20 September 2010

» Home » Kompas » Anomali Harga Pangan

Anomali Harga Pangan

Anomali iklim telah mengakibatkan penurunan produksi pangan dan membawa dunia pada bayang-bayang krisis pangan.
Saat ini produksi gandum dunia turun, terutama di Rusia dan Kazakstan, sehingga memicu kenaikan harga gandum dunia. Harga beras lokal di Thailand dan Vietnam juga bergerak naik. Hal ini berdampak pada melambungnya harga beras dalam negeri hingga hampir Rp 1.000 per kg pada Juli dan Agustus 2010.
Kepanikan dunia tentu diharapkan tidak berdampak terhadap harga pangan, terutama beras di Indonesia. Kenaikan bisa diredam dengan peningkatan produksi dalam negeri dan efisiensi usaha tani..


BPS memprediksi, produksi beras tahun 2010 naik menjadi 40,9 juta ton dan konsumsi 39,5 juta ton sehingga surplus 1,4 juta ton. Bahkan, pemerintah menjamin ada cadangan per 31 Desember 2010 sebesar 5,6 juta ton (Kompas, 27/8). Namun, angka itu tidak mengasumsikan adanya gangguan perubahan iklim.
Kalau pasokan aman, mengapa harga beras terus naik? Gejolak harga terjadi jika pasokan berkurang atau permintaan naik. Dinamika ini sering dipengaruhi oleh invisible hands sehingga menjadikan harga beras di Indonesia tertinggi dibanding negara-negara produsen beras.
Kenaikan harga lebih diciptakan oleh efek psikologis pasar, di antaranya adalah reaksi sesaat pasar akibat penurunan semu jumlah pasokan, dampak pemberitaan yang berlebihan mengenai penurunan produktivitas, dan kenaikan bahan pangan menjelang Ramadhan. Kebijakan swasembada beras yang ’at all cost’ membuat pedagang lebih berani berspekulasi.
Untuk mengurangi gejolak harga sekaligus menjamin ketahanan pangan, pemerintah harus tetap melindungi petani. Caranya dengan mengutamakan pasokan produksi dalam negeri.
Saat ini produksi padi Indonesia berada dalam posisi keempat di Asia setelah Korea Selatan, Jepang, dan China, atau posisi kedelapan di dunia. Namun, dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi (1,49 persen), capaian itu belum mencukupi.
Pembangunan pertanian
Karena itu, pembangunan pertanian di Indonesia masih harus terus ditingkatkan, baik dari sisi on-farm maupun off-farm.
Dari aspek on-farm, terdapat dua aspek penghambat peningkatan produksi, yaitu kurangnya infrastruktur pertanian, seperti irigasi, dan tidak optimalnya penyuluhan pertanian yang berperan penting dalam mengawal peningkatan produksi, terutama saat petani bingung menghadapi perubahan iklim.
Infrastruktur irigasi perlu segera diperbaiki sekaligus membangun waduk-waduk baru. Irigasi yang baik akan mengoptimalkan penggunaan lahan sehingga sepanjang tahun para petani dapat menanam padi dan palawija.
Upaya lain adalah konversi lahan-lahan yang terbengkalai menjadi lahan pertanian. Konsep ini juga diimplementasikan di Merauke untuk mengembangkan Merauke Integrated Food and Energy Estate. Pembangunan di Merauke akan bersifat intensif kapital karena jumlah penduduknya sedikit.
Saat ini, sedang dibahas konsep revitalisasi sistem penyuluhan dengan penjenjangan pembinaan penyuluhan. Di tingkat Kementerian Pertanian perlu sejumlah penyuluh minimal berpendidikan S-1 Pertanian yang bertugas memberikan pelatihan kepada para penyuluh di provinsi dan kabupaten, yang juga minimal berpendidikan S-1 Pertanian. Di setiap kabupaten harus memiliki minimal seorang penyuluh berpendidikan D-3 di setiap kecamatan dan minimal seorang penyuluh berpendidikan SMK Pertanian di setiap desa. Dengan demikian, komunikasi penyuluh terintegrasi dalam membantu petani menghadapi permasalahan tanam.
Dari aspek off-farm dibutuhkan mekanisasi untuk mengurangi kehilangan hasil panen untuk meningkatkan persentase gabah kering giling. Saat ini gabah kering panen petani menyusut hingga 47 persen. Petani juga masih menjual beras ke tengkulak, yang berpotensi mempermainkan harga.
Maka perlu diperkenalkan metode serta peralatan panen dan pascapanen yang dapat mereduksi kehilangan produksi.
Ketergantungan petani kepada tengkulak diatasi dengan peningkatan kemampuan petani dalam mengelola usaha tani. Melalui kelompok tani, mereka dapat memperoleh kredit usaha rakyat yang besaran kreditnya hingga Rp 20 juta tanpa jaminan. Ini dapat digunakan petani untuk berdagang beras sehingga di kemudian hari konsep petani-pedagang dapat terwujud.
Dampak globalisasi
Saat ini harga beras lokal di India, Thailand, dan Vietnam juga bergerak naik. Harga beras di Thailand dan Vietnam sering dijadikan barometer dunia karena keduanya merupakan eksportir beras terbesar.
Menurut data USDA (Rice Outlook, 2010), pasokan beras negara eksportir utama—Thailand, Vietnam, Pakistan, AS, India, dan China—bermasalah hingga akhir 2011. Demikian pula negara eksportir beras lapis kedua, seperti Kamboja, Uruguay, Myanmar, Mesir, Argentina, dan Brasil, menurun ekspornya 5-25 persen tahun 2010 kecuali Kamboja dan Mesir. Myanmar dan Brasil diprediksi menurun 50-60 persen karena gangguan iklim.
Pasar beras sempat panik karena China mengimpor beras untuk memperkuat cadangan pangan. Dampaknya adalah negara-negara Asia pemakan beras ikut memborong beras di pasar global sehingga harga beras bergejolak.
Bila kondisi harga memburuk, bukan tidak mungkin Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi cadangan pangan. Tantangan saat ini adalah bagaimana Indonesia tetap menjadi negara swasembada beras dengan harga yang kompetitif.
Solusi masalah
Sejalan dengan kekayaan sumber pangan dan budaya konsumsi masyarakat yang berbeda-beda, perlu dikembangkan kembali budaya lokal yang mengonsumsi karbohidrat selain beras. Seperti di Madura dan NTT yang mengonsumsi jagung, Papua dan Maluku mengonsumsi sagu, dan beberapa daerah yang mengonsumsi singkong.
Pemerintah tidak hanya mengaktifkan pola konsumsi dengan bahan lokal, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberikan muatan teknologi dalam proses produksi dan pengemasan. Dengan demikian, kualitas dan daya simpan produk meningkat. Bila konsep diversifikasi pangan terwujud, maka konsumsi beras akan turun dan sekaligus menciptakan ketahanan pangan di setiap daerah.
Semua upaya di atas diamanatkan Presiden SBY untuk dilaksanakan seluruh kementerian secara simultan bersama komunitas petani. Hal ini diharapkan bermuara pada produksi yang cukup, tingkat permintaan pangan yang rasional, sekaligus ketahanan pangan nasional yang tangguh. Semoga ini dapat mengubah paradigma dampak negatif perubahan iklim menjadi berkah.
Jusuf Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
Opini KOmpas 21 September 2010