Dalam berbagai perspektif, pemilihan pemimpin  merupakan event penting. Terlebih yang akan dipilih adalah pemimpin  publik yang ikut menentukan nasib dua ratus jutaan rakyat dengan  berbagai persoalannya yang kompleks. Pemimpin harus dapat memenuhi  harapan rakyat, setidaknya harapan mayoritas rakyat.
Tesis itu berlaku juga dalam pemilihan Kepala  Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang sedang aktual  diperbincangkan. Kapolri adalah bagian terpenting dari optimalisasi  wajah pelayanan negara terhadap bangsanya. Karut-marutnya sosok  pelayanan publik di Indonesia, tidak terlepas juga dari kontribusi  Polri. Setidaknya Polri mengemban amanah sebagaimana termuat pada  Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik  Indonesia, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;  menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan  kepada masyarakat.
 
Akhir-akhir ini, Polri mereformasi struktur internal  dalam visi lebih mengedepankan pelayanan terhadap rakyat. Para petinggi  Polri sangat menyadari, terdapat sekitar 2.500 jenis pekerjaan Polri  yang berhadapan langsung dengan rakyat. Sebagian besar dari pekerjaan  tersebut tertumpu pada ujung tombak anggota Polri di institusi setingkat  Polsek/Polsekta. 
Namun, spirit perubahan struktural ternyata tidak  diimbangi dengan perubahan kultural. Polri masih terjebak pada budaya  politik masa lalu yang lebih "mengutamakan" kepentingan kekuasaan  ketimbang pelayanan terhadap rakyat. Nyaris setiap pergantian pimpinan  nasional, Polri pun menjadi korban perubahan kebijakan.
Padahal, dalam konteks ideal, anggota Polri memiliki  fungsi Tri Brata Polri, yakni sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan  masyarakat. Namun, kebijakan elite kekuasaan telah mendorong Polri untuk  "mengkhianati sumpahnya" sendiri. Wajar jika banyak pihak berpandangan,  apresiasi anggota Polri terhadap Tri Brata Polri baru sebatas slogan  atau hafalan. 
Selama ini, yang menyebabkan kinerja lembaga negara  belum optimal, menurut Ulbert Silalahi (1997), karena kurang berdaya.  Hal itu tampak dari sikap dan tindakan lembaga itu dalam mengekspresikan  kekuasaan atau kewenangan. Mereka selalu berasumsi, tugas adalah  kewajiban, bukan hak yang harus digunakan. Mereka pun cenderung  menganggap wewenang sebagai beban dan hambatan dalam melaksanakan tugas,  ketimbang menjadikannya sebagai peluang dan tantangan. 
Dalam konteks pemberdayaan, dimandirikannya Polri,  seharusnya tidak hanya diberikan tugas-tugas atau pekerjaan, melainkan  hak untuk memutuskan, hak untuk memerintah, dan tanggung jawab secara  penuh sehubungan dengan pekerjaannya. Melalui pemindahan kekuasaan,  akuntabilitas dan responsibilitas oleh superior (penguasa politik)  kepada subordinasinya, subordinasi (Polri) akan mengalami suatu perasaan  memiliki yang dapat menumbuhkan tanggung jawab administrasi,  profesional, politik, dan tanggung jawab pribadi. 
Pemberdayaan lebih dari sekadar delegasi. Dalam  delegasi, kekuasaan dan akuntabilitas masih di tangah penguasa. Penguasa  politik memegang penuh kewenangan untuk memerintah dan memformat Polri.  Hal itu tidak akan menumbuhkan Polri menjadi lembaga yang mandiri dan  independen. 
Polri dapat memformat sendiri lembaganya bahkan dapat  menentukan berbagai kebijakan dalam wilayah tugasnya. Polri memiliki  hak otonom dan indepeden. Jika dalam delegasi, subordinasi mengatakan,  "Saya mengerjakan hal itu karena diperintah". Dalam pemberdayaan,  subordinasi mengatakan, "Saya mengerjakan hal itu karena saya merasa  bertanggung jawab".
Agar lembaga negara, seperti Polri berdaya, buatlah  lembaga itu menjadi pemilik wewenang, responsibilitas, akuntabilitas,  dan tidak sekadar pelaksana atas apa yang ditugaskan superior. Polri  akan bertindak lebih bertanggung jawab apabila ia merencanakan dan  mengontrol sendiri pekerjaannya. Bila diberi wewenang untuk merencanakan  pekerjaan dan mengendalikan masalah-masalah yang dihadapi dalam  pelaksanaannya, Polri akan berfungsi efektif ketimbang bergantung pada  kehendak penguasa politik. 
Kendati Polri diformat menjadi lembaga yang mandiri,  independen, dan berdaya, jika proses pemilihan Kapolri masih bersandar  pada kepentingan penguasa, baik eksekutif maupun legislatif, figur  Kapolri yang lahir pun akan merupakan perwujudan kepentingan penguasa.  Ia akan sulit beranjak menjadi sosok yang betul-betul mandiri,  independen, dan berdaya. Sebagai lembaga komando, Polri banyak  bergantung kepada sosok Kapolri. Visi Kapolri menjadi rujukan para  anggotanya dalam mengoptimalkan tugas pelayanan kepada rakyat.
Dalam konteks inilah pentingnya terjadi perubahan  paradigma budaya politik penguasa dalam pemilihan Kapolri. Jika  menginginkan Polri menjadi lembaga mandiri, independen, berdaya, dan  dapat memenuhi harapan rakyat, sejatinya presiden dan anggota DPR RI  yang harus mengawali mengubah paradigma pemilihan Kapolri. Budaya  politik negatif, misalnya, mementingkan 3D (deukeut, dulur, duit) yang  sering menjadi bumbu perhelatan politik, harus mulai dikesampingkan,  bahkan dihapuskan. Indikator profesionalisme dalam menjalankan tugas  sebagai Kapolri harus menjadi parameter yang utama.
Sekokoh apa pun perahu berlayar jika nakhodanya tidak  mau berubah dan mengubah diri pada sikap dan perilaku yang lebih baik  untuk menantang badai; melintasi lautan, pasti perahu itu akan karam.***
Penulis, dosen UIN Sunan Gunung Djati; FISIP Unpas; FISIP Unikom; dan Dewan Penasihat Masyarakat Peduli Kepolisian RI.
Opini Pikiran Rakyat 21 September 2010