20 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Depresi Besar Dalam Sejarah Ekonomi

Depresi Besar Dalam Sejarah Ekonomi

Oleh Jean Pisani-Ferry
Director of Bruegel, lembaga kajian Eropa.
Perdebatan muncul di Amerika Serikat dan Eropa antara mereka yang mendukung stimulus pemerintah agar dilanjutkan dan pendukung penghematan fiskal. Hasilnya, adu argumentasi soal sejarah ekonomi. Kedua belah pihak sama-sama meninjaunya dari pengalaman Depresi Besar 1930-an -- serta sejarah panjang saat negara mengalami sovereign debt crisis (suatu keadaan ketika pemerintah menaikkan suku bunga begitu tinggi karena kekhawatiran tidak mampu melunasi utang-utangnya--red.)-- yang sedikit banyak mencerminkan adanya kebijakan ekonomi-konvensional yang kontroversial.

 
Kelompok prostimulus sering merujuk kebangkrutan pada saat itu disebabkan oleh penghematan fiskal di AS pada 1937, empat tahun setelah pemilihan Franklin Roosevelt sebagai presiden AS dan peluncuran New Deal. Menurut perhitungan ekonom Paul van den Noord, neto anggaran 1937 adalah kontraksi fiskal tiga persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) -- tentu saja bukan jumlah sepele. Pertumbuhan ekonomi menurun drastis dari 13 persen pada 1936 menjadi 6 persen pada 1937, dan PDB menyusut 4,5 persen pada 1938, sedangkan pengangguran meningkat dari 14 persen menjadi sekitar 20 persen. Kebijakan fiskal bukan satu-satunya penyebab double dip (resesi yang diikuti dengan pemulihan yang singkat lalu disusul dengan resesi lainnya --red.), penghematan fiskal yang tidak tepat juga dianggap memberikan kontribusi.
Jadi, apakah kita berada pada situasi 1936 ketika banyak negara melakukan pengetatan anggaran yang berisiko bisa memprovokasi lagi resesi double dip?
Tentu saja membuat perbandingan seperti itu ada batasannya. Apalagi sudah sekian lama waktu berlalu sejak krisis keuangan. Selain itu, perkembangan penting yang terjadi antara krisis pasar saham 1929 dan penghematan fiskal 1937--terutama saat ASmengeluarkan kebijakan proteksi pada 1930 dan menimbulkan gejolak moneter tahun berikutnya--tidak bisa dianalogikan dengan keadaan saat ini.
Namun, peristiwa 1937 tampaknya dapat mengilustrasikan secara tepat bahayanya mencoba mengonsolidasikan anggaran publik pada saat sektor swasta yang belum pulih secara ekonomi diharuskan untuk mandiri (contoh lain, kejadian peningkatan pajak pertambahan nilai di Jepang pada 1997, yang mempercepat runtuhnya tingkat konsumsi masyarakat).
Pendukung penghematan fiskal juga mengandalkan argumentasi berbasis sejarah. Ekonom Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff mempelajari secara mendalam soal sovereign debt crisis. Mereka mengingatkan kita, negara-negara maju sekali pun pernah punya sejarah sovereign default (kegagalan pemerintah melunasi utangnya). Contohnya, pada masa-masa Napoleon seusai perang pada awal abad kesembilan belas, ketika negara-negara yang terkuras sumber dayanya tersebut gagal melunasi utang-utang mereka. Peristiwa pada 1930-an itu relevan juga mengingat serangkaian kebangkrutan pernah dialami negara-negara Eropa, terutama Jerman.
Apa yang coba diutarakan sejarah di sini adalah kebangkrutan bukanlah sesuatu yang selalu dialami si miskin, negara-negara kurang maju. Itu adalah juga ancaman bagi semua, terutama pada saat mobilitas modal tinggi dan pemerintah terlalu bergantung kepada kesediaan kreditur asing untuk menyediakan dana. Ketika arus modal masuk berhenti, tahu-tahu negara mereka berada dalam kesulitan.
Sekali lagi, ada batasan untuk membuat perbandingan: sangat sulit untuk mengambil kesimpulan dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Lagi pula, utang Inggris melebihi 250 persen dari PDB-nya setelah Perang Dunia II, dan Britania tidak lantas bangkrut. Akan tetapi, pemahaman penting dari sejarah adalah kebijakan fiskal yang tidak berkelanjutan lebih mungkin menghasilkan default ketika masalah fiskal tidak dapat dituntaskan. Contoh kasusnya rezim moneter berbasiskan emas seperti Gold Standard pada abad 19, yang menjadi pelajaran hari ini bagi negara-negara yang telah melepaskan otonomi moneter mereka, seperti anggota-anggota zona euro.
Pada situasi normal, kita serahkan saja sejarah untuk para sejarawan dan debat kebijakan ekonomi digantungkan kepada model dan estimasi ekonometrik. Namun, sikap itu bisa langsung berubah begitu krisis meletus pada 2007-2008. Memang, gubernur-gubernur bank sentral dan menteri-menteri pada masa itu terobsesi dengan kenangan 1930-an, dan mereka sadar melakukan kebalikan dari apa yang dilakukan para pendahulu mereka 80 tahun yang lalu.
Tindakan mereka benar. Pada masa luar biasa ini, sejarah adalah panduan yang lebih baik dibandingkan dengan model estimasi dengan data dari masa yang normal, karena sejarah dapat menangkap varian yang diabaikan teknik-teknik yang dibuat pada masa normal. Jika kita ingin tahu cara menangani krisis perbankan, risiko depresi, atau ancaman default, belajarlah dari masa-masa ketika keadaan berbahaya itu sedang terjadi, bukan dengan mengandalkan kepada model-model yang tidak memperhitungkan ancaman bahaya semacam itu atau model pemulihan krisis dengan cara yang mengawang-awang. Dalam masa krisis, panduan terbaik adalah teori, yang menangkap esensi masalahnya, dan pelajaran dari pengalaman masa lalu.
Namun, bahayanya mengandalkan sejarah adalah kita tidak memiliki metodologi untuk menentukan perbandingan mana yang relevan. Analogi bisa dengan mudah dianggap sebagai bukti, dan pengalaman dapat dipakai mendukung pandangan tertentu. Dengan demikian, pembuat kebijakan (umumnya memiliki pengetahuan tentang sejarah ekonomi yang terbatas) berisiko mengalami kegagalan karena referensi sejarah yang kontradiktif.
Sejarah dapat menjadi penunjuk arah yang penting ketika pengalaman masa lalu menunjukkan sekian banyak arah yang ambigu. Namun perbandingan yang keliru terhadap sejarah berisiko menimbulkan kekurangjelasan dalam mengekspresikan pendapat. Bisa dianalogikan, suatu pemerintahan dapat dengan mudah terseret menjadi pemerintahan yang gagal.***
Copyright: Project Syndicate, 2010.
www.project-syndicate.org
Opini Pikiran Rakyat 21 September 2010