Orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanannya
SETELAH 17 tahun bertahan, UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan akhirnya diganti dengan UU Nomor 36 tahun 2009. Banyak hal baru dalam UU baru itu, berbeda dari sebelumnya.
Banyak pula pasal yang ditujukan untuk menyikapi isu-isu populer yang di era sekarang sering menjadi perbincangan publik. Seperti ketentuan mengenai perlindungan pasien yang terdapat dalam Pasal 56, 57, dan 58.
Pasal 58 Ayat (1) misalnya, menyebutkan setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Ada pula pasal yang menegaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dalam keadaan darurat wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu, serta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka (Pasal 32 Ayat (1) dan (2)).
Persoalan jual beli organ dan jaringan tubuh juga diatur. Dinyatakan dengan jelas, organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun (Pasal 64 Ayat (3)). Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan (Pasal 64 Ayat (2).
Aborsi juga dilarang dalam undang-undang ini (Pasal 75 Ayat (1). Kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban. Meski demikian, pembolehan aborsi itupun melalui syarat yang ketat. Misalnya hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan.
UU Nomor 36 Tahun 2009 telah pula mengakomodasi isu-isu terkini, seperti masalah penggunaan sel punca dan jaminan keamanan makanan/minuman hasil teknologi rekayasa genetika dengan memberikan rambu-rambu yang cukup jelas.
Terlepas kontroversi yang sempat menghangat terkait hilangnya ayat tembakau dalam Pasal 113 beberapa waktu lalu, UU baru itu menjanjikan banyak harapan baru. Khususnya harapan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, terutama dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010.
Di balik harapan-harapan tersebut, sesungguhnya terdapat pula tantangan-tantangan yang menyertainya. Dengan kata lain, sejumlah tantangan siap menghadang implementasi undang-undang ini, baik yang harus dihadapi pemerintah maupun masyarakat.
Bagi pemerintah ataupun pemda, UU ini mempunyai banyak tuntutan dan konsekuensi. Pasal 14 sampai dengan 20 secara mendetail mengatur tanggung jawab Pemerintah.
Contohnya, Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Pasal 14 Ayat (1)). Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Pasal 15).
Di pasal-pasal lain, tuntutan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah/ pemda juga banyak dimunculkan. Di antaranya bisa dicermati dalam Pasal 36, 50, 54, 61, 62, 73, 77, 82, 94, 95, 98, dan 112, dan masih panjang lagi deretan pasal yang pada intinya menuntut eksistensi peran pemerintah/ pemda dalam pembangunan kesehatan.
Termasuk kesiapan dalam hal pembiayaan kesehatan. Apalagi pada Pasal 171 eksplisit dinyatakan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal 5% dari APBN di luar gaji. Sedangkan anggaran kesehatan pemprov dan kabupaten/ kota dialokasikan minimal 10% dari APBD di luar gaji. Sekurang-kurangnya dua per tiga dari anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik.
Pemerintah dituntut pula kesiapannya untuk segera menjabarkan undang-undang ini ke dalam produk peraturan pelaksana di bawahnya. Sebagaimana diamanatkan UU baru tersebut, beberapa ketentuan masih memerlukan regulasi lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah (PP).
Tercatat tak kurang dari 25 persoalan yang perlu dijabarkan dalam PP. Misalnya ketentuan mengenai kesehatan sekolah, pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif, pelayanan kesehatan ibu, upaya kesehatan jiwa, sistem informasi kesehatan, tata cara alokasi pembiayaan kesehatan, standar pelayanan minimal kesehatan, dan lain-lain.
Di samping memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam PP, UU baru itu juga menuntut pengaturan beberapa persoalannya dalam peraturan menteri. Seperti pengaturan mengenai penyakit menular, perbekalan kesehatan, hingga uji coba teknologi/produk teknologi terhadap manusia.
Sementara ketentuan mengenai pengelolaan kesehatan serta keanggotaan, susunan organisasi, dan pembiayaan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional/ Daerah diamanatkan diatur dalam PP.
Break Down Pemenuhan terhadap amanat UU baru tersebut untuk mem-break down beberapa persoalan dalam produk peraturan perundang-undangan lain memerlukan waktu yang tidak singkat. Perlu koordinasi ataupun sinkronisasi yang intens guna mewujudkan aturan yang lengkap dan aplikatif sebelum deadline satu tahun sejak tanggal pengundangan UU itu, sebagaimana tercantum di ketentuan peralihannya.
Keterbatasan-keterbatasan sumber daya bidang kesehatan yang dimiliki pemerintah/pemda merupakan potensi persoalan ketika pemerintah/pemda dihadapkan pada tantangan-tantangan dalam undang-undang Kesehatan tersebut.
Bukan hanya pemerintah, pihak di luar (swasta dan masyarakat) juga dituntut untuk bersiap menghadapi konsekuensi-konsekuensi atas pemberlakuan perangkat hukum tersebut.
Misalnya kesiapan masyarakat dalam mengahadapi ketentuan kawasan tanpa rokok (contoh pada fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, angkutan umum, dan tempat kerja). Karena, setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok dipidana denda paling banyak Rp 50 juta (Pasal 199 Ayat (2).
Ancaman sanksi juga berlaku bagi mereka yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif. Pasal 200 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif dipidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
UU Nomor 36 Tahun 2009 secara langsung maupun tidak langsung membawa implikasi pula bagi dunia usaha (pengusaha). Sebagai contoh Pasal 111, makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan (Ayat 1). Selanjutnya, makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ayat 2).
Demikian halnya Pasal 166, berkenaan upaya kesehatan kerja, majikan, atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
Artinya, pengusaha dituntut untuk memperhatikan kesehatan produk yang dihasilkan serta kesehatan dari pekerja, dengan segala konsekuensinya. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup atau pokok kajian dari UU baru tersebut telah cukup komprehensif. Dengan 205 pasal di dalamnya, undang-undang ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap upaya mewujudkan Indonesia Sehat di masa depan. (10)
— Dwi Astuti Dian Andarwati, dokter di Puskesmas Teras, Boyolali
Wacana Suara Merdeka 12 Januari 2010