

Malapraktik Century

Bung Karno pernah berkata, tidak ada seorang anak manusia pun yang luput dari kesalahan. Gandhi pernah melakukan kesalahan. Mao Ze Dong pernah melakukan kesalahan. Bung Karno pernah melakukan kesalahan. Bahkan, Nabi Muhammad pun tidak luput dari kesalahan.

Jika demikian halnya, apa yang istimewa dari seorang Boediono atau seorang Sri Mulyani Indrawati (SMI)? Sebagai manusia biasa, mereka mustahil luput dari kesalahan. Sebab itu, mengultuskan keduanya sebagai manusia yang tidak mungkin melakukan kesalahan tidak hanya lucu, tetapi absurd dan tidak dapat dibenarkan.


Namun bila dicermati wacana yang coba digulirkan oleh para pembela keduanya, terkait dengan skandal keuangan Bank Century (BC), kecenderungan seperti itulah yang tampak mengemuka. Hebatnya, semua pihak yang mencoba mengkritik Boediono dan SMI cenderung dicurigai melakukan politisasi.

Hal itu tidak hanya berlaku bagi perseorangan, tetapi berlaku pula bagi lembaga tinggi negara seperti DPR dan BPK. Pertanyaannya, kesalahan apakah sesungguhnya yang dilakukan oleh mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono dan mantan Ketua Komite Stabilisasi Sektor keuangan (KSSK) SMI, terkait dengan penggelontoran dana sebesar Rp6,7 triliun ke BC itu?

Secara ringkas, saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menjawab tiga pertanyaan berikut. Pertama, apakah Boediono dan SMI menaruh perhatian yang cukup terhadap latar belakang dan tingkat kegagalan BC? Kedua, apakah keduanya waspada terhadap kemungkinan berlangsungnya persekongkolan jahat terkait dengan kegagalan dan penyelamatan BC?

Dan, ketiga, apakah mereka merumuskan secara terinci hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam penyelamatan BC? Terkait dengan pertanyaan pertama, jawabannya sangat mudah. Sebagai Gubernur BI yang ketika itu baru menjabat selama enam bulan, dan sebagai pejabat yang berasal dari luar BI, Boediono dan SMI dapat dipastikan kurang mengenal BC.

Akibatnya, ketika hendak mengambil keputusan penting seperti penyaluran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, keduanya cenderung sangat bergantung kepada para bawahan mereka. Bukti yang sangat jelas mengenai hal itu tampak pada kurangnya perhatian mereka terhadap tanggal neraca dalam proses pengambilan keputusan.

Ketika menyalurkan FPJP pada 14 November 2008, misalnya, neraca yang digunakan adalah neraca per 30 September 2008, bukan neraca per 31 Oktober 2008. Ketika menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik pada 21 November 2008, neraca yang digunakan adalah neraca per 31 Oktober 2008, bukan neraca per 20 November 2008.

Dengan data yang kedaluwarsa seperti itu, keputusan yang mereka ambil tentu menjadi kurang berkualitas (suboptimal). Hal itulah antara lain yang menyebabkan membengkaknya dana penyelamatan BC dari Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun. Terkait dengan pertanyaan kedua, sebagaimana terungkap dalam transkrip rapat KSSK pada 21 November 2008, alih-alih menampakkan sikap waspada, Boediono dan SMI justru tampak sangat condong (bias) pada upaya penyelamatan BC.

Keraguan beberapa peserta rapat terhadap tolok ukur dampak sistemik yang digunakan BI, misalnya, cenderung tidak dibahas secara mendalam. Demikian halnya mengenai kemungkinan penutupan BC. Dengan demikian, timbul kesan yang sangat kuat, penyelamatan BC sudah diputuskan sebelum rapat diselenggarakan.

Saya kurang tahu, apakah sikap lengah Boediono dan SMI terhadap kemungkinan terjadinya persekongkolan jahat terkait dengan kegagalan dan penyelamatan BC tersebut mengungkapkan sikap profesionalisme mereka, atau sebaliknya, mengungkapkan keterlibatan mereka dalam persekongkolan jahat itu. Yang pasti, alternatif penutupan BC cenderung diabaikan.

Terkait dengan pertanyaan ketiga, penetapan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dalam rapat tertutup Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), yaitu setelah rapat konsultasi KSSK yang menelan waktu sekitar 4 jam. Rapat tertutup KSSK sendiri hanya berlangsung sekitar 1,5 jam dan hanya dihadiri SMI, Boediono, dan Sekretaris KSSK Raden Pardede.

Dalam rapat yang sangat terbatas itu, hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam penyelamatan BC tentu tidak sempat dibahas secara terinci. Karena hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam penyelamatan BC dipercayakan kepada LPS, berbagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penarikan dana secara besar-besaran cenderung terabaikan.

Hal itulah antara lain yang menyebabkan membengkaknya penarikan dana oleh pihak ketiga sehingga mencapai Rp4,2 triliun. Yang tidak masuk akal, pihak terkait ternyata diperkenankan pula menarik dana mereka. Apa yang dapat disimpulkan dari ketiga penjelasan tersebut?

Sama seperti ketika pelaksanaan merger dan akuisisi BC pada 2004, penanganan BC oleh BI dan KSSK sangat kental ditandai oleh terjadinya malapraktik. Dengan demikian, masalah utama skandal keuangan BC tidak hanya berkaitan dengan substansi dan legalitas dari berbagai keputusan yang diambil, tetapi berkaitan pula dengan kualitas keputusan-keputusan tersebut.

Bahwa di balik rangkaian malapraktik itu berlangsung persekongkolan jahat yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, tentu perlu diselidiki lebih jauh. Semoga DPR dan KPK dapat segera mengungkap skandal keuangan yang menelan biaya Rp6,7 triliun ini secara tuntas. Rakyat menunggu dengan harap-harap cemas.

Oleh Revrisond Baswir Tim ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Opini Media Indonesia 12 Januari 2010