KAMBING Peranakan Etawah (PE) bagi masyarakat Purworejo sudah tidak asing lagi, bahkan familiar pada tataran regional, nasional, atau internasional. Selama ini, kambing PE dikenal karena performance fisiknya yang bagus. Bobot kambing jantan dewasa 60-90 kg, sedangkan betina 50-60 kg, jauh lebih berat dibandingkan jenis lokal lainnya seperti kambing kacang, marica, gembrong dan sebagainya.
Tidak mengherankan banyak yang menyukainya sebagai bibit dan klangenan (kontes ternak) yang menjadikan harganya cukup fantastis bisa mencapai belasan juta, puluhan, bahkan ratusan juta rupiah untuk kambing PE kualitas (grade) A.
Sayangnya belum banyak yang tahu potensi lain dari ternak ini. Kambing PE merupakan kambing tipe dwiguna yakni sebagai penghasil daging dan susu. Produksi susu mencapai 1,5-3,7 liter/ekor/hari dengan lama masa pemerahan (laktasi) 7-10 bulan.
Kambing PE dan turunannya telah dijadikan komoditas unggulan di Kabupaten Purworejo karena memang berasal dari kabupaten ini, tepatnya dari Kecamatan Kaligesing, sisi timur kabupaten. Kawasan ini merupakan dataran tinggi bagian dari perbukitan Menoreh.
Masyarakat di daerah ini turun-temurun memelihara kambing PE dengan skala 5-10 ekor/keluarga. Populasi kambing di kawasan ini tahun 2008 mencapai 65.000 ekor.
Melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2591/Kpts/PD.400/7/2010 tanggal 19 Juli 2010, kambing Peranakan Etawah (PE) di Kabupaten Purworejo telah ditetapkan dengan nama baru, yakni kambing kaligesing.
Dengan demikian, masyarakat diharapkan mulai membiasakan diri menyebut kambing PE dengan kambing kaligesing. Sebagai daerah asal serta sentra pengembangan kambing kaligesing, Kabupaten Purworejo tentu punya tanggung jawab besar untuk bisa menjaga populasi dan produktivitasnya agar tetap unggul.
Susu kambing kaligesing juga memiliki beberapa kelebihan yang menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri laksana mutiara putih, yang banyak dicari orang. Pertama; susu kambing kaligesing bisa dijual dengan harga cukup tinggi yakni Rp 20 ribu per liter bahkan bisa Rp 30 ribu di tangan konsumen.
Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan susu sapi yang berkisar Rp 2.500 ñ Rp 3.500 per liter. Tingginya harga karena susu kambing kaligesing dimanfaatkan sebagai terapi alternatif gangguan pernapasan seperti asma atau infeksi paru-paru. Di luar negeri, banyak dimanfatkan untuk produk perawatan kecantikan.
Lebih Pendek Kedua; kandungan gizinya lebih baik, di antaranya kandungan lemak susu dan ikatan karbon. Susu kambing memiliki ukuran butiran (globula) yang berdiameter kecil (1-4,5 mm) dengan proporsi yang lebih tinggi yaitu 82.7%, sedangkan sapi hanya sekitar 65,4%.
Selain itu, 20% lemak susu kambing mempunyai rantai karbon yang lebih pendek (4-12 karbon) dan menjadikannya lebih mudah dan cepat dicerna daripada susu sapi. Karena itu, susu kambing sangat cocok bagi mereka yang mengalami gangguan pencernaan (lactosa intolerant).
Susu kambing kaligesing juga mempunyai persentase protein, vitamin dan mineral seperti kadar kalsium, fospor, kalium, magnesium, dan natrium yang lebih tinggi. Kalsium, fospor, dan magnesium sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang.
Kadar fluorin dalam susu kambing kaligesing mencapai 10-100 kali lebih tinggi daripada susu sapi. Fluorin merupakan antiseptik natural yang mengandung elemen pencegah timbulnya bakteri dalam tubuh.
Menurut M Sutono, salah satu pengusaha susu kambing kaligesing asal Desa Tlogoguwo Kecamatan Kaligesing, saat ini dia memasarkan susu kambingnya hingga Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bogor, Bandung, Sukabumi, dan Jakarta. Permintaannya terus meningkat dan pihaknya sering kekurangan stok.
Diperlukan dukungan kerja sama antara peternak sebagai objek dan subjek usaha, dan Dinas Peternakan, Dinas Perhutani, serta perguruan tinggi agar mampu mengoptimalisasi potensi susu kambing kaligesing.
Dengan demikian, mutiara putih dari Kaligesing itu, ke depannya makin bersinar tidak hanya didominasi penjualan bibit semata yang mengancam keberadaan plasma nutfah unggul tetapi bisa diantisipasi dengan memaksimalkan potensinya, salah satunya produktivitas susu yang menjanjikan namun belum dioptimalkan. (10)
— Dedy Winarto SPt MSi, alumnus Beasiswa Unggulan Depdiknas pada Magister Ilmu Ternak Undip, dosen Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Purworejo
Wacana Suara MErdeka 21 September 2010