20 September 2010

» Home » Kompas » Sosok Ideal Kapolri Baru

Sosok Ideal Kapolri Baru

Tanggal 8 September 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kepada publik rencana pemerintah mengangkat Kapolri baru sehubungan akan berakhirnya jabatan Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.
Beberapa minggu sebelumnya di media massa berkembang wacana tentang instansi mana yang bertanggung jawab dan berhak melakukan seleksi dan menyampaikan para calon yang layak kepada Presiden, untuk kemudian akan dipilih oleh Presiden siapa di antara para calon yang layak dan pas untuk diajukan ke DPR guna memperoleh persetujuan DPR.


Dua instansi, Komisi Kepolisian Nasional (KKN) dan Kapolri, tampaknya bersaing untuk menyeleksi para calon sebagai bahan masukan kepada Presiden. Dengan merujuk Pasal 38 ayat 1 b Undang-Undang Kepolisian Negara RI, KKN mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab dan berhak menyeleksi para calon sebagai bahan pertimbangan bagi Presiden. KKN mengklaim telah mengidentifikasi delapan calon dan menyatakan niat mengajak KPK, PPATK, dan Komnas HAM untuk memverifikasi para calon.
Bebas kepentingan
Di sisi lain, Kapolri petahana merasa pihaknyalah yang berhak menyeleksi dan mengajukan calon kepada Presiden. Belakangan, Kapolri mengklaim telah mengajukan dua nama perwira tinggi Polri sebagai calon kapolri baru kepada Presiden. Klaim ini mengundang protes dari KKN. UU memang tidak melarang kapolri petahana dan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi melakukan seleksi dan memberi masukan kepada Presiden.
Namun, jelas, pengajuan calon oleh kapolri petahana akan sangat berat dipengaruhi selera dan mungkin kepentingan subyektif. Sementara, seleksi dan pengajuan calon oleh KKN relatif bebas dari selera dan kepentingan pribadi, dan relatif lebih mudah diakses oleh publik.
Drama persaingan antara KKN dan Kapolri dalam penyeleksian dan pemberian masukan calon kapolri ke Presiden menunjukkan Pasal 38 ayat 1 b UU tersebut belum diimplementasikan ke dalam aturan baku berkenaan dengan seleksi calon kapolri sebagai bahan pertimbangan untuk Presiden. Keadaan ini patut disesalkan dan dipertanyakan. Drama persaingan antara KKN dan Kapolri menggambarkan adanya kelemahan tugas koordinasi pada Menko Polhukam, dan bukan tak mungkin pada Presiden sendiri. Atau Presiden sengaja membiarkan berlangsungnya drama persaingan ini?
Sudah acap diungkapkan penting dan strategisnya posisi kapolri dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Polisi merupakan subsistem dalam sistem penegakan hukum yang posisinya berada di hulu (permulaan), yang berarti setiap penanganan perkara hukum dimulai dari kantor polisi. Apakah suatu perkara hukum akan mengalir ke hilir, yakni penuntutan dan pengadilan, akan sangat tergantung pada kualitas penanganan di hulu, yaitu kantor polisi.
Sebagai subsistem penegakan hukum yang berada di hulu, oleh UU, polisi dibebani tugas pokok, yaitu a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjalankan tugas-tugas itu, kepolisian oleh UU diberi wewenang yang sangat luas.
Hampir setiap langkah dan napas kehidupan manusia di Indonesia tidak terlepas dari jangkauan wewenang polisi. Wewenang yang begitu luas dan dalam membuka kemungkinan penyalahgunaan dan korupsi oleh si pemegangnya. Oleh karena itu, perlu diimbangi pengawasan memadai, meliputi pengawasan hukum—yakni perangkat normatif, seperti, UU HAM, KUHAP, dan UU TUN yang dijalankan secara pasti oleh sistem internal polisi, pemerintah, dan pengadilan— pengawasan sosial oleh masyarakat dan media massa, dan pengawasan politik oleh DPR.
Perlu terobosan
Meskipun boleh berbangga dengan prestasi dalam membasmi terorisme, secara umum kepolisian kita terpuruk. Polisi sekarang ini di mata masyarakat adalah sebuah realitas hukum dan kekuasaan yang sarat kekerasan dan kegagalan untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat, khususnya golongan minoritas, penyalahgunaan kekuasaan, serta korup, dari atas hingga bawah. Laporan organisasi nonpemerintah yang kredibel, seperti Transparency Internasional dan ICW, yang menggambarkan persepsi masyarakat tentang tingginya tingkat korupsi di kepolisian, dan laporan Amnesti Internasional, Komnas HAM, Elsam, Imparsial, dan Kontras tentang berbagai kasus kekerasan oleh polisi, dan ketidakberdayaan polisi melindungi golongan minoritas yang mengalami kekerasan, membenarkan penilaian ini.
Keterpurukan Polri mencerminkan kegagalan pemerintah, yakni Presiden, DPR, serta KKN dalam melakukan pengawasan terhadap Polri, dan di atas semuanya itu karena diabaikannya suara kritis masyarakat. Menimbang dengan sungguh-sungguh keterpurukan Polri, dalam pengangkatan kapolri sekarang ini Presiden tidak bisa memperlakukannya as business as usual, harus ada terobosan. Demikian pula DPR dalam membahas usulan Presiden. Presiden dan DPR tidak cukup hanya membahas rekam jejak calon Kapolri.
Usulan calon kapolri ke DPR harus disertai laporan hasil audit pemerintah tentang sebab-sebab keterpurukan Polri, dan target apa yang harus dicapai dalam waktu 1-2 tahun oleh kapolri baru untuk memperbaikinya. Misalnya: a) menurunkan tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi sampai angka tertentu, penuntasan kasus-kasus kekerasan oleh polisi sampai 50 persen, penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat sampai 70 persen, memperbaiki fasilitas dan kesejahteraan polisi sampai 50 persen dan seterusnya.
Dengan demikian, ada alasan dan ukuran yang jelas untuk menyepakati pengangkatan kapolri. Pembahasan mengenai rekam jejak calon kapolri bisa saja jika menyangkut hal yang peka dan pribadi bersifat tertutup. Namun, pembahasan target yang harus dicapai oleh calon kapolri oleh DPR harus bersifat terbuka. Masyarakat sipil harus diikutsertakan dalam menguji kesahihan target tersebut.
Keharusan pemerintah dan DPR membahas laporan analisis sebab-sebab keterpurukan Polri dan target bagi kapolri baru untuk mengatasi adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 2 UU No 2 Tahun 2002. Diharapkan, pemerintah, DPR, dan masyarakat sampai pada titik pandang yang sama atau mendekati dalam rangka memperbaiki Polri. Dengan begitu, pengangkatan kapolri baru benar-benar didasarkan pada konsensus pemerintah dan DPR, dan dukungan luas masyarakat.
Abdul Hakim G Nusantara Advokat/Arbiter, Ketua Komnas HAM 2002-2007
Opini KOmpas 21 September 2010