06 Januari 2011

» Home » Opini » Republika » Memahami Angka Kemiskinan di Indonesia

Memahami Angka Kemiskinan di Indonesia

Jousairi Hasbullah
Analis Statistik Sosial
Kepala Biro Humas dan Hukum BPS-RI

Persoalan kemiskinan di Indonesia senantiasa menjadi perdebatan. Angka yang disajikan kadang dipandang kurang sesuai dengan realitas yang dihadapi masyarakat. Harian Republika, Rabu (5/1) melalui tajuknya yang berjudul "Angka dari Langit" memandang angka kemiskinan yang diklaim oleh pemerintah turun sebesar 1,5 juta orang kurang cocok dengan realita. " Dari Jepara, enam bersaudara tewas akibat mengonsumsi tiwul". "Di Bekasi, tak jauh dari Jakarta, kita masih menemukan anak-anak yang kekurangan gizi karena orang tua mereka tidak memiliki cukup uang," demikian tulis Republika. Bagaimana memahami angka kemiskinan ini dengan proporsional? Ini salah satu tantangan kita.

Tentang angka kemiskinan

Kemiskinan adalah sesuatu yang sangat multidimensional dan memang sulit untuk diukur. Kompleksitas itu kemudian oleh para ahli statistik disederhanakan, misalnya, dengan menganggapnya sebagai gejala ekonomi (economic poverty), gejala kualitas SDM (human poverty), atau gejala budaya (cultural poverty). Di antara banyak definisi yang ada, BPS menghitung kemiskinan sebagai gejala economic poverty yaitu ketidakmampuan dari sisi ekonomi yang diukur dengan pendekatan (proxy) pengeluaran makanan (equivalen 2.100 kkal per orang per hari), ditambah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar nonmakanan (pendidikan, kesehatan dasar, fasilitas perumahan, dan sandang).

Penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang nilai konsumsinya kurang dari nilai rupiah 2.100 kkal per orang per hari plus kebutuhan primer nonmakanan tersebut. Pendekatan ini sudah sangat umum diaplikasikan di banyak negara

Menurunnya angka kemiskinan makro di Indonesia adalah angka keadaan bulan Maret 2010 yang telah diumumkan oleh BPS pada Juli 2010. Penurunan itu memang tidak serta-merta sebagai jaminan bahwa tidak akan ada lagi orang yang kurang makan atau anak-anak yang kurang gizi. Walau penurunan angka kemiskinan terjadi, tetapi di sisi lain masih 31,02 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan (headcount).

Sangat mungkin bahwa kasus-kasus mengenaskan yang di beritakan Harian Republika ini memang merupakan bagian dari 31,02 juta orang yang miskin tesebut. Mengapa disebut mungkin, karena data yang dikeluarkan BPS pada rilis pada Juli 2010 tersebut menyajikan ukuran-ukuran lain yang dapat memperkaya pemahaman kita terkait mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Ukuran lain itu, selain head count (persentase penduduk miskin) BPS juga mengumumkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (poverty gab index/PGI) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (poverty severity index/PSI). PGI adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin dibandingkan besaran nilai dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeknya menggambarkan semakin variatif jarak orang miskin tersebut dari rata-rata garis kemiskinan. Keadaan Maret 2010 menunjukkan bahwa PGI Indonesia sebesar 2,21 dan untuk orang miskin di desa sebesar 2,80. Artinya, masih sangat terbuka kemungkinan bahwa di antara mereka yang miskin di daerah perdesaan, masih banyak yang dalam keadaan sangat kekurangan.

Terkait indeks keparahan (PSI: poverty severity index) yang menggambarkan disparitas kemiskinan antarorang miskin itu sendiri menunjukkan angka 0,58 (total) dan 0,75 (untuk orang-orang miskin di daerah perdesaan). Angka ini bercerita pada kita bahwa walaupun sama-sama miskin, antarorang miskin di pedesaan ketimpangan pengeluaran mereka masih cenderung tinggi, walaupun telah juga mengalami penurunan ketimpangan dibandingkan tahun sebelumnya (0,82 untuk daerah perdesaan).

Dengan informasi ini semakin menguatkan dugaan bahwa walaupun angka kemiskinan menurun, tetapi kemungkinan, masih banyak mereka yang sangat miskin dan membutuhkan pertolongan. Tajuk Republika tidak sepenuhnya keliru terkait keberadaan mereka yang dalam kemiskinan, tetapi kurang proporsional untuk mengatakan "Angka dari Langit" karena justru data kemiskinan BPS telah memberikan sinyal itu secara jelas. Lebih dari itu, angka kemiskinan dibangun dari survei skala besar, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tahun dengan cakupan seluruh wilayah Indonesia.

Satu hal yang perlu diperkaya agar pembaca terbantu dalam memahami secara lebih baik persoalan data kemiskinan, yaitu terkait pernyataan yang mengatakan bahwa angka kemiskinan kita akan lebih tinggi (dua kali lipat) jika menggunakan standar Bank Dunia sebesar satu dolar per hari (Rp 9 100). Pernyataan ini agak melenceng. Ukuran dolar yang digunakan Bank Dunia adalah dolar dalam pengertian Purchasing Power Parity (PPP). Nilai satu dolar PPP yang disebutkan Bank Dunia itu equivalen dengan Rp 3.240 (tiga ribu dua ratus empat puluh rupiah). Justru kalau Indonesia memedomani angka satu dolar PPP tersebut, maka angka kemiskinan di Indonesia hanya sebesar 7,4 persen saja.

Tantangan kita

Salah satu tantangan kita bersama yang cukup penting untuk dikaji lebih dalam saat ini adalah bagaimana menelusuri dengan pemahaman yang lebih cermat makna-makna yang ada di balik suatu angka. Statistik selalu memperkaya dirinya dengan metodologi yang terukur dan bentangan makna dari setiap konsep yang diadopsi.

Persoalan interpretasi data statistik memang masih menyisakan tantangan yang tidak kecil. Ini juga menggejala di banyak negara. Seperti dikatakan oleh Enrico Giovannini, kepala Divisi Statistik OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) bahwa di tengah arus informasi (termasuk informasi statistik) yang begitu gencar, salah satu tantangan besar dunia sekarang ini bukan terletak pada kualitas data statistik saja, melainkan bagaimana kita menghindari opini yang keliru dalam menginterpretasikan data statistik itu sendiri.
Opini Republika 6 Januari 2011