11 Januari 2010

» Home » Kompas » Reformasi Polri di Ujung Tanduk

Reformasi Polri di Ujung Tanduk

Seusai memicu polemik cicak versus buaya, nama Susno Duadji kembali disorot publik. Susno, mantan Kabareskrim Polri, yang semula dikritik pedas terkait penahanan dua unsur pimpinan KPK, kini tercitra sebagai orang baik yang ”dikorbankan”. Ia bahkan menerima ancaman pembunuhan lewat telepon selulernya. Apa yang terjadi?
Semua berawal dari kehadiran Susno memberikan kesaksian di PN Jakarta Selatan dalam kasus pembunuhan berencana Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Selain di persidangan, performanya di media dan televisi menuai simpati. Sikapnya dianggap mengandung semangat mengungkap kebenaran.


Kepada majelis hakim, Susno menyatakan kedatangannya sebagai pribadi, lalu menceritakan ihwal penyidikan kasus Antasari, khususnya keberadaan tim pengawas penyidikan saat itu yang langsung di bawah Wakabareskrim Hadiatmoko. Sebagai Kabareskrim, dirinya merasa tak tahu-menahu pembentukan tim, tetapi belakangan diminta bertanggung jawab. Mengenai materi perkara pembunuhan, tak terungkap dari keterangannya, kecuali memperkuat keterangan istri terdakwa lain kasus ini, Wiliardi Wizar, seputar pembatasan haknya selama ditahan.
Tim pembela menilai kesaksian Susno meringankan terdakwa, sementara penuntut umum menilai itu memberatkan. Susno sendiri menjawab tak tahu saat ditanya apakah ia membela terdakwa. ”Saya hanya menyampaikan kebenaran,” katanya. Kita tunggu apa keputusan hakim.
Kurang solid
Ada sekitar 350.000 polisi di pelosok Nusantara ini mendambakan Polri lebih baik dari sebelumnya. Mereka bertanya-tanya apa sesungguhnya yang terjadi?
Kemungkinan pertama, kasus ini hanyalah petunjuk lemahnya pembinaan SDM Polri yang menimbulkan kesan institusi ini kurang solid. Susno seperti menemukan jalan buntu di internal Polri lalu menumpahkannya ke publik. Di sini, pimpinan Polri sebaiknya memikirkan perbaikan pembinaan SDM daripada hanya sekadar menyalahkan.
Kedua, kemungkinan terjadinya rivalitas antara Kabareskrim Susno Duadji dan Wakabareskrim Hadiatmoko yang dinilai Susno tak melaporkan adanya tim pencari motif keterlibatan Antasari. Anehnya, kemudian diberitakan tim ini dibentuk Kabareskrim sesuai Sprint 479/A/V2009. Bahkan, Hadiatmoko pun ”diparkir” dari jabatan Wakabareskrim.
Jika benar, situasi pelik ini semestinya tidak perlu terjadi jika Polri tegas menerapkan aturan-aturan internal yang berlaku dalam pelaksanaan tugas profesionalnya. Dalam kasus cicak-buaya, Polri mengabaikan kuatnya tuntutan publik yang mempertanyakan kredibilitas Susno sebagai Kabareskrim. Pemeriksaan internal Irwasum bahkan menemukan nihilnya pelanggaran kode etik profesi dan disiplin Susno. Namun, pemeriksaan juga diragukan karena cenderung menghindari persoalan yang sesungguhnya.
Kode Etik Profesi dan Peraturan Disiplin Polri merupakan dasar hukum sekaligus acuan pengawasan anggota. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI telah mengadopsi Etika Berperilaku Penegak Hukum sesuai Resolusi Majelis Umum PBB 34/169, 17 Desember 1979. Dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa ”Para petugas penegak hukum harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik yang ada.”
Lebih jauh Pasal 9 menyatakan, ”Aparatur penegak hukum yang mempunyai alasan untuk percaya bahwa suatu pelanggaran terhadap kode etik ini telah terjadi atau akan terjadi wajib melaporkan hal tersebut ke atasan mereka dan, apabila perlu, kepada para petugas lain yang berwenang atau badan-badan yang mendapat kuasa untuk meninjau atau melakukan perbaikan.” Dengan perspektif inilah kasus Susno dipertanyakan. Sebagai perwira tinggi, dirinya tidak bisa dilepaskan dari status dan jabatannya dalam institusi.
Namun, ketentuan ini tak bersifat absolut. Setiap anggota Polri adalah juga warga negara yang kedudukan hukumnya sama dan sederajat yang wajib menghormati hukum dan keadilan. Setiap anggota Polri atau pejabat negara lainnya berhak dan wajib bersaksi jika pengadilan memintanya guna mengungkap kebenaran. Bahkan hukum universal hak asasi manusia melindungi setiap bawahan yang menolak perintah atasan apabila perintah itu dinilai melanggar hukum. Pasal 56 Peraturan Kapolri No 8/2009 bahkan menyatakan, setiap anggota Polri harus bebas dari perlakuan sewenang-wenang atasan dan berhak mendapat perlindungan hukum (immunity) jika menolak perintah pimpinan yang bertentangan dengan hukum.
Dalam teori pemolisian yang demokratis, perilaku dan tindakan yang menjunjung tinggi demokrasi itu mengandaikan demokratisasi internal institusi. Dengan perspektif ini, kesaksian Susno dimafhumi.
Karena itu, masalah ini harus dikelola dengan baik agar dampaknya tak menambah krisis kepercayaan masyarakat, bahkan lebih jauh menimbulkan demoralisasi anggota Polri. Proses dan hasil pemeriksaan internal Polri harus terbuka, jujur, adil, dan tidak memihak.
Akhirnya, mengutip Prof Satjipto Rahardjo, polisi itu adalah etalase bagi perubahan di masyarakat. Berubah-tidaknya masyarakat dapat dilihat dari penampilan polisi-polisinya.
Usman Hamid Koordinator Kontras
Opini KOmpas, 12 Januari 2010