Oleh : Dr. Januari Siregar, SH, M.Hum         
Masih  segar dalam ingat an kita semua dua pernyataan  yang sangat  kontradiktif dan menyakitkan tetapi memang benar dari mendiang  Gus Dur  dan Prof. Dr. JE Sahetapy tentang hakim di negeri ini. 
Gus Dur bilang di  era pemerintahannya bahwa dia akan  mengimpor hakim untuk memulihkan citra  pengadilan di negeri ini. Saat  yang bersamaan Prof. Dr. JE Sahetapy bilang semua  hakim di negeri kita  perlu direbus dengan air panas agar mereka bisa bersih  (Tempo, 21/12/  2001). 
Dua pernyataan dari dua tokoh  nasional yang terus berjuang  untuk pluralisme di negara kita memang  sangat memprihatinkan kita. Ungkapan itu  berangkat dari realitas hakim  kita yang sudah pada titik nadir tingkat  keparahannya. Wajar saja  memang Bismar Siregar mengatakan kepanjangan hakim  adalah" hubungi aku  kalau ingin menang". Sebelum vonis dibacakan oleh hakim  sudah diketahui  hasilnya, karena vonis sudah didesain dari luar sedemikian rupa.  Acara  di pengadilan hanya memperkuat legalitas pengadilan semata. Inilah  titik  nadir kondisi dunia peradilan kita yang sarat dengan mafia hukum.  
Lantas, bagaimana memperbaiki citra  hakim kita yang sudah  terlanjur terjerembab pada dunia mafia hukum dan  membuat citra keadilan di  negeri ini tercoreng? Himbauan moral dengan  mengatakan hakim adalah wakil Tuhan  di bumi untuk menciptakan  pengadilan tidak efektif lagi. Kemudian membangun  sebuah lembaga yang  khusus mengawasi hakim yang disebut Komisi Yudisial (KY)  masih belum  efektif. Inilah problematikanya dunia keadilan di negeri kita.  Simbol  pengadilan dengan timbangan (neraca) yang berarti tidak timpang dan   berbuat sama pada semua orang tanpa melihat status sosial atau pandang  bulu  tidak bisa diterjemahkan oleh hakim kita dalam menjalankan  tugasnya.
Impor Hakim 
Ketika  Gus Dur mengatakan kita perlu mengimpor hakim, kenapa  kebijakan itu  tidak didukung oleh komponen stakeholder di negeri ini? Atau saran  dari  Prof. Dr. JE Sahetapy untuk merebus hakim kita dengan air panas tidak   ditindaklanjuti oleh pemerintahan kita? Ada lagi sebuah ide brilian yang  ingin  saya katakan, ketika tim nasional garuda kita sampai mencapai  finis dengan  atraksi permainan yang begitu indah dari Chirstian  Gonzalez (WN Uruguay) dan  Irfan Haarys Bachdim (keturunan Belanda) yang  merupakan produk naturalisasi,  kenapa kita tidak melakukan hal yang  sama pada dunia peradilan kita? Bukankah  tujuan naturalisasi sepakbola  adalah untuk membangkitkan prestasi team nasional  kita dikancah  regional, internasional? Siapa bisa menyangkal salah satu tujuan   naturalisasi warga negara asing dalam dunia sepakbola adalah agar kita  bisa  menjadi juara di Asia Tenggara dan mendapat medali emas pada SEA  Games. 
Maka pemerintah membuat sebuah  langkah konkrit dengan  menaturalisasi beberapa pemain asing agar  menjadi warga negara kita. Diajang  piala AFF sekalipun kita gagal juara  tetapi bangsa kita mampu mencapai finis  yang ke-4 kalinya. Hanya saja  permainan kita pada putaran piala AFF tahun 2010  lalu sangat lain dari  yang lain. Semua sentuhan dari warga negara asing. Kita  punya pelatih  Alfred Riedl yang warga negara Austria. Saya tidak ingin manafikan   pemain-pemain pribumi. Mungkin tanpa Riedl yang membangun team nasional  dengan  karakter menyerang team nasional kita sulit mencapai finish  dengan permainan  yang indah. 
Ketika  pemerintah mendukung kebijakan naturalisasi dalam bidang  olah raga  khususnya dunia sepakbola, mengapa pemerintah tidak melakukan yang  sama  terhadap dunia perhakiman kita? Apakah pemerintah tidak pernah berpikir   mengangkat dunia atau citra hakim kita yang selalu identik dengan hal  yang  berbaur suap dan sogok? Padahal jika hakim kita mempunyai  integritas dan moral  yang baik mungkin tidak ada tempat bagi mafia  hukum di negara kita ini. 
Coba kita  bayangkan jika hakim-hakim di negara Amerika Serikat  dan Eropa sana  maupun negara China bisa kita naturalisasi menjadi warga negara  kita,  mereka akan bekerja dengan maksimal. Mereka tidak punya kepentingan  bisnis  karena tidak punya sanak saudara di negeri ini. Mereka akan  mampu menegakkan  keadilan dengan berpedoman pada asas keadilan hukum di  negeri ini. Mengingat di  negara kita hakim sering terlibat dengan  kasus suap dan jual beli perkara. 
Akibatnya  praktik mafia hukum tumbuh dengan suburnya. Alangkah  baiknya jika  pemerintah melihat dunia pengadilan kita dan profesi hakim kita  yang  sudah sangat bobrok perlu sebuah solusi hebat bagaimana mengatasinya,  yang  bernama naturalisasi hakim. Dengan memanggil warga negara asing  melalui seleksi  yang sangat ketat atas dasar pertimbangan moral dan  integritas maka saya yakin  hakim di negara ini akan menjadi icon baru  dalam membangun dunia peradilan yang  bersih dari segala bentuk mafia  hukum. 
Saatnya semua hakim di seluruh  negeri ini untuk melakukan  introspeksi diri betapa pentingnya arti  keadilan di sebuah negara. Tanpa pijakan  hukum yang punya muatan  pengadilan tidak mungkin sebuah negara bisa berjalan  dengan baik. Untuk  itu kalau memang untuk meningkatkan citra dan keadilan yang   substansial di negeri ini apa salahnya naturalisasi hakim di lakukan.  Apalagi  yang namanya keadilan dan pengadilan bersinggungan langsung  dengan kehidupan  masyarakat banyak. Opsi naturalisasi hakim adalah  salah satu upaya yang bisa  ditempuh oleh pemerintah untuk menciptakan  keadilan di negeri ini. Apakah anda  setuju? *** 
Penulis adalah Advocat Senior di Kota Medan Dosen Pascasarjana  beberapa PTS di Kota Medan
Opini Analisa Daily 6 Januari 2010