06 Januari 2011

» Home » Kompas » Opini » Tamparan Awal Tahun

Tamparan Awal Tahun

Berita perjalanan misterius Gayus HP Tambunan ke sejumlah negara, sekitar September 2010, menjadi tamparan hebat pada awal tahun 2011. Dalam konteks apa pun, tamparan ini jauh lebih hebat jika dibandingkan dengan berita pelesiran Gayus ke Bali pada awal November tahun lalu.
Ketika foto Gayus menonton kejuaraan tenis di Bali beredar luas, bisa jadi, sejumlah pihak melihat kejadian tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam lingkup yang terbatas, terutama yang terkait dengan rumah tahanan saja. Namun, dengan terkuaknya perjalanan Gayus ke beberapa negara ini, penyalahgunaan kekuasaan pasti jauh lebih sistemis dan terorganisasi.
Dalam batas-batas tertentu, kejadian ini menjadi indikasi kuat bahwa penyelenggara negara sekaligus memainkan peran sebagai mafioso. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan, perjalanan misterius Gayus tidak akan pernah terungkap jika seorang pembaca bernama Devina tidak menulis melalui forum surat pembaca di harian ini (Kompas, 2/1).
Skandal pelarian
Melihat begitu besarnya perhatian publik dalam skandal Gayus, terasa aneh apabila perjalanan misterius ke beberapa negara ini tidak terkuak dalam proses hukum. Padahal, saat kehadirannya di Bali, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji untuk menuntaskan skandal pelarian Gayus dari rumah tahanan. Karena terungkap dari surat pembaca, kejadian ini seperti membenarkan dan menguatkan kesaktian Gayus di hadapan hukum dan para penegak hukum.
Sejak skandal Gayus muncul ke permukaan, sebagian pihak menilai, pegawai golongan IIIA Direktorat Jenderal Pajak ini bukan orang biasa. Selama proses hukum berlangsung, Gayus nyaris tidak pernah memperlihatkan raut wajah cemas dan takut. Bahkan, hampir pada setiap penampilan, dia berlagak begitu innocent. Wajar jika ada penilaian, Gayus sebagai manusia super dengan tingkat kesaktian luar biasa. Boleh jadi, kemampuan Gayus melewati makna super-Anggodo yang pernah diberikan kepada Anggodo Widjojo.
Dari segi kemampuan ”bergaul” dengan para penegak hukum, Gayus mungkin mempunyai kemampuan yang relatif berimbang dengan Anggodo. Namun, untuk ”pendistribusian” dana kepada banyak kalangan, hampir dapat dipastikan, Gayus jauh lebih royal dibandingkan Anggodo. Selain itu, kesaktian Gayus bisa saja karena pengetahuannya tentang banyak hal penting di internal Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan latar belakang seperti itu, hampir dapat dipastikan banyak pihak merasa terancam dengan proses hukum Gayus. Karena itu, menjadi masuk akal jika banyak pihak berkepentingan agar skandal Gayus tidak terungkap secara tuntas. Boleh jadi, pihak yang berkepentingan dengan sengaja membiarkan skandal Gayus berada dalam selubung misterius.
Lorong misterius itu dapat dilacak dengan berhentinya proses hukum sampai hanya sebatas penjaga rumah tahanan. Langkah tersebut memberikan indikasi kuat bahwa pelesiran Gayus tidak akan pernah selesai dalam makna yang sesungguhnya.
Saling melindungi
Indikasi untuk tidak menuntaskan skandal pelesiran Gayus begitu mudah dapat dibaca dari tidak adanya keberanian mengungkap keterlibatan sejumlah pejabat pada level yang lebih tinggi. Sadar atau tidak, ketidakberanian membongkar level yang lebih tinggi dapat juga dimaknai sebagai skenario untuk memberikan perlindungan bagi Gayus. Melihat spektrum di pusaran skandal Gayus, membongkar salah satunya sama saja dengan membongkar pihak lain.
Karena cara berpikir yang saling melindungi tersebut, pelesiran Gayus ke Bali hanya dibatasi pada kejadian itu saja. Padahal, Gayus meninggalkan rumah tahanan hampir 70 kali. Seharusnya, jika memang hendak menyelesaikan secara keseluruhan, pelesiran ke Bali dijadikan pintu masuk untuk menelusuri ke mana saja Gayus selama berada di luar tahanan. Dalam konteks itu, menjadi tidak masuk akal jika penelusuran tersebut berhenti sampai pada pelesiran Gayus di Bali.
Saat pelesiran Gayus ke Bali terkuak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kepala Polri untuk mengungkap latar belakang kepergian tersebut. Tidak hanya itu, Presiden juga prihatin karena rasa keadilan masyarakat terusik (Kompas.com, 18/11-10). Yang dirasakan publik, perintah Presiden itu seperti hanya sekadar basa-basi.
Yang paling memprihatinkan, publik tidak mendengar sikap Presiden ketika terjadi saling lempar tanggung di antara para pembantunya. Misalnya, Menteri Hukum dan HAM pernah mengatakan bahwa masalah Gayus tidak berada di bawah tanggung jawab institusinya. Aksi lempar tanggung jawab itu menunjukkan, betapa tidak seriusnya pemerintah.
Karena itu, beredar spekulasi bahwa sulit membongkar segala penyelewengan di rumah tahanan karena yang dilakukan Gayus hanya pengulangan dari aksi sejumlah tokoh penting yang pernah ditahan. Masih ingat dengan terungkapnya sel tahanan Artalyta Suryani (Ayin) di Rumah Tahanan Pondok Bambu yang supermewah? Lagi-lagi waktu itu Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berkilah-kilah dan yang dikorbankan hanyalah Kepala Rutan Pondok Bambu.
Kini, ketika perjalanan misterius itu terungkap, Presiden menyampaikan reaksi yang tidak jauh berbeda: ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar negeri. Pernyataan normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya reaksi Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam jagat penegakan hukum.
Respons itu menjadi indikasi bahwa Presiden tidak serius menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius Gayus. Tidak hanya itu, pernyataan standar Presiden itu juga sama sekali tidak menunjukkan keprihatinan yang mendalam.
Mengganti Kapolri serta Menhuk dan HAM
Sekiranya menganggap perjalanan misterius Gayus ini sebagai tamparan penegakan hukum, Presiden seharusnya melakukan langkah lebih jauh dari hanya sekadar perintah mengungkap secara tuntas. Langkah konkret yang harus dilakukan Presiden adalah memberi batas waktu bagi Kepala Polri membongkar semua jejaring yang meloloskan Gayus ke luar negeri. Tidak hanya itu, Kepala Polri juga harus mampu mengungkap misteri dan misi di balik perjalanan Gayus. Jika gagal, Presiden harus berani meminta pertanggungjawaban Kepala Polri dan menggantinya dengan pejabat baru.
Langkah konkret itu harus dilakukan karena terlihat indikasi bahwa keluarnya Gayus dari tahanan seperti dilokalisir menjadi sebatas pelesiran ke Bali. Padahal, perintah untuk mengungkap kepergian ke Bali seharusnya dimaknai sebagai perintah mengungkap semua perjalanan Gayus di luar tahanan. Ketika langkah kepolisian berhenti hanya sebatas pelesiran ke Bali, berarti ada desain untuk menutup sesuatu yang lebih besar.
Sama halnya dengan Kepala Polri, Presiden juga harus memberikan batas waktu kepada Menteri Hukum dan HAM mengungkap keterlibatan sejumlah pihak di kantor imigrasi. Apabila dalam pelesiran Gayus masih mungkin lempar tanggung jawab, perjalanan misterius Gayus tidak mungkin tidak melibatkan orang di imigrasi. Dokumen negara bernama paspor bisa dengan begitu telanjang ”dikadali” Gayus dengan nama Sony Laksono (yang juga tercatat sebagai tamu di hotel tempat turnamen tenis yang disaksikan Gayus). Apabila gagal, Presiden berani mengganti dengan pejabat baru.
Melihat kejadian ini, secara jujur harus diakui bahwa sesungguhnya tidak ada kerisauan tercabik-cabiknya rasa keadilan dalam penegakan hukum di kepolisian dan imigrasi. Penegakan hukum pada kedua lingkungan itu masih terbukti bobrok dan korup. Jika tamparan awal tahun ini gagal menghadirkan langkah besar dalam penegakan hukum, kalimat sakti ”saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi” hanya merupakan pepesan kosong belaka. Atau, jangan-jangan, Presiden masih menunggu tamparan lain yang lebih hebat.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Opini Kompas 7 Januari 2011