11 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Pembatasan Minimarket Modern

Pembatasan Minimarket Modern

KEBERADAAN minimarket modern dewasa kini makin  menjamur. Tak hanya di kota-kota besar namun sampai di pelosok desa. Bahkan dalam satu kecamatan dapat kita jumpai 2-3 atau lebih minimarket.

Tak terkecuali di kota Semarang. Tengok saja di sepanjang Jalan Kelinci terdapat dua mini market, dan empat buah di sepanjang Jl Gajah Raya, Kecamatan Gayamsari. Hal ini tentu membawa imbas bagi masyarakat sekitar.


Di satu sisi tak dapat dimungkiri keberadaan minimarket  membawa dampak positif, di antaranya menyerap puluhan tenaga kerja, selain tentunya juga bermanfaat untuk pemilik lahan. Karena sesuai perjanjian mereka akan mendapatkan sewa tanah dan bangunan.

Namun, kian menjamurnya minimarket membuat resah pedagang kecil yang telah berdiri lebih dulu. Betapa tidak, pesaing mereka mampu menawarkan harga yang lebih murah, kondisi tempat belanja yang lebih bersih, nyaman, dan sejuk karena dilengkapi air conditioner  (AC). Belum lagi beragam penawaran yang menggiurkan konsumen, ditambah   jam buka yang tanpa batas, alias 24 jam.

Keunggulan lain konsumen bisa memilih sendiri barang yang dibutuhkan sesuai tingkat harga yang bisa diperkirakan tak menghabiskan kocek. Lagian pembayarannya pun bisa secara cash atau tunai dan bisa pula menggunakan kartu kredit, atau juga kartu debit, kartu ATM bank.

Sedang ”kelemahannya” konsumen tak bisa lagi tawar-menawar sebagaimana transaksi  di pasar-pasar tradisional atau juga di toko-toko kelontong. Konsumen juga tak bisa utang,

sebagaimana sering terjadi di toko-toko kelontong di kampung-kampung, tak sedikit konsumen yang utang, dan bahkan terkadang ngemplang.

Karena kemudahan dan kenyamanan yang diperoleh konsumen berbelanja di minimarket, kemudian merebaklah minimarket-minimarket di jalan-jalan strategis di perkampungan dan kompleks perumahan. Bahkan ironisnya berdekatan dengan lokasi pasar tradisional.

Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan, niscaya akan melemahkan keberadaan pasar tradisional dan pedagang kelontong bemodal kecil dan pada akhirnya tak menutup kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat yang pada ujung-ujungnya nanti pedagang bermodal kecil yang gulung tikar..
Itulah konsekuensi pembiaran perdagangan bebas yang masuk ke kampung-kampung.

Pedagang kecil, pedagang menengah, dan pedagang pengguna pasar tradisional yang akhirnya kalah dalam pusaran persaingan dengan pedagang pasar modern seperti supermarket, hypermarket, minimarket, dan toko swalayan.

Akibatnya banyak toko kelontong ataupun pasar tradisional yang tak lagi menjual susu, kosmetik, dan sejenisnya karena kalah bersaing dengan keberadaan pasar modern yang makin pesat perkembangannya.

Seperti kita ketahui, barang-barang tersebut telah mendominasi rak-rak pasar modern dengan harga spesial. Kondisi tersebut sangat memukul pedagang kecil karena konsumen mereka beralih.

Sejatinya telah ada peraturan yang mengatur masalah ini, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang telah ditandatangani Presiden SBY pada 27 Desember 2007.

Selain itu dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan  Nomor 53/M-Dag/Per/12/2008 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 12 Desember 2008 mengenai Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisioanal, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2007

Tujuan peraturan tersebut menciptakan hubungan harmonis antara pengusaha kecil, menengah dan pengusaha besar. Selain itu guna memberdayakan pasar tradisional agar berkembang bersama pasar modern.

Selain itu terlihat pula upaya Komisi B DPRD Jateng untuk turun tangan dalam mengatasi permasalahan ini, dengan mengusulkan adanya peraturan daerah (perda) sehingga hal ini mampu menjadi angin segar bagi pedagang kecil. Meskipun upaya tersebut masih dalam wacana, setidaknya terlihat ada rasa kepedulian pada nasib pedagang kecil dan pasar tradisional.

”Pembatasan pasar modern ataupun minimarket ditempuh dengan cara melarang pengembangan minimarket sampai pedesaan, melainkan cukup sampai di pusat kecamatan,” kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Jateng, Muhammad Haris (Suara Merdeka, 10/12/09). Upaya tersebut harus kita dukung. Demi menciptakan keadilan bagi pedagang kecil dan pedagang pengguna pasar tradisional.

Jadi, tak perlu menunggu terlalu lama untuk melakukan upaya pembatasan minimarket modern, sehingga diharapkan dapat menyelamatkan keberadaan pasar tradisional dan pedagang bermodal kecil. (10)

— Tafrida Tsurayya, penulis, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 12 Januari 2010