11 Januari 2010

» Home » Okezone » Suara 'Setan', Suara DPR

Suara 'Setan', Suara DPR

Ruhut Sitompul tak perlu menguncir rambutnya atau mewarnainya ala blonde untuk menarik perhatian. Cukup dengan kata “bangsat” yang menjadi terdengar sangat kasar karena diucapkan dalam sidang Pansus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam kapasitas sebagai anggota Dewan yang terhormat.

Tentu lain jika kata itu diucapkan ketika sedang main sinetron, misalnya, atau ketika berkelakar sehingga Gayus Lumbuun, pimpinan sidang yang baju batiknya masih dikenakan dalam acara televisi yang lain, menyebutnya sebagai ”suara setan”. Sungguh memalukan ––bagi yang masih mempunyai urat malu–– dan menyedihkan––bagi yang masih bisa prihatin.

Memalukan karena anggota Dewan yang modalnya hanya berbicara menodai dirinya dan lembaganya juga dengan kata-kata. Menyedihkan karena kata-kata itu bersambut hanya karena mempersoalkan siapa yang berbicara berapa lama, bukan pokok yang dibicarakan. Masih banyak kepedihan atau keprihatinan lain.

Live

Barangkali saja ini semua tak akan terjadi andai tidak ada siaran televisi (tv) secara live, secara langsung. Dalam siaran secara live, editor tak sempat mengedit ucapan. Upaya yang bisa dilakukan hanyalah mengalihkan gambar dan atau justru fokus ke pembicara. Dengan close up, tatap lekat, dramatisasi lebih terasakan karena reaksi atau aksi menemukan penekanan.“

Demam tampil di "tv” memang mudah terjadi dan memberi kepuasan kepada pembicara— sambil melirik ke layar monitor apakah dirinya sedang disorot kamera atau tidak. Hukum tv memang begitu, yang bergerak selalu menarik dibandingkan dengan yang diam. Terbukti bahwa visual mobil bergerak lebih mudah diingat warnanya atau bahkan mereknya dibandingkan mobil itu bergerak di mana, jalan mana? Yang berteriak selalu menyita perhatian dibandingkan yang termenung.

Itu terbukti dari hasil peringkat dan bahwa kemudian dalam sinetron lebih banyak adegan berteriak, membentak, atau menangis pun harus meraung sehingga akting diam di-emohi. Ini adalah dunia sinetron, dunia tv yang sudah memenuhi kehidupan Gedung DPR. Lokasi tempat yang berbeda ternyata tak mengubah perilaku pelakunya.

Hanya bedanya pemain di sini bisa nyerocos terus karena tak ada sutradara yang meneriakkan cut dan semua pemain atau kru mematuhi. Kalau pemain merangkap sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, kontrol agar tidak kebablasan tak ada lagi. Terjadilah adegan dan dialog yang membuat pendengarnya tak percaya, kok ada kekurangajaran yang disampaikan dengan ketawa-ketiwi? Dalam dunia sinetron–– atau film atau teater–– dikenal adanya istilah stealing the act atau mencuri perhatian.

Gunanya untuk mengalihkan, menggeser, melarikan (perhatian khalayak) dari adegan utama. Apakah ini memang diskenariokan begitu, entahlah. Kalau memang begitu, artinya soal utama yang adalah Pansus Bank Century berhasil dicuri perhatiannya untuk dialihkan ke masalah bangsat dan setan.

Partai

Yang memprihatinkan sebenarnya adalah ketika kasus ini terjadi, hal tersebut bukan menjadi urusan pribadi, melainkan urusan kelompok, urusan komunitas, dalam hal ini menjadi urusan partai. Suara pribadi seakan menjadi cerminan suara partai. Dengan mudah terlihat bahwa suara para tokoh Partai Demokrat lebih memihak dan membela Ruhut.

Hal yang sama suara para tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memihak ke Gayus dan berlanjut ke protes yang didukung ramai-ramai. Sampai di sini para tokoh partai yang biasa dikenal cerdas, kritis berubah menjadi suara partai. Dengan segala pembenaran dan pembelaan, at all cost, dengan segala risiko. Saya teringat kasus Akbar Tanjung yang dipersoalkan apakah menerima “cek haram” atau tidak? Tidak karena cek itu terletak di meja dan tak sempat disentuh, sudah diambil orang lain.

Entah disentuh atau dilirik––barang kali dilihat nominalnya––, yang terjadi adalah semua petinggi Golkar saat itu membenarkan tak ada sentuhan atau penerimaan. Suara para petinggi partai bagai kor atau memang benar-benar kor yang sama nadanya. Dengan kata lain, urusan perseorangan beralih menjadi urusan partai. Para anggota yang kritis, yang selama ini mempergunakan akal sehat, tunduk untuk satu suara. Demi partai. Kalau ini yang terjadi, mekanisme yang sama juga akan mengakhiri bagaimana perseteruan antarpartai sekarang ini diselesaikan.

Ada adu pintar, ada pasal-pasal, ada argumen-argumen yang serempak, terdengar keras dan ngotot, dan selesai ketika terjadi kompromi antarpimpinan partai. Selesai begitu saja dan atau dianggap sudah selesai. Itu berarti tak ada lagi yang mempersoalkan. Pemunculan kata “bangsat” atau “setan” tidak relevan lagi apakah itu pantas diucapkan atau tidak.

Karena tidak ada kepastian–– walau untuk etika––, kemungkinan hal demikian terulang bisa saja terjadi. Bisa dalam bentuk pelecehan diri yang sama atau berbeda. Kemudian, melalui mekanisme yang sama pula penyelesaiannya. Yang berarti, tak ada yang bisa diambil sebagai pelajaran untuk tak terulang. Jangan heran kalau masyarakat makin terheran-heran dan kehilangan kepercayaan kepada wakil-wakilnya.

Setan

Kadang saya tergoda untuk mengurangi makna kata makian bangsat agar tidak hanya dipahami sebagai kata kasar dan tak patut. Namun, dari kamus, padanan kata itu bukan hanya kepinding, melainkan segala jenis nama binatang yang dipakai untuk umpatan atau profesi yang sedang dimaki. Sementara kata setan yang dalam bahasa Aram berasal dari kata satana berarti lawan. Lawan bicara.

Tidak selalu sama dengan iblis atau demon. Namun ini semua tidak mengurangi realitas bahwa telah terjadi “debat DPR” yang lebih ngawur daripada “debat kusir”, yang melukai keberadaban kita, yang mengerosi rasa hormat dan kepercayaan kepada wakil yang telah kita pilih langsung dan kita percayai. Sebab, kalau itu yang terjadi, terbayang sudah apa pun yang tengah dilakukan Pansus kali ini tidak membuat kita lebih memercayai mereka lagi.

Adegan yang terjadi, proses yang berlangsung selama ini hanya merupakan pengalihan perhatian dari target membongkar kasus Bank Century. Pansus diadakan untuk reaksi menampung aspirasi dan bukan memburu hasil akhir yang sebenarnya. Pada saat itu, sesungguhnyalah krisis itu menemukan titik-titik kulminasinya.Krisis untuk tak lagi percaya pada “suara setan”, pada makian sebagai ekspresi dalam sidang resmi, atau iseng bertanya: eh, dulu di keluarga dididik bagaimana seeeeh?(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan 

Opini Okezone 11 Januari 2010