06 Januari 2011

» Home » Okezone » Opini » Mengajarkan Kebohongan

Mengajarkan Kebohongan

DARI Suriah, minggu lalu saya memutuskan pergi ke Yerusalem. Setelah menembus Sungai Yordan yang subur, dari Kota Amman (Yordania), saya memasuki Yerusalem melalui King Husein Bridge. Luar biasa kami membutuhkan waktu empat jam untuk mendapatkan layanan imigrasi.

Sewaktu keluar dari antrean panjang, saya hanya berdoa semoga hal serupa tidak pernah terjadi dengan turis asing yang masuk ke Indonesia. Bukannya apa-apa, Anda bisa saja membeli tiket business class atau first class yang harganya dua atau tiga kali lipat dari harga tiket kelas ekonomi, tapi tak seorang pun bisa membeli waktu. Ia menguap begitu saja di tangan petugas-petugas imigrasi yang bodoh, lamban, tidak peduli, dan hanya fokus pada kertas-kertas di meja mereka.

Petugas yang tidak peduli mengakibatkan antrean tidak beraturan, menimbulkan ketidakadilan dari praktik-praktik kebohongan warga negaranya sendiri. Saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin para birokrat itu bekerja sangat serius untuk menyeleksi nama-nama yang boleh masuk ke negaranya demi keamanan, tetapi membiarkan benih-benih kecurangan tumbuh. Dan benih-benih kecurangan menimbulkan efek berantai yang berbahaya bagi masa depan negeri itu sendiri.

Pemimpin Tak Peduli

”Kalau petugas yang memimpin sudah tak peduli, apa lagi yang dipimpin?” Begitu pikir saya. Satu persatu orang menyerobot orang lain yang sudah antre lebih dulu. Satu orang menyerobot dibiarkan, orang-orang yang lain melakukan hal yang sama. Lama-lama orang-orang yang menyerobot pun diserobot orang lainnya. Orang Yahudi, Arab, Palestina, India, dan bangsa-bangsa setempat melakukan itu tanpa rasa bersalah. Sedangkan kami hanya menjadi penonton yang belum mengerti apa yang tengah terjadi. Anehnya, orang-orang yang menyerobot itu pun tidak menerima saat gilirannya diserobot orang lain.

Sampai salah seorang yang berada di antrean berteriak keras agar petugas menertibkan antrean. Ketika orang itu protes saya menyaksikan satu persatu orang berbohong. Seorang bapak yang wajahnya tak bersahabat berdebat dengan orang lain yang telah diserobotnya. Ia menjelaskan mengapa ia harus memotong antrean. ”Jam berapa pesawat kalian?” tanyanya. Kalimat itu ia tujukan pada rombongan turis asal Hong Kong yang sudah antre sejak pagi hari.

Sebetulnya jawaban itu tak begitu penting karena bapak itu dengan cepat dapat memberikan jawaban bahwa jadwal terbangnya sudah sangat mendesak. Saat ia menjawab, anak-anaknya memberi dukungan serupa. Tetapi, begitu tiba di tujuan, saya melihat mereka terlihat tengah bersantai menikmati kopi di sebuah kedai sambil tertawa-tawa. Seorang ibu yang lain berada di belakang saya bersama dua anak gadisnya yang cantik-cantik.

Perlahan-lahan mereka bergerak ke samping dan tiba-tiba sudah berada di depan kami. Anak saya sedikit protes, tetapi saya menahannya agar tidak terjadi keributan. Tetapi, keributan tak dapat dihindari saat mereka terus maju ke depan menyerobot seorang turis asal Jepang yang ada di depan kami. Ia tidak bisa menerimanya. Tetapi, ibu itu memberi alasan bahwa dia adalah warga negara yang berhak berada di barisan paling depan. Di antrean yang tak beraturan dengan petugas yang tak peduli, setiap orang membuat aturan sendiri-sendiri dengan alasan yang dapat dibuat seketika.

Seorang ibu lain yang baru datang langsung menerobos ke antrean paling depan dan mengatakan, ia punya bayi yang sudah lebih dulu berada di depan. Orang yang diserobotnya tidak terima dan membalas, ”Maam, saya juga punya masalah yang sama. Ayah saya sudah tua dan dia sedang menunggu saya di ruang depan.” Mereka semua berbohong hanya demi lebih cepat beberapa menit saja dari yang lain di depan anak-anaknya.

Anak-anak itu belajar dari orang tuanya dan ikut berbohong untuk mendukung argumentasi orang tua mereka. Ibu-ibu yang mengaku anaknya sudah menunggu atau yang mengaku bapaknya sudah menunggu lebih dahulu ternyata melenggang pergi menembus perbatasan tanpa membawa orang-orang yang mereka cintai. Mereka semua berbohong. Di Tanah Air kita sendiri, orang-orang yang menyerobot antrean sudah mulai menjadi pemandangan yang biasa.

Semua itu terjadi karena tidak ada sistem yang mengaturnya, sementara petugas yang menjaga tidak mempunyai kepedulian. Kepedulian adalah wujud dari kepemimpinan seseorang dan kepemimpinan merupakan unsur pembentuk kebiasaan dan budaya. Kita juga semakin sering melihat orang berbohong di bawah sumpah. Di pengadilan terdakwa dan pengacara sama-sama berbohong, saksi berbohong, jaksa dan hakim juga berbohong.

Artis-artis terkenal berbohong ketika skandal menimpa mereka. Pengusaha dan petugas pajak yang korup berbohong kepada publik. Pejabat-pejabat publik dengan mudah menghindari tanggung jawab dan memberikan alasan yang sama sekali tak masuk akal. Politisi setiap hari berbohong. Mereka semua dengan enteng mengatakan,”Sudah terlalu banyak kebohongan di sini.”

Keluarga Ikut Berbohong

Tak dapat di sangkal, Indonesia adalah bangsa yang dibentuk dari untaian keluarga-keluarga besar. Seperti suku-suku bangsa di Timur Tengah yang saya kunjungi di akhir tahun lalu, Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa di Barat yang nilai-nilai keluarganya telah memudar. Seperti kata penerima hadiah Nobel Ekonomi, Garry Becker, ”Keluarga-keluarga berevolusi mengikuti kemajuan ekonomi.”

Bila di Asia keluarga besar masih mendominasi, di Eropa dan di Amerika (bahkan juga di kota-kota besar Asia seperti Shanghai dan Tokyo) telah berubah menjadi keluarga nuklir dengan sedikit anak atau single parent family (keluarga yang bercerai). Dalam single parent atau nuclear family society ikatan keluarga menjadi sangat renggang dan tidak begitu penting dalam membentuk watak dan karakter masyarakat.

Sebaliknya di Indonesia, sumber pembentukan watak masyarakat justru ada di dalam keluarga. Maka bagi para pemimpin Asia, keluarga adalah sasaran pembangunan yang sangat penting. Anda mungkin pernah mendengar mantan PM Lee Kuan Yew menentang jaminan sosial bagi orang tua di Singapura bukan karena negerinya tidak mampu, melainkan demi menjaga hubungan keluarga.

Bagi Lee, orang tua harus menjadi tanggung jawab bagi anak-anaknya. Ada tugas besar para pemimpin negeri ini untuk membawa Indonesia menjadi bangsa tepercaya dan dapat saling mempercayai. Kepercayaan adalah bonding bagi setiap society. Ia juga menjadi sumber penegakan hukum dan pembangunan ekonomi. Tanpa kepercayaan, tak ada keadilan dan tidak ada investasi baru. Kita harus mulai mengubah keterlibatan keluarga dalam membela anggota-anggotanya dalam kasus-kasus kriminal, korupsi, atau pelanggaran hukum lainnya.

Adalah keluarga yang telah ikut membawa Gayus Tambunan keluar dari tahanannya dengan berbohong kepada berbagai petugas (keamanan, airlines, hotel, dan sebagainya). Adalah keluarga yang telah menyimpan uang hasil korupsi penjahat lainnya. Adalah keluarga yang telah membuat sejumlah tahanan bebas menikmati kegiatan-kegiatan keluarga saat yang bersangkutan tengah menjalankan hukumannya. Kaya atau berjabatan tinggi jelas merupakan kebanggaan setiap anggota keluarga besar.

Tetapi, keluarga besar juga harus menahan diri dan mengingatkan mereka untuk memikul tanggung jawab. Tanpa nilai-nilai itu, keluarga-keluarga besar Indonesia hanya akan mewariskan kesulitan bagi anak-anaknya. Seperti yang saya lihat di Timur Tengah, tradisi berbohong telah menimbulkan kehidupan yang tidak damai. Anda, saya, dan keluarga-keluarga kita adalah pembentuk masa depan bangsa ini.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Opini Okezone 6 Januari 2011