20 September 2010

» Home » Kompas » Bersama Kita Bisa?

Bersama Kita Bisa?

Menjelang Pertemuan Tingkat Tinggi PBB di New York, Amerika Serikat, 22-24 September 2010, media menurunkan aneka pandangan tentang Tujuan Pembangunan Milenium yang disetujui oleh hampir 200 negara.
Pandangan bervariasi dari optimisme dapat mencapai sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) (dalam kurun waktu yang masih tersisa lima tahun) sampai keprihatinan karena Indonesia gagal mengentaskan kelompok penduduk termiskin.


Realitas gagalnya pengentasan masyarakat miskin disinyalir sebagai akibat pengabaian penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh pemerintah. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengingatkan negara-negara pendukung MDGs untuk mengurangi angka kematian anak di bawah umur lima tahun (MDGs 4) dan menurunkan angka kematian ibu (MDGs 5), yang secara global merupakan tujuan MDGs yang paling lamban pencapaiannya.
Bagi Indonesia, meningkatkan kesehatan perempuan dan menurunkan angka kematian ibu merupakan tantangan konkret.
Kematian ibu dan anak
Sekjen PBB menegaskan, mengurangi kematian ibu (AKI) dan kematian bayi (AKB) mendapat prioritas untuk dicapai lima tahun mendatang. Indonesia bisa bangga bahwa AKI telah turun dari 420/100.000 kelahiran hidup menjadi 307/100.000 kelahiran hidup dan angka resmi sekarang adalah 227/100.000 kelahiran hidup. Namun, masih tetap tersembunyi realitas bahwa hak dasar manusia, yaitu hak hidup—khususnya perempuan miskin—masih dilanggar.
Dalam kaitan inilah, kita harus memprioritaskan pemenuhan hak kesehatan perempuan, anak, dan bayi. Di tengah kemajuan perempuan Indonesia yang memukau, ada kenyataan bahwa perempuan miskin, termasuk anak perempuan keluarga miskin, belum semua terpenuhi hak pendidikan dan hak kesehatannya.
Memang tidak ada data khusus di Indonesia tentang berapa persen orang miskin adalah perempuan (di tingkat global dinyatakan 70 persen orang miskin adalah perempuan). Namun, yang lebih penting bagaimana mengatasi kenyataan bahwa perempuan Indonesia masih mengalami berbagai diskriminasi dan bias jender dalam pembuatan kebijakan bagi golongan miskin.
Mencapai MDGs 4 (penurunan Angka Kematian Balita), MDGs 5 (peningkatan kesehatan perempuan), dan MDGs 6 (penurunan laju penderita HIV/AIDS) membutuhkan kepedulian bersama, manajemen yang efektif, dan ketersediaan dana, yang sayangnya masih kurang pada upaya pemenuhan hak asasi perempuan miskin di Indonesia.
Di media, diberitakan Ketua DPR siap meningkatkan peran anggota DPR membuat regulasi yang mempercepat pencapaian MDGs dan meningkatkan kapasitas pengawasan. Pernyataan itu perlu disambut baik.
Anggota DPR dapat mendorong pembuatan kebijakan anggaran yang berpihak pada pencapaian MDGs serta menggalang kerja sama dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan untuk percepatan tercapainya MDGs. Kenyataan menunjukkan, MDGs 4, 5, dan 6 terkait langsung dengan pentingnya pemenuhan hak asasi perempuan, khususnya hak kesehatan perempuan.
Penelitian menjelaskan bahwa bayi yang ditinggal mati ibunya akan mempunyai harapan hidup pendek: kebanyakan tidak melampaui usia dua tahun. Oleh karena itu, keterlibatan DPR dalam meningkatkan percepatan pencapaian sangat diharapkan.
DPR juga bisa berperan mengubah mindset para pemangku kepentingan dan kekuasaan di pusat dan daerah tentang perlunya segera investasi dalam meningkatkan kesehatan perempuan. Juga meyakini, perempuan yang sehat akan mendukung kehidupan bangsa yang sehat fisik, mental, dan sosial.
DPR bersama pemerintah, swasta, dan organisasi sipil serta media mempunyai peran strategis mewujudkan mindset, mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium tidak akan terjadi bila tetap mengabaikan pentingnya memenuhi hak asasi perempuan khususnya hak kesehatannya.
Singkatnya memberi prioritas pada peningkatan kesehatan perempuan ialah keharusan dalam mencapai target-target MDGs. Mengentaskan rakyat dari kemiskinan, khususnya hak asasi manusia miskin, memerlukan keyakinan ”Bersama Kita Bisa”.
Saparinah Sadli Guru Besar Psikologi UI
Opini Kompas 21 September 2010