06 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Ketika Uang (Gayus) Jadi Panglima

Ketika Uang (Gayus) Jadi Panglima

Rrrrruaaaarr biasa! Dua kata itu amat tepat untuk menggambarkan sepak terjang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan dalam mengelabui hampir semua lini aparat penegak hukum dari kejaksaan, kepolisian, hingga kehakiman, bahkan aparat imigrasi.
Gayus tepat pula untuk dijuluki sebagai ”Man of The Year 2010” karena sepanjang tahun itu tak putus-putusnya media di Tanah Air memberitakan kasus megaskandal pajak yang melibatkan Gayus.
Kasus Gayus muncul ke permukaan berawal dari testimoni mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji yang mengungkap kasus penggelapan pajak senilai Rp 25 miliar yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, dan melibatkan beberapa oknum Polri dari pangkat komisaris, ajun komisaris besar, sampai dua jenderal berbintang satu. Kasus Gayus kemudian berkembang menjadi seri kisah kriminal yang tiada taranya di negeri ini.
Sulit dipercaya
Bayangkan betapa ”saktinya” Gayus Tambunan. Dengan uang Rp 5 miliar yang diserahkan melalui pengacaranya, Haposan Hutagalung, ia bisa mendapatkan berkas rencana tuntutan dari jaksa penuntut umum di Kejari Tangerang. Gayus juga diduga menyuap ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang Muhtadi Asnun agar ia dibebaskan dari tuntutan yang semula satu bulan penjara.
Ia juga menyuap beberapa oknum penyidik Mabes Polri agar rumah mewahnya di Kelapa Gading dan uangnya di rekening bank tidak diblokir dengan imbalan konon mencapai 500.000 dollar AS (Rp 4,5 miliar).
Hebatnya lagi, saat ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Gayus diketahui 68 kali keluar tahanan antara Juli dan November 2010, sesuatu yang sulit untuk dipercaya. Ini dimungkinkan karena Gayus menyuap Kepala Rutan Brimob Komisaris Iwan Susanto yang diduga menerima Rp 368 juta dan delapan bawahannya diduga menerima masing-masing Rp 5 juta-Rp 10 juta.
Gayus bukan saja dapat pelesiran ke Bali menonton pertandingan tenis internasional pada awal November 2010, melainkan juga pelesiran ke Makau pada 24-26 September 2010 dan ke Kuala Lumpur pada 30 September 2010 dengan paspor palsu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Timur atas nama Sony Laksono. Sungguh menakjubkan!
Kriminal tingkat tinggi
Jika hampir semua lini aparat penegak hukum berhasil dibobol Gayus, ini bukan kriminal biasa, tetapi benar-benar tingkat tinggi. Gayus dituduh merupakan bagian dari mafia pajak yang melibatkan 149 perusahaan, tiga di antaranya masuk dalam Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin.
Gayus mengaku menerima hampir Rp 35 miliar dari pekerjaan membantu penanganan terkait dengan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie itu (Kompas, 9/12/2010). Sampai saat ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan masih mengusut sumber dana senilai Rp 28 miliar dan Rp 74 miliar milik Gayus.
Anehnya, pengadilan pada 12 Desember 2010 memberikan vonis hukuman 20 tahun penjara kepada Gayus karena kasus gratifikasi. Kita patut bertanya, mengapa dari jumlah uang yang lebih dari Rp 100 miliar tersebut hanya terungkap 3,5 juta dollar AS atau setara dengan Rp 35 miliar yang bersumber dari tiga perusahaan milik Grup Bakrie tersebut. Lalu, sisanya bersumber dari mana? Berapa jumlah uang yang diberikan oleh 146 perusahaan lain?
Pengadilan dan Polri juga tidak berupaya mengungkap berapa sesungguhnya pajak yang seharusnya dibayarkan oleh 149 perusahaan itu kepada negara dan berapa yang benar-benar dibayarkan setelah kasus-kasus pajaknya dibantu oleh Gayus. Sebagai mantan pegawai negeri sipil yang baru aktif kurang dari 10 tahun, amat janggal apabila Gayus memiliki uang sebanyak itu dan ia melakukan penggelapan pajak sendirian. Kasus mafia pajak ini wajib hukumnya diungkap secara tuntas.
Kejanggalan-kejanggalan lain yang muncul adalah mengapa Polri hanya mengajukan mereka yang berpangkat komisaris dan ajun komisaris besar sebagai oknum yang bermain dalam kasus Gayus dan tidak mengungkap mereka yang berpangkat jenderal bintang satu atau lebih.
Sikap ”lembek” Presiden
Mengapa pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kukuh agar kasus Gayus tetap ditangani Polri, sementara ada beberapa oknum Polri yang terlibat dalam kasus itu. Apakah ini untuk menyelamatkan muka institusi Polri ataukah ada persoalan politik terkait dengan soal ini.
Mengapa pula Presiden Yudhoyono bersikap ”lembek” dalam kasus pelesiran Gayus ke Bali, Makau, dan Kuala Lumpur, padahal ia sudah berjanji untuk memimpin secara pribadi penanganan kasus-kasus besar korupsi di negeri ini!?
Dari sisi politik, sampai saat ini hanya perusahaan milik Grup Bakrie yang diungkap. Mengapa 146 perusahaan lain tidak terungkap? Apakah ada persoalan corruption and kickback yang dilakukan banyak perusahaan itu terkait dengan donasi politik yang diberikan perusahaan-perusahaan itu ke partai-partai politik pada masa kampanye pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009? Jika itu tidak terungkap, kita benar-benar akan semakin miris pada situasi penegakan hukum yang terjadi di negeri ini.
Kapolri, Ketua KPK, dan Jaksa Agung, yang semuanya baru, tidak cukup hanya mengatakan bahwa mereka benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan kasus korupsi terkait dengan kasus Bank Century dan kasus Gayus Tambunan. Akan tetapi, apabila kekuatan-kekuatan politik yang ada di parlemen, khususnya yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), saling ”menyandera” serta ”tukar guling” antara kasus Bank Century dan kasus Gayus, meminjam istilah Prof Saldi Isra, apakah asa kita sudah hilang dalam melawan korupsi?
Mengapa pula Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara Gayus kini juga membuat pernyataan ”memble” terkait dengan pelesiran Gayus ke luar negeri? Apakah uang Gayus sudah menjadi panglima sehingga semuanya bisa dibeli?
Kita patut bersedih, siapa lagi yang bisa kita percaya dalam menegakkan hukum di negeri ini, khususnya terkait dengan ko- rupsi besar, jika para aparat penegak hukumnya begitu bobrok dan korup.
Ini akan semakin runyam jika nantinya terbukti partai-partai politik di dalam dan di luar Setgab ternyata saling melindungi kepentingan mereka masing-masing. Ini akan menciptakan demokrasi yang kolutif dan koruptif!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
Opini Kompas 7 Januari 2011