11 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Satjipto, Sastrawan Hukum

Satjipto, Sastrawan Hukum

PREDIKAT ”begawan” belumlah cukup bagi Prof Dr Satjipto Rahardjo SH. Ia adalah juga ”sastrawan hukum”. Si­maklah tulisan-tulisannya yang selama lebih dari 30 tahun — kira-kira 360-an artikel — , berserak di berbagai media massa, atau buku-bukunya. Outline ilmiah tak menghalangi sang ”Ayatullah” untuk dengan cantik bermain kalimat. Ia kuat dalam kemasan. Membaca tulisannya seperti menikmati ceritera tentang eksotika dunia hukum dan dunia manusia yang mudah dicerna.

Saya jadi ingat pesannya semasa menjadi murid be­liau, ”Jangan merasa menjadi ilmiah dengan cara membingungkan orang yang membaca tulisanmu”. Puncak dari sastra hukumnya, menurut saya adalah buku Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (2003), dan Biarkan Hukum Mengalir (2007).


Dari buku itu, dan hampir pada semua tulisannya, kita menemukan ”sosok” hukum bukan dari optik positivis-normatif yang hitam putih, tetapi juga menampilkan pergulatan manusia di sekeli­ling hukum dan hukum di sekeliling manusia.

Ia juga pemerhati tulisan yang cermat, yang tak merasa rendah untuk memberi respons dalam diskusi sekecil apa pun walau hanya lewat telepon kepada para bekas muridnya. Saya menangkap pancaran raut kebahagiaan tiap kali mengomentari tajuk rencana di harian ini yang menjadi ”pengikut” paradigma hukum progresif yang beliau kampanyekan secara istikamah.

Kemasan, katanya, merupakan bagian dari pembelajaran untuk memberi daya tarik, apalagi hukum hakikatnya juga tidak berdiri sendiri sebagai hukum melainkan berada dalam pergulatan berbagai bidang kehidupan manusia.

Teaching order, finding disorder — mengajarkan keteraturan, menemukan ketidakteraturan merupakan ungkapan yang kiranya perlu dikembangkan sebagai sikap progresif oleh para penerusnya. Beliau menyampaikan kalimat tersebut dalam pidato akhir masa jabatannya sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2000.

Ungkapan itu menegaskan pencariannya, betapa hukum tidak mungkin dipandang hanya secara hitam-putih, melainkan ada sisi-sisi lain yang selama ini terabaikan di balik pemikiran normatif-potivistik.

*     *     *

MEMBACA Prof Tjip adalah membuka buku yang sangat terbuka, dengan halaman demi halaman sedemikian dinamis membangun alur. Hukum dipahami bukan hanya dalam persinggungan benar atau salah, hak atau kewajiban, penegak hukum atau penjahat. Keholistikannya tergambar dari kehidupan manusia itu sendiri, bagian dari denyut hidup dan segala dinamikanya.

Kekuatan sang ”Ayatullah” dipilari oleh kemampuan mengemas artikel-artikel ilmiah dengan gaya populer. Ia bisa mendahului ulasannya dengan ilustrasi adegan sebuah film, atau dialog dari novel yang tanpa kita sadari memuat substasi problematika serius penegakan hukum, sehingga yang muncul kemudian bukanlah tulisan yang sarat dengan doktrin, filsafat-filsafat berat, atau teori, melainkan deskripsi persoalan yang kita hadapi sehari-hari, problem manusia dalam kemasan bahasa, Sangat-sangat sastrawi.

Dahulu, sebagai mahasiswa hukum, dari beliau yang begawan hukum saya justru banyak memetik pelajaran tentang masalah-masalah penulisan, tentang artikel yang berkekuatan features dibandingkan dengan paparan ilmiah yang membosankan.

”Sastrawan hukum” ini melengkapi performa karya-karyanya dengan kekuatan citarasa bahasa, yang menjejalkan aneka filsafat dan teori tanpa kita merasa terjejali, menyelipkan pesan-pesan moral tanpa kita merasa diindoktrinasi.

Lalu bagaimana kampanye hukum progresif diterusi oleh para muridnya?
Ini dimulai dengan kegelisahannya tentang pendidikan hukum di Indonesia yang mewarisi kultur ahli hukum mesin dan teknisi. Dalam kuliah-kuliah pengantar Sosiologi Hukum, Prof Tjip mengingatkan tentang kecenderungan rata-rata fakultas hukum di perguruan tinggi lebih menyiapkan ”tukang-tukang”.

Yang ideal, menurutnya, pintu masuk ke pendidikan hukum dibuka dengan pembelajaran dan diskusi mengenai keadilan, ketidakadilan, kebenaran, kejujuran, penderitaan manusia, mengasihi, diskriminasi dalam masyarakat dan seterusnya.

 Baru kemudian menyusul wacana tentang hukum. Yang diharapkan dari rancangan seperti itu agar hukum bisa dijadikan sarana untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Spence mengidolakan agar sebelum menjadi lawyer, seseorang harus menjadi envolved person terlebih dahulu. (Satjipto Rahardjo: 2006)

Penyunting bukunya — Hukum dalam Jagat Keter­tiban —, Mompang L Panggabean mencatat, kegelisahan intelektual Prof Tjip lewat ungkapan ”mengajarkan keter­tiban menemukan ketidakteraturan”, bukanlah hal baru dalam pengembaraan menjelajah ranah ilmu hukum dan teori hukum.

Saat dikukuhkan sebagai Guru Besar So­siologi Hukum, ia telah melontarkan kalimat, ”Sejatine ora ana apa-apa, kang ana kuwi dudu (sejatinya tidak ada apa-apa, yang dianggap ada itu sebetulnya bukan). Ketika ditanyakan oleh Prof Selo Sumardjan (alm) apa artinya, dia menjawab, ”Saya tidak tahu apa artinya”.
Setelah lama berselang, ia mendapatkan jawaban atas ketidaktahuannya itu,

terlebih ketika pemikiran tentang emotional intelligent, spiritual quotient, dan multiple quotient dibicarakan dan mendapat tempat serius dari kalangan ilmuwan.

Kelahiran teori-teori baru yang menggoyahkan teori lama, seperti pandangan tentang atom yang diperkaya dengan ditemukannya elektron, neutron dan proton, pun munculnya Teori Quantum dan teori-teori mutakhir lain yang mengikutinya dan yang bakal lahir, membuat dia berkontemplasi dan mengajak berpikir: ”dari atomistik menjadi holistik”.

Dengan kampanye intelektualnya tentang hukum progresif, Prof Tjip ingin membangun kondisi pembebasan dari status quo. Agar hukum bisa lebih adil kembali. Hukum tidak ingin dilihat semata-mata sebagai urusan peraturan (rule) tetapi lebih daripada itu sebagai perilaku manusia (behavior). (Satjipto Rahardjo: 2007)

Damailah di alam kelanggengan Prof. Yakini, para penerusmu takkan mengendurkan kampanye tentang hukum yang membahagiakan, hukum untuk manusia... (10)

— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka
Wacana Suara Merdeka 11 Januari 2010