06 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Selamat Datang ''PKB Baru''

Selamat Datang ''PKB Baru''

TANGGAL 5 September 2006, saya pernah menulis artikel di Suara Merdeka dengan judul ‘’Selamat Datang PKB Baru’’. Suasana kebatinan yang melingkupinya nyaris tidak berbeda seperti sekarang, yakni perebutan legalitas kepemilikan PKB antara Gus Dur-Cak Imin di satu sisi, dengan Mbah Dur-Cak Anam di sisi lain. Putusan kasasi MA menceraikan keduanya.

Mbah Dur-Cak Anam berketetapan hati membentuk partai baru, yakni Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Hingga hari ini, partai itu masih hidup dan baru saja melaksanakan muktamar di tengah laut (Madura). Pendirian PKNU adalah solusi bagi konflik di tubuh PKB, sekalipun kelahirannya tidak diharapkan oleh nahdliyin. Saya mengabadikan dan menyambut kelahiran bayi politik nahdliyin yang kedua dengan optimisme dalam artikel berjudul Partai Kebangkitan NU (SM, 22/11/06) .

Kini, di pengujung tahun 2010, tanda-tanda akan lahir partai baru pecahan dari PKB lama makin menguat. Secara legalitas formal (hukum), PKB Cak Imin yang diakui oleh pemerintah. Menurut realitas politik, PKB Gus Dur (selanjutnya disebut PKB Yenny Wahid) masih diakui oleh nahdliyin. Sekalipun tak memegang legalitas, atas nama pelaksanaan wasiat Gus Dur untuk menyelamatkan partai milik nahdliyin, PKB Yenny melaksanakan muktamar III di Surabaya (SM, 27/12/10).

Alih-alih menjadi forum islah bagi dua kubu yang berseteru, muktamar itu malah memperkeras situasi konflik. Keputusan muktamar menunjuk Yenny sebagai  ketua dewan tanfidz PKB Gus Dur. Bahkan muktamirin memberikan mandat untuk membentuk partai baru, jika islah dengan Cak Imin pupus. Keputusan muktamar ini menyiratkan akan adanya partai baru, pecahan dari PKB Cak Imin.

Rumah Baru

Jika ini yang terjadi, maka kini PKB Yenny yang harus keluar dari PKB lama. Bahkan, nama untuk bayi partai itu sudah mulai disebut, antara lain misalnya PKB Perjuangan, PKB Gur Dur, PKB Garda Bangsa dan seterusnya. Layaknya praktik hukum alam semata, setelah dulu menggusur, kini saatnya kubu PKB Yenny mendapat giliran  dilengserkan.
Secara psikologis, jauh lebih baik memiliki rumah sendiri daripada terus bertengkar di dalam PKB. Yang masih sepaham, PKB Cak Imin dapat menjadi tempat teduh untuk menggapai cita-cita. Yang tidak cocok dan kokoh mempertahankan prinsip, sebaiknya legawa menerima kekalahan politik itu. Solusi membangun rumah politik baru tampak sangat realistik dan bermartabat daripada harus mempertahankan konflik tanpa ujung.

PKB Baru (apapun namanya), jika betul-betul menjadi kenyataan, merupakan jalan keluar dari kebuntuan penyelesaian konflik di PKB. Kehadirannya boleh disebut sebagai ijtihad politik sebagian politikus NU karena rumah besar yang difasilitasi PBNU ternyata sumuk dan sumpek. Dengan kata lain, PKB Baru lahir karena visi politik sebagian kiai NU tak lagi terwadahi dalam PKB. Sejarah telah memaksa wadah politik anyar harus segera lahir untuk ikut meramaikan jagad politik NU di kancah perpolitikan nasional.

PKB Baru adalah PKB Gus Dur yang mewadahi dan melanjutkan cita-cita Gus Dur. Apakah diterima atau ditolak oleh masyarakat atau khususnya nahdliyin, masih harus menunggu Pemilu 2014. Gus Dur sendiri sudah tidak ada. Yenny sebagai penerus politik Gus Dur, bukanlah Gus Dur. Secara manusiawi ia memiliki kelemahan-kelemahan dan tidak bisa disetarakan dengan ayahnya.

Bahwa Gus Dur masih banyak yang mencintai, jawabannya iya. Apakah masih banyak pengikutnya? Jawabannya sangat relatif. Karena mencintai belum tentu selalu mengikuti langkah-langkah politiknya. Cak Imin dan kawan-kawannya adalah contoh orang yang sangat mencintai Gus Dur, tetapi mereka memilih jalan sendiri. Kiai-kiai sepuh yang dulu berjuang bersama dengan Gus Dur, sudah banyak yang meninggalkan PKB. Sebagian kiai ada yang mendirikan partai sendiri, atau kembali ke rumah politik lama, selebihnya naik gunung lagi untuk membesarkan pesantren. Inilah sebagian tantangan berat Yenny untuk mengembalikan kehormatan politik Gus Dur di rumah sendiri. (10)

  — Doktor Abu Rokhmad MA, dosen IAIN Walisongo Semarang 

Opini Suara Merdeka 6 Januari 2010