Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum, dan sosial dapat berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat
ISTILAH aliran sesat, ajaran menyimpang, atau gerakan sempalan, sudah lama populer di lndonesia. Sebutan ini lazim dikenakan kepada orang, jamaah, aliran, atau pikiran yang dianggap aneh alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan, atau pendirian mayoritas umat. Karena itu, kajian tentang aliran sesat atau gerakan sempalan selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk).
Tanpa ortodoksi, takkan ada sempalan. Jadi, gerakan sempalan adalah aliran yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi. Karena menyempal maka dihinakan sebagai aliran sesat dan ajarannya dianggap menyimpang. Untuk memudahkan pemahaman tesis ini, sebutlah contohnya Jamaah Ahmadiyah.
Mereka dianggap menyimpang dari aliran induk. Ajarannya sedikit berbeda tapi sangat krusial bagi aliran induk. Misalnya aliran induk mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan terakhir, sedang Ahmadiyah berpendapat tidak demikian. Karena perbedaan itulah, mereka dianggap sesat. Lantas apa dan siapa yang salah? Bagaimanakah sejatinya kebebasan beragama?
Apa yang menimpa Ahmadiyah dapat ditarik sebagai masalah kebebasan beragama. Pejuang dan aktivis HAM selalu berdalih bahwa setiap orang bebas meyakini dan menafsirkan ajaran agamanya. Adalah HAM-nya warga Ahmadiyah untuk meyakini seperti itu. Di sisi lain, muncul kritik tajam bahwa HAM tidak identik dengan perilaku semau gue. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus menghindari penghinaan dan penodaan terhadap keyakinan orang lain.
Semua persoalan yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak mudah diselesaikan. Buktinya, kekerasan atas nama agama dan pemaksaan berkeyakinan masih menjadi fenomena rutin di negeri ini. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat implementasi kebebasan beragama tidak mudah dilakukan.
Pertama, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama dan keyakinan itu? Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Begitu pun bila yang dimaksud adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.
Wajib Menegakkan Kedua, perbedaan definisi tentang HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya, sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan, rasul, dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia. Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal, masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.
Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain (yang seagama dengannya) merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya.
Tiga faktor di atas perlu dituntaskan pembahasannya agar kasus yang menimpa Ahmadiyah tidak terulang kembali. Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum dan sosial berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat. Menafsir tentang ajaran jihad dan menyimpulkan bahwa semua orang yang menentang Islam dicap kafir dan halal darahnya adalah HAM bagi yang meyakininya. Keyakinan seperti ini pasti tidak semua orang setuju.
Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi,’’Negara menjamin kebebasan warganya menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing’’. Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara mengimplementasikannya.
Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan berkeyakinan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara tidak boleh ikut campur di dalamnya. Namun, ketika kebebasan beragama telah menimbulkan masalah di masyarakat, maka negara wajib menegakkan hukum yang berlaku. (10)
— Doktor H Abu Rokhmad MA, dosen IAIN Walisongo Semarang
Wacana Suara Merdeka 21 April 2010