11 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Sekali Lagi tentang CAFTA

Sekali Lagi tentang CAFTA

ADA hal yang berbeda saat anak saya terkecil merayakan ulang tahun yang kedelapan pada awal tahun 2010. Dia meminta hadiah berupa mainan anak-anak yang asli, lebih mahal, dan bukan buatan China. Saya biasa membelikan mainan anak-anak yang menarik dan murah untuk ulang tahun dan kebetulan yang memenuhi kategori tersebut adalah buatan China.

Permintaan itu saya sanggupi. Saya membawanya ke gerai mainan anak di salah satu supermarket di Kota Semarang. Anak saya senang sekali. Dengan tekun ia memilih-milih beberapa mainan yang diinspirasikan dari film kartun. Satu per satu mainan dilihat, diangkat, dan akhirnya ia selalu geleng-geleng kepala setiap melihat labelnya buatan China, meskipun harganya 10 kali lipat dari harga barang yang biasanya dibeli di toko langganan. Setelah cukup lama memilih dan berdebat dengan saya, akhirnya anak saya memutuskan membeli juga meskipun buatan China, karena lelah memilih-milih dan tidak ada hasilnya.


Kesan mendalam tentang produk China saya alami saat berkunjung Prancis lima tahun lalu. Untuk oleh-oleh teman yang hobi mengoleksi topi, saya mencoba mencari topi unik. Namun, setiap topi yang saya pilih, selalu tertera label buatan China. Bukan tidak suka dengan buatan China, tetapi ingin mencari buatan negeri yang dikunjungi. Akhirnya saya temukan topi yang tidak berlabel buatan China, yang saya yakini buatan produsen domestik. Namun, saat topi mau diserahkan, ternyata pada bagian dalam ada label kecil yang begitu terlihat, di sana tertulis Made in China.

Ilustasi ini menggambarkan hebatnya produk-produk China merambah pasar dunia. Di Indonesia sulit menemukan mainan anak yang tidak berasal dari negeri tirai bambu itu. Beberapa waktu lalu kita pernah dikejutkan dengan batik dan mebel, dua produk andalan Jawa Tengah, berasal dari China dengan harga sangat terjangkau.

Kini, di awal tahun 2010, kita tidak hanya terkejut dengan kekuatan produk China yang begitu gencar, tapi juga agak panik karena harus bersaing dengan produk China yang bebas tarif sejak China -ASEAN Free Trade Area (CAFTA) diberlakukan per 2010. Barang buatan China akan lebih banyak lagi, lebih murah harganya, dan lebih terjangkau masyarakat. Jika sebelum CAFTA, produk China sudah begitu kuat pasarnya, tentu akan lebih kuat di era CAFTA. Kalau disensus, saya yakin pengusaha yang kontra akan lebih banyak dibandingkan dengan yang pro terhadap berlakunya CAFTA.
Disiapkan sejak 10 Tahun CAFTA berawal dari pertemuan kepala-kepala pemerintahan negara-negara ASEAN dan China pada 6 November 2001 di Bandar Seri Begawan-Brunei Darussalam. Setahun kemudian, 5 November 2002, mereka bertemu lagi di Phnom Penh-Kamboja untuk menandatangani perjanjian persetujuan membangun China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) dalam 10 tahun, dimulai tahun 2010.

Komitmen ini tidak terlepas dari perkembangan perdagangan antara ASEAN dan China yang makin meningkat dan merupakan inisiatif ekonomi yang penting bagi kedua belah pihak untuk mewujudkan diri sebagai kekuatan ekonomi dunia yang sangat diperhitungkan pada abad ke-21.  Bagi ASEAN, CAFTA adalah sarana memanfaatkan permintaan barang dan jasa dari pasar China yang terus meningkat dengan pesat dalam 20 tahun terakhir.

Waktu 10 tahun ternyata berjalan begitu cepat, sehingga membuat kita semua menjadi kaget saat memasuki tahun 2010. Sebuah pertanyaan memang tentang apa yang telah kita lakukan dan kita siapkan dalam 10 tahun tersebut, sehingga kita menjadi panik dan hilang akal terutama saat mengetahui bagaimana kuatnya China saat ini dalam perekonomian dunia dibandingkan dengan tahun 2002 ketika CAFTA ditandatangani.  Fenomena perkembangan ekonomi China yang begitu mencengangkan memang menjadi hantu yang menakutkan tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi banyak negara lain di dunia, termasuk negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa. Jadi, tidak keliru 100% apabila kita panik, apalagi bila selama 10 tahun masa penantian kita tidak berbuat apa pun untuk menyambut pemberlakuan CAFTA.
Defisit Menurut data IMF, ekspor ASEAN ke China tahun 2006 mencapai 89,5 miliar dollar AS dan impor 71,3 miliar dollar AS. ASEAN adalah mitra dagang ketiga terbesar dari RRC. Sekitar 8,5% dari ekspor ASEAN ditujukan ke pasar RRC dan impor ASEAN dari China mencapai 11,6% dari total impor.

Sementara ekspor China ke ASEAN sebesar 7,6% dan impor 11,3% dari totalnya. Tidak hanya nilainya yang besar, juga peningkatan ekspor-impor keduanya yang tumbuh begitu cepat.

Pada tahun 2003, ekspor Indonesia ke China sebesar 3,85 miliar dollar AS atau 7,93% dari total ekspornya, sedangkan impor dari China sebesar 2,53 miliar dollar AS atau 5,65% dari total. Tahun 2007, ekspor Indonesia ke China melonjak menjadi 8,5 miliar dollar AS atau naik 30% per tahun. Kontribusi ekspornya juga meningkat menjadi 9,19%, September 2009 kontribusinya menjadi 10,88% dari totalnya.

Sementara impor dari China tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan impornya, selama periode 2003-2007 akumulasi impor meningkat 342,39% atau 68,48% per tahun. Kontribusi impor berubah menjadi 15,68% dari totalnya, pada September 2009 kontribusi menjadi 18,46%.

Pada posisi September 2009, struktur transaksi ekspor impor Indonesia dengan China telah melebihi transaksi Indonesia dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang secara individual. Persentase pasar ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat  dalam periode 2003-2007 justru menurun, meskipun nominalnya meningkat.

Sejak 2007 perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit yang terus meningkat, nilai impor selalu lebih besar dari ekspor. Indikasi ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir China lebih siap memanfaatkan skema kebijakan penurunan tarif bertahap sampai diberlakukannya CAFTA 2010, sehingga produknya makin diminati konsumen Indonesia dan barang yang diekspor ke Indonesia juga tidak berbeda dengan barang yang diekspor Indonesia.

Tongzon (2005) menemukan bahwa struktur ekspor China ke negara-negara ketiga sama dengan struktur ekspor ASEAN dari banyak aspek. Ia juga menemukan bahwa produk-produk industri yang utama yang diekspor oleh RRC, 84% dari total ekspornya, juga merupakan ekspor utama negara-negara ASEAN. Layaknya di negara-negara ASEAN, RRC juga menikmati biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Dengan kondisi hampir mirip, CAFTA secara langsung akan mengintensifkan kompetisi yang dapat menekan ekspor ASEAN ke negara-negara lain di luar China, terutama AS dan Jepang serta pasar domestic ASEAN sendiri.
Prospek CAFTA Dalam konteks CAFTA, integrasi ekonomi secara realistis berarti pula ekspansi perdagangan antara ASEAN dan RRC. Tujuan utama dari integrasi ekonomi tersebut adalah untuk menghilangkan semua hambatan baik hambatan tarif dan non-tarif yang dapat menghalangi pergerakan barang dan jasa di antara negara-negara yang terlibat, sehingga barang dan jasa, tenaga kerja, dan modal dapat bergerak lebih bebas dari dan ke RRC dengan 10 negara ASEAN.

CAFTA adalah pasar yang sangat luas, pasar bagi 1,88 miliar penduduk dan kombinasi dari gross national income 11 negara yang nilainya pada tahun 2007 mencapai 4,27 triliun dollar AS. Kurang pas kalau CAFTA hanya dilihat implikasinya bagi pasar domestik. Seharusnya kita memperhitungkan peluang pasar China yang begitu besar dan perkembangan tingkat pendapatan per kapita China yang terus meningkat, sehingga akan mendorong permintaan barang dan jasa ke tingkat lebih besar lagi.

Park (2008), salah satu peneliti dari Bank Pembangunan Asia, melakukan simulasi dengan Computable General Equilibrium (CGE), model untuk mengetahui dampak CAFTA terhadap ekspor impor ASEAN dan China. Secara umum hubungan dagang ASEAN-China akan meningkat lebih dari 50% dan hubungan intra ASEAN akan meningkat 32,5%. Total ekspor produk pertanian, makanan olahan, dan industri manufaktur yang padat modal, serta industri ekstraktif dari Indonesia akan mengalami lonjakan ekspor yang cukup besar.

Yang perlu mendapat perhatian Indonesia, menurut Park, adalah sektor industri berat. Ekspor hasil sektor industri berat Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan cukup besar, karena produk China relatif lebih berdaya saing dibandingkan dengan produk sejenis dari Indonesia. Park mengingatkan Indonesia untuk memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan sektor industri berat agar pasar Indonesia tidak didominasi oleh produk industri berat China.
Inteligensi Pasar Berdagang dengan China sebenarnya menguntungkan buat produsen Indonesia, selain pasar yang sangat besar, adalah jarak tempuh relatif lebih pendek dibandingkan dengan ekspor ke Jepang, Korea, bahkan ke Eropa, sehingga biaya distribusi bisa lebih ditekan dan harga lebih kompetitif.

Pemerintah harus mengupayakan agar infrastruktur transportasi ke China semakin diperluas. Demikian pula dengan informasi tentang produk yang dibutuhkan oleh konsumen China. Pemerintah hendaknya membuka beberapa kantor konsulat di kota-kota besar China, termasuk membangun lembaga intelegensi pasar untuk memantau dan mencermati kebutuhan serta keinginan konsumen China.

Keberhasilan Jepang menguasai pasar Indonesia, demikian pula dengan China, karena pendataan mereka tentang perilaku konsumen Indonesia sangat lengkap. Hal ini yang sering kita abaikan. Umumnya makin luas pasar yang akan digarap, kreativitas berdagang pun biasanya akan meningkat. Intelegensi pasar yang baik akan mengarahkan kreativitas tersebut pada posisi yang lebih tepat, sehingga setiap peluang yang ada dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Era global tidak bisa kita hentikan, saat ini atau pun besok, pada akhirnya kita harus masuk di dalamnya dan menempatkan diri sebagai pemain yang piawai. Khawatir yang berlebihan tidak sehat untuk terus dipelihara. Bagaimana membuat kelemahan kita menjadi kekuatan, itulah kunci kesuksesan dalam era CAFTA. Komitmen telah dilayangkan, siap tidak siap pada akhirnya kita memang harus menghadapi. Marilah kita melihat semua itu dalam konteks yang lebih proporsional atau positif agar kita lebih tegak menghadapinya.

Saya yakin, dengan melihat karakter bangsa Indonesia, tekanan kompetisi produk-produk China yang meluber ke segala penjuru akan mendorong para produsen barang dan jasa bergerak lebih kuat, berpikir lebih cerdas, dan bereaksi lebih taktis memanfaatkan kesempatan-kesempatan ekonomi dari berbagai belahan bumi ini. Saya juga meyakini CAFTA akan melahirkan generasi bangsa Indonesia yang baru dan generasi dengan budaya kompetisi yang lebih kuat. CAFTA akan melahirkan kultur bangsa yang berdaya saing, yang lebih efisien, dan inovatif. Selamat datang CAFTA. (37)

- Ihwan Sudrajat, kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 12 Januari 2010