BEBERAPA hari lalu saya bertanya kepada Buya Syafi'i -panggilan akrab Prof Dr Ahmad Syafi'i Ma'arif- tentang tantangan besar umat saat ini. Itu mengingat, diskursus pemikiran Islam, setidaknya pasca Cak Nur dan Gus Dur, belum banyak memberikan solusi atas masalah-masalah kemanusiaan.
Terhadap pertanyaan tersebut Buya Syafi'i menjawab, ''Kecuali Fazlur Rahman, para pembaru muslim yang lain belum memberikan jawaban komprehensif terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan yang berkembang tanpa henti. Saya rasa, upaya pembaruan selanjutnya harus mengarah kepada pencarian jawaban itu. Sebuah Islam yang tak mampu memberikan jawaban terhadap masalah-masalah besar akan sulit ditawarkan untuk mengawal peradaban.''
Rasanya, jawaban Buya tersebut sangat relevan di tengah karut-marutnya politik Indonesia. Terlebih jika itu dikaitkan dengan isu-isu seputar etnisitas, agama, maupun ideologi. Isu-isu tersebut merupakan tantangan yang cukup serius.
Betapa tidak? Pasca gerakan reformasi, munculnya berbagai gerakan sempalan agama dengan politik identitas masing-masing -mereka ini anti-Pancasila, antidemokrasi, antipluralisme, dan sampai batas-batas yang jauh juga antinasionalisme- merupakan masalah yang paling banyak menyita perhatian negara dan kalangan akademisi (baca: agamawan).
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok radikal bukan saja dapat mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya. Tetapi, hal itu juga dapat mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Dan, pada gilirannya akan menghancurkan hak-hak heteroginitas (keragaman) dan memorak-porandakan kesatuan bangsa. Agama disalahgunakan dan disalaharahkan, baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian), seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan, segera setelah identitasnya terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman agama atau interpretasi agama merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik agama.
Gerakan-gerakan radikal tentu punya andil yang cukup besar dalam mengampanyekan gerakan ''islamisme'' yang sering mengasumsikan bahwa kedatangan agama Islam mengungguli -jika tidak mau dikatakan menghapus (naskh)- agama-agama sebelumnya dan dianggap sebagai instrumen yang penting bagi self-identification suatu kelompok untuk membedakannya dari kelompok lain. Klaim itu juga berfungsi sebagai alat legitimasi dan integrasi bagi sesamanya dalam kelompok, serta sebagai basis yang efektif untuk melakukan agresi dan perlawanan terhadap kelompok lain.
Karena itu, sesungguhnya musuh utama kita bukanlah Barat atau kelompok-kelompok agama di luar ''Islam'', tetapi kelompok umat Islam sendiri. Itu harus diakui bahwa dalam Islam juga telah terjadi pergulatan yang tak henti-hentinya di antara mereka yang memperjuangkan ''monolitas'' kebenaran Islam dengan mereka yang meyakini ''pluralitas'' Islam sebagai rahmat kehidupan bersama dengan orang-orang lain.
Orang-orang Islam yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pluralisme sesungguhnya mendapatkan lawannya dalam kelompok umat Islam sendiri dan bukan -sekali lagi- dari luarnya. Dan, itulah yang riil terjadi dalam kehidupan politik sehari-hari, sebagaimana semangat yang ditunjukkan Islam ideologis.
Semangat yang dibawa oleh Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap (kaffah) sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Oleh sebab itu, menurut mereka, formalisasi syariah harus dilakukan oleh negara.
Pandangan tersebut jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Itu tentu akan melahirkan ''otoritarianisme moral'' dan dalam batas yang paling ekstrem akan mengancam eksistensi negara. Pemerintahan Islam, yang sering digambarkan ideal itu, justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah) seperti dalam keyakinan kaum islamis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya khalifah.
Itulah sesungguhnya yang menjadi kekhawatiran seorang pemikir Mesir, Farag Fouda, dan pada hakikatnya juga menjadi keprihatinan Cak Nur maupun Gus Dur pada masa hidupnya. Cak Nur dan Gus Dur mengharapkan bahwa umat Islam perlu dibebaskan dari sakralitas semu dan ideologi-ideologi keagamaan yang membelenggu pontensi inteleknya dan menghambat kemajuan peradabannya.
Dua tokoh pembaru Islam tersebut mengharapkan umat mampu ''diliberalkan'' dari absolutisme dan munculnya otoritas keagamaan serta memimpikan umat dapat dimerdekakan dari sikap-sikap kurang dewasa dalam beragama, seperti keberagamaan yang penuh claim of truth, kavling-kavling kebenaran hanya bagi diri dan kelompoknya, otoritas dan institusi keagamaan bak penjaga iman dan akidah, beragama yang serba formalistis-normatif.
Kini tantangan terbesar abad ini, yakni fundamentalisme agama dan isu-isu kemanusiaan universal yang lain seperti hak asasi manusia (HAM), keadilan, gender, dan demokrasi, harus menjadi kesadaran para intelektual maupun agamawan. Spirit pembaruan Cak Nur yang diwarisi oleh, misalnya, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali Fauzi, dan pemikiran-pemikiran genius Gus Dur, yang tampak pada Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, atau Siti Musda Mulia, perlu dilanjutkan dengan tawaran yang lebih menarik tentunya. Dengan begitu, Islam, seperti dikemukakan Buya Syafi'i di atas, mampu memberikan jawaban komprehensif terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan yang berkembang tanpa henti. Sebab, Islam yang tak mampu memberikan jawaban terhadap masalah-masalah besar akan sulit ditawarkan untuk mengawal peradaban. Wallahu A'lam bi-Al-Shawab (*)
*). Moh. Shofan, peneliti di Yayasan Paramadina, Jakarta
Opini Jawa Pos 11 Januari 2010
11 Januari 2010
Tantangan Pasca Cak Nur-Gus Dur
Thank You!