Ada pertanyaan mendasar, apakah kondisi makro ekonomi sekarang ini merupakan produk dari sinergi kebijakan ekonomi nasional? Bagaimana dengan kondisi mikro, sektor riil, terutama sektor industri?
Makro ekonomi
Sebelum menjawab ya atau tidak, sebaiknya kita lihat dulu kinerja makro ekonomi kita. Perekonomian Indonesia, dilihat dari aspek makro, memperlihatkan kecenderungan yang cukup atau dianggap memadai. Tetapi, tidak tahu pasti apakah pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi, dan indikator fundamental lainnya bisa bertahan terus dalam jangka panjang atau tidak.
Faktor dan eksternal sebenarnya sudah berubah menjadi lebih kondusif, terutama di kawasan Asia. Ekonomi Singapura, Vietnam, Filipina, India, dan Cina sudah bertumbuh tinggi, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi, Indonesia tidak bisa lagi melakukan klaim bahwa pertumbuhannya tergolong tinggi di Asia.
Masalahnya tidak terletak pada pencapaian kinerja makro ekonomi saja. Sebab, jika dilihat dari aspek pertumbuhan, justru Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara sekitarnya. Bahkan banyak kritik tingkat pertumbuhan yang telah dicapai bukan merupakan potensi yang sebenarnya. Jika pemerintah bekerja lebih efektif lagi, peningkatan pertumbuhan dan kinerja sektoral dapat diperbaiki.
Masalah makro itu sendiri masih ada, seperti tingkat suku bunga yang tergolong paling tinggi di kawasan. Itu pun sekarang terancam inflasi dan BI sudah mulai meningkatkan giro wajib minimum untuk menyedot kelebihan likuiditas selama ini. Penyaluran kredit terhambat dan penyaluran kredit yang sudah ditetapkan masih banyak tertunda karena kendala di sektor riil itu sendiri.
Kondisi mikro
Pada sisi lain, aspek mikro dari perekonomian tersebut memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan terus merosot terutama pada sektor industri, yang kontribusinya terbesar di dalam perekonomian. Sektor industri dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran yang sangat signifikan.
Pada era 1980-an dan 1990-an, sektor industri menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan sampai dua digit. Sektor ini bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga karena bersaing di pasar global. Pertumbuhan ekspor juga ditopang sektor industri ini sehingga bertumbuh dua digit pula.
Tetapi pada era 2000-an, pertumbuhan sektor ini mengalami penurunan secara drastis. Sektor industri pangsanya mengalami penurunan dini sehingga peranannya sebagai lokomotif ekonomi menurun. Investasi di sektor ini tidak pernah bisa mencapai rekor seperti pernah terjadi pada awal 1990-an.
Jadi, kondisi makro pertumbuhan ekonomi sekarang banyak didorong konsumsi dan bonus penduduk, yang besar jumlahnya dan rata-rata dalam usia sangat produktif. Pencapaian kondisi makro nilai tukar, harga saham, inflasi, dan lainnya lebih merupakan refleksi kondisi lingkungan eksternal di sekitarnya.
Perkembangan dan kebijakan atas nilai tukar bukan wilayah kebijakan pemerintah, melainkan otoritas BI. Kondisinya relatif stabil karena disumpal dana asing. Hal ini bersifat sementara jika tidak ada pilar produktif dalam ekspor dan investasi yang masuk secara signifikan. Tidak hanya itu, dana asing yang masuk juga sangat membahayakan karena akan membuat shocked perekonomian jika ditarik keluar karena faktor-faktor sentimen ekonomi maupun bukan ekonomi.
Lagi-lagi, perkembangan ISHG yang mencapai 3.200 di kalangan pelaku pasar dianggap sebagai kinerja sangat positif. Tetapi bagi sektor riil mikro, perkembangan tersebut tidak punya banyak makna karena cuma menampung aliran dana asing yang kebingungan di luar lalu masuk ke Indonesia untuk menenggak keuntungan.
Jadi, perkembangan makro ekonomi dan kondisi mikro merupakan satu hal yang berbeda, meskipun keduanya saling terkait. Kondisi mikro sebenarnya bisa berkembang lebih baik lagi pada kondisi sekarang ini. Namun, kenyataannya malah mengalami stagnasi, seperti terlihat pada robohnya banyak kegiatan industri. Robohnya industri dan pertumbuhan sektor ini yang melorot terus sekaligus merupakan indikasi hadirnya gejala deindustrialisasi di Indonesia.
Deindustrialisasi
Puncak pertumbuhan sektor industri terjadi pada era 1980-an dan 1990-an. Tetapi pada era 2000-an sampai saat ini, pertumbuhannya terus merosot sampai jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, bagi negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia, perkembangan sektor industri yang produktif sangat diperlukan, terutama untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Jika industri gagal dikembangkan, dampak pertama yang dirasakan akan terlihat pada masalah pengangguran.
Sampah produk Cina yang masuk ke Indonesia memukul banyak industri kita, nyaris tanpa peran pemerintah yang signifikan dalam melindungi industri dalam negeri. Pemerintah melakukan pembiaran terhadap robohnya industri di dalam negeri di saat semakin banyak industriawan yang beralih profesi menjadi tukang jahit. Lebih fatal lagi, berubah profesi menjadi sekedar berdagang mendistribusikan produk impor.
Pada 2004, sektor industri masih tumbuh 7,2%, sudah lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor ini pada dekade sebelumnya. Pada 2005-2007, sektor industri turun menjadi 5,9%, 5,3%, dan 5,1%. Bahkan diperkirakan, pada 2008 dan 2009 lebih menurun drastis di bawah 4%.
Rata-rata pertumbuhan sektor industri sejak 2005 sampai 2009 sangat rendah, yakni hanya sekitar 3,76%. Pada kuartal pertama tahun 2010, juga tumbuh rendah sekitar 3,6%, yang menandakan robohnya industri nasional bersamaan dengan runtuhnya industri rakyat.
Sayangnya, pemerintah tidak awas terhadap perkembangan ini dan tidak melakukan tindakan yang signifikan untuk mencegahnya. Pemerintah sibuk membantah kritik para ekonom bahwa gejala deindustrialisasi sebenarnya tidak ada dan tidak terjadi.
Dampak serius
Apa dampak yang akan terjadi dari adanya gejala deindustrialisasi dan robohnya industri nasional pada saat ini?
Yang sudah jelas terlihat adalah paradoks kinerja sektor makro, yang dianggap bagus, dengan sektor mikro, yang banyak mengidap banyak masalah. Kondisi makro ekonomi ternyata tidak merupakan cerminan dari kondisi riil di lapangan, yang bahkan kondisinya paradoks dan berbeda sama sekali.
Dampak lainnya adalah penyusutan kesempatan kerja di sektor industri. Kondisi pengangguran di Indonesia tergolong paling tinggi di Asia Tenggara atau bahkan Asia, serta tidak bisa dengan mudah turun. Meskipun kisruh secara politik, tingkat pengangguran di Thailand hanya berkisar 1-2%, sedangkan di Malaysia hanya 3,4%. Tingkat pengangguran di Indonesia sekitar 8,5%.
Paradoks seperti ini terlihat meskipun makro ekonomi baik, tetapi kondisi penganggurannya dua kali dari kondisi normal atau empat kali lebih buruk daripada kondisi pengangguran negara tetangga, Thailand. Lalu timbul pertanyaan, di mana letak kebijakan ekonomi tersebut?
Bukan hanya masalah pengangguran, tingkat kemiskinan masih sangat tinggi dan meluas. Kemiskinan di banyak propinsi masih sangat tinggi, ciri yang sama dengan daerah terbelakang. Misalnya di Papua, tingkat kemiskinan hampir mencapai 40%. Di Maluku, Gorontalo, dan NTT, kasus kemiskinan sekitar 30%.
Indikasi-indikasi tersebut tidak menunjukkan bahwa ekonomi kita sudah baik karena harga saham terus meningkat dan rupiah stabil. Kita masih punya banyak agenda untuk menyelesaikan masalah ekonomi di lapangan.
Oleh Didik J Rachbini
Ekonom
Opini Media Indonesia 21 September 2010